Oleh: H. Mh. Mawardi
Dari gerakan pengajian yang diasuh Kiai Ahmad Dahlan makin berkembang hingga menjadi sekolahan. Mula-mula masih sangat sederhana. Makin lama makin ramai dengan bertambahnya jumlah murid-murid. Warga kampung Kauman menyebut sekolahan yang diasuh Khatib Amin dengan sebutan: ”Sekolah Kiai.”
Sekolah Kiai
Rupanya, Kiai Ahmad Dahlan dapat menyelami jiwa anak-anak dan pemuda-pemuda. Pengajian yang beliau selenggarakan makin ramai dan bertambah jumlah anggotanya sehingga ruangan menjadi sempit. Dengan bantuan para dermawan kemudian dapat diusahakan ruangan (di muka rumah Kiai), yang lebih luas dan dilengkapi dengan bangku. Semula aktivitas masih berwujud pengajian biasa, lambat-laun tambah teratur. Akhirnya, berubah menjadi madrasah.
Beberapa pelajar sekolah guru (Kweekschool) pada tiap hari Ahad datang di Kauman untuk membantu memberi pelajaran membaca dan menulis huruf Latin serta berhitung.
Sekolah telah berwujud, tetapi karena organisasi Muhammadiyah belum berdiri sehingga sekolahan tersebut belum disebut Sekolah Muhammadiyah. Terkenal di kampung Kauman pada waktu itu dengan nama ”Sekolah Kiai” (artinya sekolah kepunyaan Kiai).
Volksschool
Kiai banyak berkenalan dengan pemimpin BO. Pada umumnya mereka banyak perhatian terhadap dunia pendidikan. Pimpinan BO bersedia membantu usaha Kiai supaya dapat bantuan dari pemerintah kolonial (subsidi). Maka berhasillah Sekolah Kiai mendapat subsidi sehingga disetarakan dengan Volksschool = Sekolah Desa (SD 3 tahun). Ketika Muhammadiyah telah berdiri, Sekolah Kiai dikenal dengan nama VolksschoolMuhammadiyah Kauman. Demikianlah kemudian Muhammadiyah mulai mempunyai sekolah yang teratur.
Sekolah tersebut berkembang dengan baik. Tidak hanya warga Kauman, Volkschool Muhammadiyah dapat menarik perhatian orang-orang tua dari luar kampung ini. Cita-cita Kiai Dahlan ialah akan megejar ketinggalan umat Islam. Jika hanya dengan sekolah Muhammadiyah itu, tentu akan lambat sekali laju perkembangan Muhammadiyah. Oleh karena itu, kepada beberapa keluarga Muhammadiyah dianjurkan supaya memasukkan anak-anak mereka ke sekolah di luar Kauman. Demikianlah, maka beberapa pemuda dan pemudi masuk ”Sekolah Neutral” (HIS dari Neutrale-School Stichting).
Suatu langkah yang menggemparkan, anak-anak perempuan dari Kauman ke luar kampung, masuk sekolah yang dipimpin oleh seorang Belanda (kafir). Anak-anak yang masuk sekolah ”Neutral” pada pagi hari, pada sore harinya dikumpulkan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan dihadapi sendiri, diisi keagamaannya. Anak-anak inilah yang kemudian harinya menjadi penerus, pemimpin organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Kepada pemuda-pemuda didorong supaya pergi keluar daerah Yogyakarta, ke Betawi (Jakarta) masuk perguruan Arab (Al-Atas, Al-Irsyad), dan ke pondok di antaranya ke Pondok Termas (Pacitan). Tidak hanya pemuda dan pemudi yang didorong supaya mengaji (menuntut ilmu), juga para bapak dan ibu, bahkan para buruh batik (pengobeng), yang kebanyakan datang dari desa, dibimbing supaya mengaji.
Sumber: SM no. 9/Th. Ke-58/1978. Judul asli “Perkembangan Perguruan Muhammadiyah” karya H. Mh. Mawardi. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan perubahan judul dan penyuntingan.
Editor: Arif