Pada suatu masa, Muhammadiyah pernah menjadi ‘payung besar’ yang menaungi beragam sumber daya manusia tanpa melihat latar belakang kelompok atau golongan. Laksana payung besar, Muhammadiyah mengakomodir ragam kultur keagamaan dan ideologi-ideologi pergerakan. Termasuk aliran Ahmadiyah sempat bersanding harmonis dengan Muhammadiyah. Bahkan, terdapat pengurus teras Muhammadiyah menyeberang ke Ahmadiyah, seperti sosok Djojosoegito dan Moh. Hoesni.
Djojosoegito dan Moh. Hoesni
Ngabehi Djojosoegito adalah misan dari KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Ia seorang intelektual pribumi lulusan pendidikan Belanda yang mengabdi di Muhammadiyah pada periode KH Ahmad Dahlan dan KH Ibrahim. Pertama kali masuk jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah pada 1918, Djojosoegito menjabat sebagai Sekretaris I, menggantikan posisi Haji Fachrodin. Jabatan Sekretaris II dipegang oleh Moh. Hoesni, seorang intelektual muda progresif.
Djojosoegito adalah seorang intelektual pribumi progresif yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Kepada Djojosoegito, Ki Bagus Hadikusumo pernah belajar bahasa Belanda. Adapun Moh. Hoesni seorang intelektual progresif yang memiliki visi keagamaan modernis.
Dalam ”Peringatan Perkumpulan Tahunan Muhammadiyah tanggal 30 Maret sampai 2 April 1923 di Yogyakarta,” Hoesni memberi peringatan dan menyadarkan pengurus dan anggota Muhammadiyah yang baru saja kehilangan sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Kata Hoesni, “Adakah kemajuanmu itu karena KH Ahmad Dahlan? Atau adakah kemajuanmu itu karena Allah? Jika kemajuanmu itu karena KH Ahmad Dahlan, sekarang ia sudah meninggalkan dunia, meninggalkan kamu, diambil oleh yang mempunyai dan menguasai dia. Tetapi jika kemajuanmu kepada kebajikan itu karena Allah, ketahuilah, bahwa Allah itu tiada meninggal selama-lamanya.”
Pada masa kepemimpinan KH Ahmad Dahlan, Djojosoegito terpilih sebagai Sekretaris I sejak periode 1918-1922. Selanjutnya, pada masa kepemimpinan KH Ibrahim, Djojosoegito menjabat sebagai sekretaris sejak periode 1923-1928. Pada Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 yang diselenggarakan di Surakarta, nama Ngabehi Djojosoegito sudah tidak tercantum dalam daftar HB Muhammadiyah bersama Moh. Hoesni. Sejak tahun 1929, jabatan sekretaris HB Muhammadiyah dipegang oleh M Junus Anies. Kemudian, pada tanggal 16 Juni 1929, perubahan struktur HB Muhammadiyah menempatkan H Hasjim sebagai Sekretaris I dan M Junus Anies sebagai Sekretaris II.
Ahmadiyah
Pada tahun 1924, seorang propagandis Ahmadiyah aliran Lahore bernama Mirza Wali Ahmad Beg berkunjung ke Yogyakarta, menyampaikan pandangan keagamaan versi Ahmadiyah di rumah R. Soetopo. Selanjutnya, propagandis Ahmadiyah ini diundang mengisi pengajian di Masjid Perempuan Muhammadiyah (Langgar Aisyiyah) di Kauman pada tanggal 28 Maret 1924. Pidato Mirza Wali Ahmad Beg berisi pandangan keislaman yang sangat modernis sehingga mempengaruhi beberapa aktivis Muhammadiyah yang berhaluan modern. Di antara aktivis Muhammadiyah yang terpengaruh oleh pemikiran Mirza Wali Ahmad Beg adalah Djojoseogito dan Moh. Hoesni.
Pada tahun 1925, Haji Fachrodin melakukan wawancara yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham keagamaan Ahmadiyah. Dalam wawancara tersebut, Mirza Wali Ahmad Beg dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan seputar paham kenabian Ghulam Ahmad.
Pada tahun 1926, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), ayah Buya HAMKA, berdebat dengan Mirza Wali Ahmad Beg seputar paham kontroversial kenabian Ghulam Ahmad. Perdebatan ini dimenangkan oleh Haji Rasul sehingga pendukung Mirza Wali Ahmad Beg terkucilkan. Di antara tokoh Muhammadiyah pendukung Mirza Wali Ahmad Beg ialah Djojosoegito dan Moh. Husni.
Mendirikan Gerakan Ahmadiyah
Terhitung sejak Congres Muhammadiyah ke-18 tahun 1929 di Surakarta, nama Djojosoegito dan Moh. Hoesni tidak tercantum dalam daftar HB Muhammadiyah, karena keduanya sudah keluar dari Muhammadiyah dan mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore. Salah satu keputusan Congres Muhammadiyah ke-18 menegaskan bahwa “orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir.”
Djojosoegito dan Moh. Husni dikeluarkan dari HB Muhammadiyah. Namun atas dukungan Mirza Wali Ahmad Beg, Djojosoegito dan Moh. Husni mendirikan organisasi Ahmadiyah aliran Lahore di Indonesia (GAI). Djojosoegito menjabat sebagai ketua pertama.
Organisasi Ahmadiyah aliran Lahore bercorak modern-liberal. Ketika umat Islam di Indonesia masih asing dengan al-Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa selain bahasa Arab, organisasi Ahmadiyah sudah menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Bahkan, Djojosoegito menerjemahkan Tafsir Al-Qur’an karya Maulana Muhammad Ali dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Jawa. Langkah gerakan Ahmadiyah ini kemudian diikuti oleh organisasi Islam modern lain, termasuk Muhammadiyah.
Penulis: Mu’arif
Riset : Tim IBTimes
Editor : Yahya FR