Perspektif

Sekolah Daring Permanen, Siapa Takut?

3 Mins read

Banyak tradisi baru yang mendadak populer di tengah pandemi COVID-19, seperti mencuci tangan, mengenakan masker, serta social distancing. Tradisi jaga jarak, ternyata menimbulkan konsekuensi lain pada kehidupan kita, khususnya di dunia pendidikan. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah ‘merumahkan’ para siswa dan menunda kegiatan belajar secara tatap muka di ruang kelas. Atau yang kemudian disebut sekolah daring.

Lebih jauh lagi, pemerintah telah berencana untuk membuat sekolah daring menjadi permanen. Tentunya, banyak sekali argumentasi yang menentang kebijakan tersebut. Penolakan itu dilontarkan oleh berbagai macam kelompok dan atas dasar ragam alasan. Mulai dari kelompok orangtua siswa hingga tenaga pendidik. Bahkan dari para pemerhati pendidikan.

Sebenarnya, apa keuntungan sekolah dari rumah?

Potret Sekolah Daring

Dalam suatu perjalanan ke Yogyakarta bersama adik sepupu yang berprofesi sebagai tenaga pengajar. Penulis bertanya ke padanya ihwal pengajaran yang dia lakukan ditengah kebijakan learning from home digulirkan. Penasaran saja dengan jawabannya, pikir penulis. Pasalnya, dia seorang guru olahraga tingkat sekolah dasar.

Sebenarnya, banyak sahabat penulis yang menjadi guru. Tetapi sebagian besar dari mereka merupakan tenaga pendidik untuk mata pelajaran yang lebih dominan mengandalkan penalaran ketimbang praktik. Kalau penulis tanyakan ke sahabat-sahabat itu, pasti jawabannya bisa ditebak. Mereka membuat soal, tulisan, atau video penjelasan kemudian dikirim melalui Whatshapp atau media lain seperti Youtube.

Tetapi, bagaimana dengan pelajaran anak SD yang memerlukan praktik untuk memahaminya seperti olahraga? Apakah cukup dengan membuat video penjelasan?

Jawaban sepupu penulis, dibutuhkan kerjasama orang tua untuk mentransformasikan apa yang ia jelaskan. Tidak efektif jika hanya membuat video pembelajaran kemudian ditonton oleh siswa. Kontribusi orang tua ternyata juga sangat diperlukan pada pelajaran penalaran, seperti matematika, imbuhnya.

Baca Juga  Hermeneutika Hadis Rukyat Demi Terwujudnya Kalender Islam Pemersatu

Sayangnya, terlalu banyak faktor yang menyebabkan peran orang tua tidak maksimal. Sebagai gambaran, ia mencontohkan olahraga lari 100 M yang telah ia jelaskan melalui video, kemudian meminta tolong para wali siswa untuk mengajak anaknya lari pagi. Hanya sedikit orang tua siswa yang mengirimkan laporan bahwa pelajaran itu telah dilaksanakan si anak di bawah bimbingannya. Sibuk, menjadi alasan orangtua kebanyakan, jelas sepupu penulis itu.

Hakekat

Dari penjelasannya, saya membuat simpulan sementara bahwa, masalah utama bukanlah terletak pada kesibukan orang tua siswa. Tetapi, kebanyakan dari kita, telah menggeser terlalu jauh hakikat sekolah dari makna sesungguhnya.

Lihat saja pengertian sekolah dalam KBBI. Jika kita melakukan pencarian mengenai makna sekolah pada laman kbbi.web.id, maka akan ketemu empat pengertian sekolah. Pertama, sekolah diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar. Kedua, waktu atau pertemuan ketika murid diberi pelajaran. Ketiga, usaha menunrur kepandaian. Dan terakhir, belajar di sekolah.

Padahal, jika kita lacak dari asal kata “sekolah”, maka kita tahu bahwa ia berkar pada kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin). Yang secara harfiah berarti ‘waktu luang’ atau ‘waktu senggang.

Atau seperti pada The Heritage llustrated Dictionary of Tire English Language, Volume 11, terbit pada 1979, kata “sekolah” yang kita kenal harusnya merujuk pada “leisure devoted to learning”. Pergeseran pemahaman mengenai sekolah ini pernah dikupas tuntas oleh guru rakyat, Roem Topatimasang, dalam buku berjudul “Sekolah itu Candu”.

Di sana dijelaskan bahwa “sekolah” pada dasarnya, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang Yunani kuno dalam mengisi waktu luang mereka. Ini dilakukan untuk menanyakan hal-hal yang perlu mereka ketahui dengan cara berkunjung ke tempat atau orang yang dianggap lebih tahu tentang hal tertentu.

Baca Juga  Tanah Ulayat di Minangkabau

Maka, dari pengertian awal mengenai sekolah, kita kritisi kembali pengetahuan jamak kita mengenai sekolah dewasa ini. Mengapa sekolah harus dilembagakan? Bukankah semua tempat, semua orang, asal menyimpan pengetahuan yang belum kita ketahui tetapi kita butuhkan adalah sekolah?

Jika kita gagap mendudukkan kembali definisi sekolah pada hakikatnya, maka kita akan semakin mengamini, bahwa sekolah merupakan satu-satunya institusi yang dianggap mampu mencerdaskan seorang anak oleh orangtuanya. Kita akan semakin lazim mendengar kalimat “kalau tidak sekolah, kamu mau jadi apa?” yang dilontarkan orangtua kepada anak-anaknya.

Atau dari kacamata pendidik. Akan semakin banyak guru yang dengan mudah memberikan stereotype, nakal, mbeling, atau tak punya masadepan bagi siswa yang kerap bolos sekolah. Padahal, merujuk hakikat sekolah, sangat mungkin mereka ber- skhole dari luar gedung “sekolah”.

Mengambil momentum

Alih-alih pandemi COVID-19 memberikan dampak negatif di segala bidang kehidupan masyarakat. Penulia berpendapat, di dunia pendidikan justru akan memperoleh angin segar, asalkan kita semua pandai mengambil momentum.

Pemerintah diharapkan tidak hanya melihat bahwa proses ini hanya sekadar transfer media saja dari face to face ke daring. Pemerintah harus bisa menguatkan kembali peran penting keluarga sebagai madrasah pertama bagi siswa.

Kehidupan New Normal telah mengawinkan bekerja dari rumah dengan sekolah daring dalam mahlinggai rumahtangga. Dengan orang tua sebagai penghulunya. Keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak-anak adalah modal penting yang harusnya mampu mengalahkan peran sekolah dengan segala capaiannya.

Orang tua siswa memiliki waktu yang lebih untuk memperhatikan tumbuh kembang anak-anaknya. Bahkan, kontribusinya sebagai ‘guru’ dalam sekolah bernama keluarga sangat dinantikan. Teknologi yang serba online mampu menjadi media bagi para orang tua untuk memilah pelajaran.

Baca Juga  Alasan Partai Ummat Cenderung Mudharat daripada Manfaat

Lebih jauh lagi, orang tua sebagai guru di sekolah keluarga, bisa mencermati bakat terpendam anak dan menggosoknya untuk jadi permata. Bukankah kita telah diperintahkan dalam surat asy-Syu`arâ ayat 214, agar memberi peringatan pada kerabat-kerabat terdekat? Semata-mata sebagai upaya untuk menjauhkan keluarga dari api neraka (at-Tahrîm: 6).

Jika tidak ada keseriusan pemerintah untuk menguatkan peran keluarga, serta orang tua enggan mengambil peran penting pendidikan yang selama ini telah dititipkan pada istitusi sekolah, maka bukan tidak mungkin skhole (bc: waktu luang) anak-anak kita diambil alih oleh game yang bertebaran di dunia maya.

Jadi, siapkah sekolah daring ditetapkan secara permanen?

Editor: Sri/Nabhan

1 posts

About author
Instruktur DPD IMM DIY
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds