Di penghujung tahun 2019, saya membaca kembali karya Augustinus Wibowo, dimulai dengan buku Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afganistan. Melalui pengalaman visual penulis ini, saya diajak menelusuri negara Afghanistan yang telah luluh-lantak karena perang bertahun-tahun. Juga cengkeraman hukum adat melalui agama Islam di bawah rezim Taliban.
Selimut Debu; Kegetiran Afghanistan
Ada getir yang saya rasakan sekaligus rasa penasaran tentang negeri yang sedikit banyak dibayangkan oleh orang-orang Muslim Indonesia; aturan Islam yang kaffah, perempuan menggunakan burqa, dan laki-laki menjadi tulang punggung utama keluarga sekaligus pemimpin. Rezim Taliban memang sudah berganti, perang juga sudah tidak berhenti. Tetapi, sisa kekerasan atas identitas dan agama masih saja tumbuh, membuat negara mundur dari arus modernitas yang dirasakan oleh kita saat ini.
Dalam buku ini, Agustinus Wibowo tidak hanya menjadi seorang backpacker lazimnya kata yang menjadi umum dan trend. Melainkan menjadi seorang musafir yang bepergian dari sudut kota ke kota lainnya; asing, berbahaya, sekaligus juga menentramkan saat bertemu dengan orang-orang baik.
Melalui narasi sejarah sekaligus catatan etnografi yang kuat, ia membisikkan tentang sebuah masyarakat yang masih terlepas. Tidak hanya dari internet melainkan juga dari listrik sekaligus tentang tragedi melalui bom, senapan, sekaligus penculikan sebagai bagian kehidupan normal di sudut-sudut kota negeri bangsa Pashtun.
Membaca buku setebal bantal ini juga merefleksikan bahwa betapa bersyukurnya kita hidup dalam negeri dengan bahasa pemersatu bernama Indonesia sekaligus Pancasila sebagai ideologi negara. Di bawah agama sebagai satu-satunya pemersatu masyarakat Afganistan, masyarakat tumbuh dalam patriarki laki-laki dalam geografis yang keras.
Perempuan dipaksa berada di rumah atas nama menjaga kehormatan. Pendidikan menjadi barang aneh. Letak kebebasan perempuan hanyalah cadar/burqa yang memungkinkan dirinya bebas untuk kemana-mana di ruang publik dengan posisinya dirinya sebagai anonim.
Jawaban Islam Radikal
Namun, dalam situasi tersebut, imajinasi tentang negara Islam di Indonesia masih terus tumbuh dan berkembang. Cita-cita tentang sebuah negara berdasarkan syariah Islam secara menyeluruh masih terus dihembuskan dengan berkeyakinan itulah satu-satunya jalan menuju kehidupan dunia yang terbaik.
Sementara, atas nama Islam di bawah rezim Taliban, tidak sedikit masyarakat Afganistan yang merasa bahwasanya tak ada yang bisa diharapkan dari negara yang tumbuh melalui kekerasan, teror, sekaligus juga kematian. Beragam peristiwa yang setiap hari menyapa dalam kehidupan masyarakatnya.
Tidak perlu membikin buku ajar dengan proyek ratusan juta untuk melakukan proses deradikalisasi di Indonesia. Tidak perlu juga mengatasnamakan melawan radikalisasi jika ingin sekadar menempatkan kelompok militer ke dalam kementerian agama. Jika kita serius menolak radikalisasi dengan jalan literasi, buku ini bisa menjadi jawaban.
Ini karena, Agustinus tidak menggurui mengenai apa itu agama di bawah rezim fasis dengan menggunakan agama di Afghanistan. Melainkan menceritakan secara jujur dampak ikutan aturan tersebut yang beririsan kuat dengan sejarah global sekaligus adat dalam suku-suku di Afganistan.
Narasi tentang kepedihan, rasa luka, sekaligus harapan masyarakat Afghanistan ini bisa menjadi cermin untuk Indonesia. Terkhusus bagi mereka yang bercita-cita mendirikan negara Islam sebagai penyelamat di dunia dan akhirat. Padahal, dalam setiap sistem politik, apapun itu bentuknya, ada sekelompok orang-orang tamak yang menggenggam kekuasaan untuk ambisi pribadinya.
Editor: Nabhan Mudrik Alyaum