Agama adalah basis-inspirasi. Ia tidak hanya sebagai spirit kreatif, tapi sekaligus sumber pengetahuan itu sendiri. Agama meliputi hampir semua aspek kehidupan termasuk problem alam semesta.
Islam, sebagaimana terwahyukan di dalam Al-Qur’an maupun hadis, sudah sulit terbilang berapa yang sudah menjadikannya sebagai basis inspirasi.
Di sini, pertanyaan kuncinya ialah bagaimana pandangan keagamaan atau refleksi teologis Nurcholish Madjid (Cak Nur) tentang alam?
Bagi Cak Nur (2019: 824), Islam mengajarkan pandangan yang positif lagi optimis tentang alam. Dalam Islam, eksistensi alam raya ini haqq: benar dan nyata serta baik. Alam raya diciptakan oleh Allah “dengan haqq” (bi al-haqq), tidak secara main-main (bi al-la‘b), tidak pula secara palsu (bi al-bāthil).
Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Dia (Allah) menciptakan langit dan bumi dengan benar,” (QS. 39:5); “Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya itu secara main-main,” (QS. 21:16); “Dan Kami tidaklah menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya itu secara bāthil.” (QS. 38:27).
Di samping itu, Cak Nur (2019: 824) juga mendalilkan bahwa karena alam ini bereksistensi benar dan nyata, maka semua bentuk pengalaman di dalamnya adalah benar dan nyata, termasuk pengalaman hidup manusia.
Implikasinya: pengalaman di alam semesta bisa mendatangkan bahagia atau sengsara dalam potensi yang sama, tergantung manusia sendiri; dan harapan untuk meraih kebahagiaan di dunia ini juga dibenarkan, di samping harapan kebahagiaan di akhirat kelak.
Alam: ‘Alāmah dan Āyah Tuhan
Alam semesta adalah ‘alāmah dan āyah Tuhan. Menurut Cak Nur (2019: 827 dan 4676), alam dalam bahasa Arab disebut ‘ālam, seakar kata dengan ‘ilm (pengetahuan) dan ‘alāmah (pertanda), dan di beberapa konteks lain juga disebut sebagai āyah, yang juga berarti pertanda.
Hal ini berkandungan bahwa alam semesta adalah ‘alāmah dan āyah Tuhan. Karena itu, Al-Qur’an banyak sekali memerintahkan agar alam semesta ini dipelajari. Kegunaan utamanya ialah menyadari keberadaan Tuhan sekaligus mengakui keagungan-Nya.
Sejalan dengan itu, Cak Nur (2019: 828-829 dan 4675-4676) juga memandang alam semesta sebagai sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Eksistensi alam raya adalah eksistensi teleologis, berhikmah, penuh maksud dan tujuan, tidak sia-sia.
Karena itu, studi tentang alam akan: membimbing kepada kesimpulan positif dan sikap penuh apresiatif yang merupakan ciri utama orang-orang yang berakal budi; sekaligus akan menyadarkan makna alam raya sebagai ayat-ayat Tuhan.
Secara filosofis, Cak Nur (2019: 4677) juga mengandaikan realitas alam raya yang senantiasa berputar (thawāf) sebagai kerinduan alam raya terhadap Penciptanya.
Rembulan mengelilingi bumi; bumi mengelilingi matahari; matahari bersama tata-suryanya mengelilingi galaksinya; dan seterusnya. Seluruh alam raya akhirnya thawāf di sekitar ‘arsy.
Bagi Cak Nur, realitas ini adalah refleksi alam raya yang rindu (‘āsyiq) kepada yang-dirindukan (ma‘syūq), yaitu Tuhan. Diandaikannya, alam yang terus berputar ini seakan-akan dalam rangka mencari-menuju Tuhan.
Harmoni Alam dan Sunnatullāh Menurut Cak Nur
Berdasarkan firman Allah Swt, di dalam Al-Qur’an: “…Tak akan kau lihat dalam ciptaan (Allah) Yang Maha Pemurah yang tak seimbang; balikkanlah pandanganmu sekali lagi, adakah tampak olehmu yang cacat? Kemudian ulanglah pandanganmu sekali lagi; pandangan(mu) akan berbalik kepadamu, letih dan membingungkan,” (QS. 67:3-4). Cak Nur mendalilkan bahwa alam raya ini bersifat serasi lagi harmonis. Bagi Cak Nur (2019: 4676), harmoni alam semesta merupakan cerminan dari Penciptanya.
Harmoni alam semesta disebabkan oleh keberadaan suatu hukum pasti yang menguasai alam semesta. Cak Nur (2019: 829-830) menilai: hukum-pasti tersebut dapat disebut taqdīr (kepastian), qadar (ukuran yang persis-pasti), atau biasa disebut sunnatullāh.
Menurutnya, Allah telah men-taqdīr (memastikan) suatu hukum di alam semesta, sebagaimana firman-Nya: “… Dan Dia (Allah) menciptakan segala sesuatu, kemudian diatur-Nya secara pasti sepasti-pastinya,” (QS. 25:2); “Sesungguhnya segala sesuatu itu Kami ciptakan dengan aturan yang pasti,” (QS. 54:49).
Sebagai konsekuensi dari pandangan itu, maka pertama, keberadaan hukum tersebut bersifat pasti dan tak-terhindarkan, tidak mungkin ditaklukkan ataupun dilawan, dan menentukan atau determinatif terhadap segenap alam semesta beserta isinya termasuk manusia.
Dalam perspektif kosmologis, iman kepada taqdīr atau qadar Tuhan dapat berarti beriman kepada keberadaan suatu hukum pasti itu selaku ketetapan dan keputusan Allah Swt, di dalam alam semesta. (Madjid, 2019: 830).
***
Kedua, sungguhpun alam ini memang disediakan untuk manusia, tapi alam semesta mengandung suatu hukum pasti atau sunnatullāh yang determinatif terhadap manusia.
Maka, relasi manusia dan alam semesta sejatinya bersifat dialektik atau balanced. Hukum tersebut adalah demarkasi: menjadi pembatasan dan keterbatasan manusia dalam berelasi dengan alam semesta.
Ikhtiyar manusia yang membuahkan keberhasilan atau kegagalan akan setaraf dengan korelasinya terhadap hukum tersebut: ketika berkorelasi positif maka dapat diandaikan keberhasilannya, atau sebaliknya. (Madjid, 2019: 830).
Ketiga, keberadaan suatu hukum pasti yang menguasai alam semesta tersebut, menjadikan alam semesta secara sekaligus bersifat predictable, dapat terprediksi.
Karena prediktabilitas alam semesta inilah maka potensi pengetahuan manusia terhadap alam semesta ataupun ilmu pengetahuan dapat menjadi aktual. (Madjid, 2019: 840).
Bahkan bagi Cak Nur (2019: 823), sejati ilmu pengetahuan adalah upaya memahami hukum pasti Tuhan di alam semesta itu, sehingga akan bernilai kebenaran ketika dapat merepresentasikan hukum tersebut secara tepat.
Catatan Akhir
Alam semesta adalah benar lagi nyata, maka harus dihadapi secara positif dan optimis. Di alam semesta ini, manusia perlu melibatkan-diri secara aktif terlebih dalam rangka pelaksanaan amanatnya sebagai khalīfah Allah dengan misi-utama memakmurkan dunia.
Justru, nilai manusia ditakar dari: seberapa aktif dan positif keterlibatannya di dalam kehidupan ini, yang sekaligus akan menjadi modal-modal pertanggungjawabannya kelak di Pengadilan Ilahi.
Di alam semesta ini, manusia dibenarkan untuk berkeinginan dan berikhtiar mendapat kebaikan (hasanah), di samping akhirat nanti.
Keinginan dan ikhtiar itu tidak semata bermakna penting bagi praksis kehidupannya, tapi lebih-lebih adalah sebagai ibadahnya, penghayatan dan pengabdian kepada Tuhannya. Wallāh A‘lam bi al-Shawāb.
Editor: Yahya FR