Saya tertunduk lemas mendapat berita kepergianmu. Saya tiba-tiba gemetar dan tidak bisa berkata apa-apa. Hanya air mata yang mengiringimu.
Inilah yang namanya ajal. Tuhan lebih tahu yang terbaik untukmu. Aku pun maklum, bahwa tidak seseorang yang bisa menembus misteri kematian. Sekali lagi, tidak ada. Bahkan malaikat pencabut nyawapun acap salah, dan “terpaksa” mengembalikan nyawa seseorang yang sudah kadung dicabutnya. Cukup, persoalan ini hanya Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a’lam.
Pekan lalu, kita rapat di Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah via teleconference. Mas Najikh, engkaulah yang menginisiasi pertemuan itu. Membahas bagaimana kita dan Jaringan Saudagar Muhammadiyah berpartisipasi dalam menekan efek wabah Covid-19. Bagaimana agar masyarakat, terutama warga persyarikatan tidak jatuh kemudian tertimpa tangga pula. Bahkan mengusulkan, bagaimana kita menggalang dana. Bagaimana kita menjawab kebijakan Pemerintah tentang social safety net.
Usai pertemuan itu, saya baru sadar, bahwa mas Najikh tiba-tiba pamit, karena kelelahan dan butuh istirahat. Terus terang, saya tidak pernah mendengar kata-kata pamit dan lelah itu yang meluncur dari mas Najikh, walaupun melalui WA. Beliau pantang menyebut kata lelah, istirahat, mundur, dan kata-kata yang mengandung aroma pesimisme. Beliau selalu memotivasi, berlaku disiplin, dan tak pantang untuk menyerah terhadap keadaan. Wajahnya selalu memancarkan air muka optmisme, dan selalu mengatakan, pasti bisa.
Usai pertemuan itu hingga Jum’at pagi, saya tidak dapat kabar darimu. Padahal lazimnya, beliau selalu kontakan rutin menanyakan tentang Majelis Ekonomi. Tiba-tiba Jum’at, 17 April 2020 pukul 11.30 WIB, saya dapat warta dari tim Surabaya, bahwa Mas Najikh telah dijemput malaikat Izrail atas perintah Tuhannya. Rasa cinta Tuhan untuk menjemput mas Najikh yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh siapa pun.
Sekelabat, saya merasa bahwa ada sebuah tempat di mana kata-kata saya menjadi sunyi, menjadi sepi dan hambar. Di mana bisikan-bisikan hati pun muncul dan tak tertabiri. Ada sebuah tempat di mana suara nyanyian dan imajinasi pertemanan kita, menyeruak dalam memoriku.
Dalam memoriku, kau adalah sosok saudagar handal. Di lingkungan Muhammadiyah, tidak gampang menemukan sosok sepertimu. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Anda adalah saudagar, tapi jiwa sosialmu untuk membantu puluhan ribu nelayan tidak ada yang menyangsikan. Kamu selalu mengadvokasi mereka, mencari jalan keluar dalam belitan dan kesulitan ekonomi. Kamu selalu memberi cahaya. Kamu adalah penerang bagi mereka.
Kamu adalah sosok saudagar yang unik. Melibatkan banyak orang dalam mengelola bahan bakumu, dan tidak tanggung-tanggung, mereka adalah nelayan kecil. Di bawah bendara PT Kelola Mina Laut (KML) dan berbagai anak usahamu, telah melebarkan sayap ke seantero nusantara, dan menjaring pasar internasional. Berpuluh-puluh negara, produk hasil lautmu dinikmati.
Bahkan, para petinggi di negara-negara maju mencicipi hasil usahamu. Aku bangga bisa berteman denganmu.
Akhirnya, aku tak mampu berkata, bahwa ini nyata atau cuma mimpi. Lubuk hatiku terus menjerit. Kesunyian yang pahit di tengah suasana di mana silaturrahim fisik kita terbatasi. Tugas kita di Majelis Ekonomi pun, jauh belum tuntas. Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus kita tuntaskan. Tugas membangkitkan jiwa saudagar, membangun jejaring, menguatkan institusi agar lebih handal, semuanya belum selesai.
Biarlah saya, sebagai sekretaris dan pengurus harian majelis yang melanjutkan. Insya Allah, tak usah ragu mas.
Mas Najikh, selamat jalan. Selamat menempuh hidup baru dan bercengkrama dengan Tuhan. Mas Najikh, lihatlah para malaikat menari-nari menjemputmu. Hanya doa dari kami yang mengirimu. Pasti kami akan menyusul, cepat atau lambat. Kami, dari jauh melambaikan tangan, salam perpisahan fisik. Sementara batin tidak.
Tiba-tiba, aku pun tertunduk dan ingat ucapan Allah: “Barang siapa yang mengharapkan bertemu Tuhannya maka hendaklah melakukan amal shalih dan janganlah menyekutukan ibadah terhadap Tuhannya dengan suatu apapun.” (QS al-Kahfi: 110). “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).
Aamiin. (Karawaci, 17 April 2020)
*Penulis adalah Sekretaris MEK PP Muhammadiyah