Falsafah

Sekilas Tentang Pemikiran Islam Kontemporer

4 Mins read

Membaca artikel berjudul Menggugat Syirik Intelektual Bersama Nasr Hamid Abu Zayd Dan Amina Wadud yang ditulis Kunawi Basyir mengajak kita untuk menyadari bahwa dunia pemikiran Islam sekarang semakin maju dan beragam. Artikel itu membicarakan hermenutika dan kesetaraan gender yang menjadi titik temu antara pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dan Amina Wadud.

Khususnya Wadud, kesetaraan yang ia perjuangkan salah satunya itu tercermin dalam tindakannya yang menjadi imam serta khatib shalat Jum’at pada 2015 lalu. Sesuatu yang sudah pasti menjadi kontroversi karena selama ini pemikiran mainstream yang berkembang yaitu laki-laki sebagai imam shalat.

Selain Nasr dan Wadud, banyak sekali pemikiran tokoh-tokoh Islam yang dilabeli liberal dengan mengusung semangat dinamis-progresif. Pandangan-pandangan tokoh-tokoh pemikir kontemporer seperti Arkoun, Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Khaled Abu Fadhl, Amin Abdullah, Harun Nasution, dsb seakan berusaha menghadirkan Islam yang segar dan responsif terhadap tantangan zaman.

Hermeneutika Alquran maupun wacana gender adalah salah satu dari sekian banyak tema dalam pergulatan pemikiran Islam di era kontemporer ini. Kenyataan ini menunjukkan adanya respon umat Islam terhadap perkembangan zaman bukan hanya pada dataran teologis, namun juga sosiologis. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Alquran tidak hanya turun untuk memberi petunjuk soal relasi Tuhan dan manusia, namun juga pada relasi manusia dengan sesamanya.

Namun pemikiran Islam kontemporer bukan berarti tidak mendapat tantangan. Tokoh Islam Indonesia semisal H.M. Rasjidi adalah salah satu yang lantang menentangnya. Pada tanggal 3 Desember 1975, Rasjidi menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Harun Nasution tentang lslam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, ia menceritakan isi suratnya, tentang kritik terhadap buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya yang dinilainya terlalu liberal.

Baca Juga  Abid Al-Jabiri: Tiga Epistimologi Ini Bantu Kamu Memahami Islam Secara Utuh

Rasjidi juga menjelaskan kritik pasal demi pasal dan menunjukkan bahwa gambaran Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan Rasjdi bahkan mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia pada saat itu.

Dialektika Islam yang Hidup

Pergulatan ini jangan dimaknai sebagai pertengkaran dan ketidakakuran umat Islam. Namun kita harus senang karena ini artinya ada dialektika yang hidup antar para pemikir Islam. Dialektika ini juga yang harus ada untuk menemukan titik temu dari banyak ide-ide yang berlawanan.

Kata kritik hendaknya tidak dipahami semata-mata sebagai ketidaksepakatan total dengan apa yang ingin dikritik, tetapi sebagai penyelidikan filosofis dari sebuah konsep yang dilakukan secara rasional.  Dengan kritik yang rasional dihidupkan dalam bentuk dialektika gagasan, maka ini bisa menampung apa yang pernah disebut oleh Kunawi Basyir sebagai kegelisahan intelektual.

Kegelisahan intelektual ini juga yang dipakai oleh Kunawi dalam menjelaskan kegelisahan Nasr Abu Hamid dan Amina Wadud melihat keterpurukan perempuan dalam segala bidang. Budaya patriarki, ketidakadilan gender dan marjinalisasi perempuan selama beratur-ratus tahun memang mendapat perhatian yang luas bagi pemikir-pemikir kontemporer. Maka rekonstruksi tafsir Alquran dengan hermeneutika sebagai metodologinya dilakukan kedua penulis tersebut guna menghasilkan tafsir keagamaan yang berkeadilan.

Tafsir yang ada selama ini dinilai eksklusif, sebab dikerjakan oleh para mufasir di zaman dahulu yang kesemuanya adalah laki-laki. Ruang yang terbatas untuk perempuan ini dinilai menghasilkan corak keagamaan yang didominasi oleh laki-laki. Inilah akar yang menciptakan ketidakadilan gender yang mana hal itu sama saja bertolak dengan prinsip Islam tentang berbuat adil

Baca Juga  Di Tahap Mana Level Pemikiran Kita Sekarang?

Ketidakadilan gender tadi berusaha dilawan dalam dataran tafsir, yaitu dengan metode hermeneutika. Tindakan hasil implementasi tersebut salah satunya seperti yang disinggung di awal, yaitu tindakan nekad Wadud untuk menjadi imam dan khatib shalat Jum’at.

Jika menggunakan realitas sosio-kultural Barat sebagai pendekatan melihat tindakan Wadud tersebut, sebenarnya bisa kita dukung tindakan Wadud ini dengan menggunakan afirmasi dalil yang dituliskan Kunawi dalam artikelnya. Namun pemikiran dan tindakan semacam ini yang agaknya kurang cocok jika seandainya diwacanakan pada masyarakat dengan sosio-kultural yang berbeda, seperti Indonesia.

Label Islam yang dinamis, progresif, berkemajuan, berkeadilan tidak menjamin bahwa konsep yang dibawanya cocok untuk setiap masyarakat yang ada. Terlebih jika beberapa pemikiran seperti perempuan bisa menjadi imam shalat dibawa ke Indonesia, hanya akan menghasilkan diskusi yang tidak produktif. Alasannya adalah masyarakat sejak awal tidak mempermasalahkannya.

Pemikiran Amina Wadud Soal Gender

Namun pemikiran Amina Wadud soal Gender ini bisa jika diterapkan untuk membedah beberapa konsepsi masyarakat yang sangat patriarkis ini. Seperti anggapan bahwa perempuan sia-sia berpendidikan tinggi, anggapan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, anggapan perempuan akalnya tidak lebih baik dari lelaki, atau bahkan poligami. Poligami adalah isu yang lekat dengan dimensi sosio-kultur masyarakat kita. Tafisr Nasr yang hermeneutik juga mengasilkan produk pemikiran berupa haramnya poligami.

Sudah lazim masyarakat mendengar tentang dibolehkannya seorang laki-laki menikah dengan empat perempuan dengan catatan dapat berlaku adil, ini adalah paradigma yang diyakini umat Islam pada umumnya. Penafsiran ini ditolak oleh Nasr yang berkesimpulan signifikasi ayat Alquran yang berbicara tentang poligami itu adalah keadilan. Dari struktur teks Alquran, ada pesan tersirat bahwa tujuan akhir dari syariat Islam bukan poligami, namun monogami.

Baca Juga  Soedjatmoko: Agama dan Sains adalah Pilar Modernitas

 Seperti Nasr, Muhammad Abduh juga  tidak sepakat dengan penafsiran klasik. Baginya diperbolehkannya poligami karena keadaan memaksa pada awal Islam muncul dan berkembang, ya‘ni dengan alasan:

Pertama, saat itu jumlah pria sedikit dibandingkan dengan jumlah wanita akibat gugur dalam peperangan antara suku dan kabilah. Maka sebagai bentuk perlindungan, para pria menikahi wanita lebih dari satu.

Kedua, saat itu Islam masih sedikit sekali pemeluknya. Dengan poligami, wanita yang dinikahi diharapkan masuk Islam dan memengaruhi sanak-keluarganya.

Ketiga, dengan poligami terjalin ikatan pernikahan antarsuku yang mencegah peperangan dan konflik. Bahkan menurut pemikir Islam modern ini poligami dapat menjadi haram lantaran cenderung menimbulkan konflik di dalam keluarga tersebut.

Memang tidak semua gagasan tokoh-tokoh Islam Kontemporer bisa dibawa ke masyarakat. Namun beberapa ternyata mampu dijadikan referensi untuk membedah realitas yang ada. Ini juga lebih baik daripada hanya menghakimi pemikiran mereka dengan memberi stempel liberal tanpa mempertimbangkan gagasan yang dibawanya. Terkadang mereka secara apriori dianggap salah dan bahkan menyesatkan serta harus dijauhi.

Padahal demi menghasilkan gagasan yang bermanfaat, kita harus berani memepelajari mereka untuk dikritisi tesis-tesisnya jika perlu. Bukannya menjauhi dengan melabeli sesat belaka. Itulah kenapa apa yang ditulis Kunawi dalam jurnalnya tadi adalah salah satu cara mengenalkan pemikiran kontemporer Islam secara objektif. Sehingga para akademisi dalam proses belajarnya bisa mengambil sikap yang bijak.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Muhammad Habib Muzaki
4 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds