Feature

Sektarianisme adalah Akar Terjadinya Krisis di Lebanon: Catatan Perjalanan dari Beirut

6 Mins read

Selama seminggu penuh (17-21/07/2023), saya mengikuti lokakarya musim panas (summer course) tentang sektarianisme yang diselenggarakan oleh American University of Beirut, di Lebanon. Kegiatan ini mengundang belasan sarjana yang memiliki kepakaran dalam meneliti isu-isu sektarianisme di berbagai kawasan. Mereka adalah antropolog, sosiolog, sejarawan dan sarjana ilmu politik yang bekerja di berbagai universitas di Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah, India hingga Turki.

Seluruh peserta kegiatan ini sebelumnya telah mempersiapkan makalah yang mengkaji persoalan sektarianisme dari sudut pandang keilmuannya, lalu menyajikannya untuk didiskusikan secara bersama sama (peer-review). Saya merasa sangat beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar secara langsung dari berbagai sarjana yang telah meneliti isu sektarianisme selama belasan tahun di berbagai kawasan, khususnya di negara-negara Timur Tengah.

Selama mengikuti lokakarya ini, saya belajar tidak hanya melalui diskusi-diskusi berbobot ilmiah tinggi oleh para sarjana di ruang universitas tertua di Lebanon ini. Namun juga belajar dari kisah-kisah pengalaman hidup sehari-hari warga Lebanon dan komunitas diaspora Indonesia yang tinggal di Lebanon. Cerita dan pengalaman mereka sangat berharga dalam membentuk pemahaman saya mengenai persoalan sektarianisme dan kaitannya dengan krisis ekonomi, sosial dan politik yang sedang menempa Lebanon.

***

Sejak malam pertama tiba di Beirut, saya langsung merasakan bagaimana sulitnya hidup bagi kebanyakan warga Lebanon. Setelah antre yang cukup lama di bagian imigrasi bandara—karena hanya ada dua petugas yang melayani ratusan orang yang hendak masuk ke Lebanon—, saya akhirnya berhasil menemukan taksi yang telah dipesan oleh panitia kegiatan. Sang supir taksi membawa saya ke hotel yang berjarak sekitar 20 menit berkendara dengan mobil.

Selama perjalanan menuju hotel, saya melihat bagaimana kegelapan menyelimuti kota Beirut pada minggu dini hari waktu setempat. Sepanjang mata memandang, saya hanya mampu melihat dalam remang-remang gedung gedung perkantoran, apartemen, dan jalanan yang sekilas tersorot lampu mobil taksi. Memang, beberapa kafe dan restoran nampak menyala dan terlihat ramai oleh pengunjung. Namun, kondisi keseluruhan kota Beirut malam itu diliputi oleh kegelapan. Jalanan pun nyaris tak ada penerangan sama sekali.

Setelah beberapa hari singgah di Beirut, saya menyadari bahwa inilah realitas Lebanon hari ini. Bagi sebagian besar masyarakat Lebanon, akses listrik 24 jam sehari adalah sebuah kemewahan. Seorang teman mahasiswa di sebuah Universitas Islam di Beirut menceritakan bahwa apartemen mahasiswanya hanya menyediakan listrik selama maksimal sepuluh jam dalam sehari. Di malam hari, mereka harus menggunakan lampu emergency untuk belajar. Ketika berkunjung ke gedung arsip nasional milik pemerintah Lebanon, sang petugas kantor mengatakan bahwa manuskrip-manuskrip tua warisan era kesultanan Turki Usmani kini sekarat dan menuju kehancuran karena akses listrik yang sangat terbatas.

Baca Juga  Belajar dari Isolasi Mandiri COVID-19

Padahal, sebagaimana kita tahu pengaturan temperatur dan suhu ruangan menjadi kunci dalam menjaga kualitas manuskrip tua yang sudah berusia ratusan tahun. Bayangkan, listrik menjadi langka bahkan di gedung pemerintahan di pusat dan ibu kota negara. Sudah pasti kondisi lebih buruk terjadi di wilayah pedesaan yang jauh dari pusat kekuasaan dan ekonomi.

***

Minimnya akses warga terhadap kebutuhan paling dasar sekalipun seperti listrik menggambarkan betapa beratnya krisis yang dihadapi oleh warga kebanyakan Lebanon. Obrolan saya dengan beberapa sopir taksi, pelajar, pemilik apartemen, dan diskusi-diskusi selama lokakarya memberi kesan pada saya bahwa hidup menjadi sangat sulit di Lebanon akhir-akhir ini. Banyak warga yang saya temui bahkan mengatakan saat ini adalah periode terburuk Lebanon selama hidup mereka.

‘’Ketika perang saudara (1975-1990) masih ada pemerintah dan listrik menyala sepanjang hari,’’ ujar seorang supir taksi yang mengaku hanya mendapat 10 US dollar setelah bekerja nyaris seharian di Lebanon. Separuh pendapatannya habis untuk membeli harga bensin yang kian tinggi dan ongkos sewa mobil. Pendapatannya jelas tak sebanding dengan tingginya biaya hidup di kota Beirut.

Dia mengaku bahkan tak lagi mampu membeli sandwich untuk makan sehari-hari dan menggantinya dengan biskuit. Kisah pak supir taksi ini beresonansi dengan keadaan mayoritas warga Lebanon yang menurut laporan kantor PBB untuk urusan humanitarian sekitar 80% warga Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan.

Sektarianisme dan Kaitannya dengan Krisis Hidup

Lalu apa kaitan berbagai krisis dan kesulitan hidup yang diderita kebanyakan warga Lebanon dengan sektarianisme? Jawabannya sangat terkait erat. Pemahaman tentang konteks historis dan politik Lebanon akan membantu di sini. Lebanon bisa dibilang merupakan salah satu negara dengan sistem politik yang paling kompleks dan masyarakat yang paling plural di Mediterania bahkan di Timur Tengah.

Sejak zaman Turki Usmani hingga era pembentukan Republik Lebanon di tahun 1920 an di bawah mandat Prancis, tatanan politik di Lebanon disusun berdasarkan pembagian kekuasaan (power sharing) yang mengikuti konfigurasi sekte sekte (sub) keagamaan yang eksis di masyarakat Lebanon. Ada delapan belas sekte keagamaan baik di kalangan pengikut Muslim dan Kristen yang direkognisi oleh negara dan masing-masing diberi ‘’jatah’’ kekuasaan di berbagai lembaga pemerintahan.

Fakta nasional pada tahun 1943 dan kemudian perjanjian Thaif yang mengakhiri perang sipil Lebanon (antara tahun 1975-1990) melembagakan sistem politik sektarian ini: kursi presiden diduduki oleh seorang Kristen Maronite, sementara perdana menteri harus dijabat oleh seorang Sunni Muslim, dan ketua parlemen dijabat oleh seorang Syiah Muslim. Kesepakatan ini terus diikuti hingga saat ini.

Baca Juga  Muhammadiyah Akan Bangun Sekolah Kedua untuk Pengungsi Palestina di Lebanon

***

Partai politik dan organisasi sosial keagamaan di Lebanon sebagian besar mengikuti garis-garis sektarianisme ini, seperti partai Lebanese Force and Free Patriotic Movement dari kalangan Kristen, Hezbollah dan Amal Movement dari komunitas Muslim Syiah dan Future Movement dari golongan Muslim Sunni untuk menyebut beberapa contoh.

Tatanan politik sektarianisme juga mengatur nyaris semua sektor kehidupan masyarakat Lebanon, seperti hukum pernikahan dan keluarga, administrasi pemerintahan, dan akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan dan pelayanan hak dasar publik lainnya. Ketika berbincang dengan Dubes Indonesia untuk Lebanon, Pak Hajriyanto Thohari yang pernah menulis buku berjudul ‘’The Antropology of Arab: Catatan Etnografis Dubes RI di Lebanon’’ (2021) yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah, sistem power sharing ini juga sampai diterapkan di institusi pendidikan tinggi untuk mengatur pembagian siapa yang menduduki kursi rektor hingga dekan berbasis konfigurasi sekte keagamaannya.

Pada tahun 2019 Lebanon dilanda krisis ekonomi, dimana nilai tukar mata uang mereka terhadap dollar Amerika terjun bebas ke titik terendah sepanjang sejarah. Krisis ekonomi yang parah ditambah bencana ledakan besar yang bersumber dari gudang penyimpanan amonia nitrat di pelabuhan kota Beirut membuat masyarakat semakin frustasi. Warga sipil dari berbagai sekte dan kelas sosial turun ke jalan memprotes elit politik dan menuntut pembubaran sistem pemerintahan sektarian. Nahasnya, krisis legitimasi politik yang disebabkan protes besar-besaran anti-pemerintah ini semakin memperburuk keadaan sosial dan ekonomi Lebanon.

Bagaimana Masyarakat Lebanon Bertahan Hidup?

Di tengah krisis politik dan ekonomi serta absennya negara dalam kehidupan sehari-hari warga, bagaimana masyarakat Lebanon bertahan hidup dan memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya? Di sinilah sektarianisme sebagai sistem sosial, politik dan ekonomi menunjukkan daya tahan dan kekuatannya, serta sekaligus turut memperburuk krisis multidimensi yang mendera masyarakat Lebanon.

Ketika berjalan jalan di berbagai kawasan Beirut, saya dengan mudah melihat berbagai bendera dan spanduk partai dan organisasi sosial-keagamaan yang mewakili komunitas sektarian tertentu. Di sekitar apartemen tempat saya singgah di Beirut Barat yang dikenal sebagai ‘’wilayah Muslim’’ ketika perang sipil berkobar, spanduk dan bendera partai Amal berwarna hitam dan merah memenuhi sudut sudut jalanan menjelang perayaan besar hari Asyura yang diperingati secara besar-besaran oleh komunitas Syiah di berbagai negara Timur Tengah.

Memang, warga Lebanon sering menyebut suatu kawasan sebagai daerah komunitas sektarian tertentu akibat legasi perang sipil selama lima belas tahun. Misalkan, Beirut Timur disebut ‘daerah Kristen’ sedangkan Beirut Barat disebut sebagai ‘kawasan Muslim’. Dan ada banyak kawasan pemukiman yang disebut sebagai basis komunitas sektarian tertentu: Syiah, Sunni, Maronites, Druze, Alawite dan sebagainya.

***

Dominasi suatu sekte keagamaan-politik tertentu di suatu wilayah ini juga sangat mempengaruhi bagaimana warga mengakses layanan dasar yang seharusnya disediakan oleh negara, seperti listrik misalkan. Jika suatu daerah dikuasai oleh sekte tertentu, maka penyedia listrik yang menguasai generator pemasok energi ke rumah-rumah warga juga didominasi oleh jejaring elit dan pengusaha lokal dari sekte dominan. Warga harus berlangganan dan membayar kepada jaringan penyedia listrik informal ini yang acapkali memiliki koneksi dengan para politisi dan elit politik sektarian Lebanon.

Baca Juga  Kristen Muhammadiyah: Taat Kristen, Cinta Muhammadiyah!

‘’Masalah listrik di Lebanon adalah masalah politik bukan masalah teknis dan infrastruktur’’ ujar seorang dosen di American University of Beirut ketika kami sedang makan malam di sebuah restoran dan tiba-tiba lampu listrik padam selama beberapa saat.

‘’Listrik dikuasai oleh mafia yang punya koneksi dengan politisi sektarian, krisis ini menguntungkan mereka’’ ujar seorang pemandu wisata kota yang saya ikuti ketika menyusuri pemukiman-pemukiman di Beirut.

Beberapa warga Lebanon yang memiliki penghasilan cukup baik mampu membeli solar panel yang harganya mencapai ribuan dollar. Mereka berani merogoh kocek yang dalam demi menikmati fasilitas listrik 24 jam sehari dan bebas dari ketergantungan ‘’mafia generator’’ yang memonopoli akses listrik di banyak daerah pemukiman warga.

***

Dalam bukunya yang berjudul ‘’Everyday sectarianism in urban Lebanon: Infrastructures, Public Services and Power’’ (2016) yang bersumber dari penelitian doktoralnya di Universitas California, Joanne Nucho menyebut, bahwa organisasi politik dan agama berbasis sektarian berperan besar dalam menyediakan akses bagi warga Lebanon terhadap berbagai pelayanan publik yang seharusnya dipenuhi oleh negara seperti pendidikan, layanan sosial, kesehatan hingga generator listrik. Melalui penyediaan infrastruktur dan pelayanan sosial inilah ‘’komunitas sektarian’’ dalam masyarakat Lebanon terbentuk melalui serangkaian proses interaksi antara elemen identitas keagamaan dan etnis, serta faktor geografi lingkungan, kelas sosial dan gender.

Fakta sosial ini membawa dilema tersendiri. Di satu sisi, bisa dibilang keberadaan komunitas sektarian melalui berbagai organisasi politik dan keagamaan inilah yang menopang kehidupan sebagian besar masyarakat Lebanon sehingga tidak terjerembab pada kekacauan total dan anarki sosial. Namun di sisi sebaliknya, komunitas sektarian yang terus terpelihara ini menghambat munculnya identitas nasional yang kohesif sebagai suatu negara bangsa (nation-state) dan tampilnya negara yang efektif dan mampu menyediakan hak dasar warga.

Fragmentasi sektarian ini juga kerap dieksploitasi dan dimanipulasi oleh elit-elit politik untuk terus berkuasa dalam memelihara status quo. Akibatnya, pelayanan dasar dan ruang publik yang inklusif nyaris tidak tersedia sama sekali. Yang ada hanyalah ruang-ruang sektarian dan akses terhadap pelayanan dasar yang perantarai aktor-aktor bayang berbasis klientalisme, patronase, dan tentu saja sektarianisme.

Editor: Soleh

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Doktoral di Departemen Antropologi, Universitas Utrecht Belanda dan Dosen Sosiologi di FISIPOL UGM
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds