Tajdida

Agar Semangat Beragama Tak Menjadi Fanatisme Buta

5 Mins read

Urgensi Mempelajari Agama Lain

Pentingnya belajar tentang agama lain tidak boleh diabaikan sebagai bagian dari upaya rejuvinasi dialog lintas agama. Tidak sulit untuk berargumen bahwa ketidaktahuan seseorang tentang agama lain dan, tentu juga, tentang keluasan agamanya sendiri kerap menjadi rintangan menuju dialog.

Sementara, kebodohan tentang agama lain seringkali memicu prasangka buruk, stereotyping dan bahkan penghinaan. Kebodohan tentang agamanya sendiri bisa menyebabkan ketertutupan. Keduanya merupakan hambatan serius dialog lintas agama (Sirry, 2018).

Ini merupakan suatu pendidikan yang sangat penting dalam membangun perdamaian. Kelompok agama lain juga harus bisa dipelajari, baik kitabnya maupun doktrin sosialnya.

Dialog memang menawarkan pandangan yang luas dan komprehensif. Dialog memberikan serangkaian diskusi terbuka untuk bisa saling tahu antara satu sama lain. Ini penting sekali menjadi konstelasi dalam menyiram bunga yang sedang layu.

Peremajaan kembali urgensi dialog lintas agama menjadi begitu wajib ada. Terutama bagi mereka yang bergulat dalam kesarjanaan lintas agama, perbandingan agama, atau teologi agama—terutama Kristen-Islam (Saidurrahman, 2018).

Dialog antar Agama

Bagi para intelektual, cendekiawan Muslim kegiatan dialog lintas agama begitu harus. Pasalnya, kegiatan dialog ini mencoba merajut kemajemukan dari pergumulan para intelek dengan beberapa rujukan yang mutakhir tentunya.

Diskusi dan critical thingking menjadi tradisi keilmuan dalam Islam yang sudah sejak lama ada. Tak lain juga tradisi menulis, membaca, dan berdiskusi. Perbedaan yang menyajikan pandangan beragam, akan menimbulkan bercak-bercak yang juga beragam.

Sehingga, para intelek Islam mencoba merivisi setiap hasil kajian dengan beragam refrensi mutakhir dan mencoba mengkomparasikan dengan studi klasikal.

Dialog itu Bukan Berarti Saling Serang

Dialog lintas agama, bukan ajang untuk saling mendiskreditakan agama lain. Mengetahui lebih jauh tentang agama lain—Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan agama lainnya—baik agama samawi maupun agama ardhi, ialah merupakan salah satu kunci merumuskan cinta kasih, saling mengetahui dan menghargai di antara agama lain di dunia maupun di Indonesia.

Karena perlu dicatat bahwa dialog bukan debat—ndaki-ndaki dengan fanatis individualis pemikirannya, bukan itu. Debat juga menjadi bagian dalam musyawarah, pembuka ilmu bahkan kritisnya manusia dari debat tersebut, tapi dalam konteks ini bukan itu.

Dialog lintas agama di sini dimaksudkan mencakup interaksi antar dan intra agama, maupun antar dan intra kelompok agama.

Baca Juga  Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

Dialog seperti yang diungkapkan Mun’im (2018) bahwa dialog lintas agama merupakan kebutuhan kita bersama karena bisa menjadi solusi atas berbagai ketegangan dan intoleransi yang belakangan semakin menguat.

Karena itu, pentingnya dialog lintas agama untuk menumbuhkan rasa pengertian dan penghargaan antar-komunitas. Dialog itu bisa mengambil banyak bentuk, misalnya tukar pikiran khusunya dalam ranah teologi, berbagi pengalaman keagamaan, kerja sama, dan kolaborasi atau dialog dalam relasi kehidupan bersama (Sirry, 2018).

Sehingga begitu penting me-refresh ulang dalam kontestasi keberagaman ini mewadah dalam dialog. Ranah praksis dalam pragmatis, sosial maupun teologis pun harus bisa tetap harmonis.

Dalam semua jalan itu, penting untuk terus dirajut. Keberadaan tentang suatu hal yang berbeda bukan menjadi sisi problema. Kadang kehadiran mereka menjadi bulan-bulanan pasal, hukum yang tak semestinya.

Katanya negeri majemuk, mengakui keberadaan kiprah agama lain, kenapa masih saling memojokkan? Bahkan mau mengusir.

Samangat Beragama Bukanlah Fanatisme Buta

Apakah mereka yang taat beragama menjadikan radikal dalam berpikir maupun bertindak? Akankah semangat beragama jika tidak terbarengi nilai spiritualis menjadi pudar dan fanatis terhadap yang lain?

Ini sering terjadi pada konteks Indonesia. Kelompok minoritas yang telah menghuni negeri ini dalam rentang sekian tahun, masih saja merasa minoritas. Apakah keminoritasan ini berasal dari kelompok yang hadir—transnasional movement, ataukah kelompok yang sudah lama menghuni dan berdiri di negeri ini? (Ismail, 2019).

Sebenarnya, semakin mereka mencoba untuk bertahan –survive dalam kubangan kemayoritasan kelompok lain, sebenarnya itulah toleransi. Kebijakan untuk memayungi seluruh agama samawi, agama ardhi, agama lokal, hanya sebatas hitam di atas putih.

Paradoks Toleransi

Ketika praksisnya bahwa mereka juga tidak begitu toleransi. Ini yang kemudian oleh Karl Popper disebut sebagai paradoks toleransi. Kehadiran mereka menjadikan begitu terbuka wilayah dialog saling memperkuat pada nasionalisme dengan menanamkan dialog lintas agama.

Kelompok agama dan agama lokal di Indonesia sering dipinggirkan. Mereka tidak masuk dalam kelompok dan agama yang memenuhi prasyarat sebagai bagian dari keyakinan dalam diri manusia.

Misalnya hadirnya Ahmadiyah, terutama Ahmadiyah Qadiyani atau JAI yang berpusat di Parung, Bogor. Mereka sering termarjinalkan, terminoritaskan bahkan di tahun 2020 kemarin di Garut, penegelan kembali masjid Ahmadiyah.

Baca Juga  Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah

Ini menandakan mereka belum bisa diterima 100 % sebagai kelompok transnasioanal yang nasional. Apakah kesulitan pengakuan terhadap Ahmadiyah karena sisi doktrin teologinya? Apakah kelompok Ahmadiyah ini berbeda dengan kelompok Islam mainstream Indonesia?

Semangat Beragama Zakir Naik

Kembali lagi, bahwa dialog lintas agama bukan untuk saling menjajaki saling mendiskreditkan satu sama lain. dr. Zakir Naik, kita tahu semua bahwa ia seorang dokter di India yang kemudian beralih profesi sebagai dai internasional yang kajian dakwahnya fokus pada perbandingan agama-agama.

Semangat dalam berislam akan membuahkan progres yang baik dalam menjadikan Islam dalam diri akan berkembang. Namun, ketika kesemangatan tersebut tanpa diimbangi dengan spiritualitas agama, kesejarahan negeri, maka mereka akan hanya sebatas jihad fisik, semangat luaran dan mungkin radikal-fanatis terhadap kelompok lain bahkan sesama.

Tak Semua Menerima Pluralisme

Memang bagi mayoritas Islam Indonesia baik tradisionalis maupun modernis, tak semua sepakat dengan pluralisme. Memaknai sebagai kelompok yang mayoritas, Islam harus menjadi wadah, payung bagi kehadiran saudara-saudara iman lainnya di negeri ini dengan sambutan yang meriah.

Stigma buruk dan penyudutan istilah kafir dalam realitas umat ketika harus menyambung dulur kepada saudara lintas iman tersebut. Yang paling menjadi krusial pada hubungan agama ialah ketika Muslim masuk ke gereja. Sering merasa takut dan banyak tafsir yang kemudian menjelaskan akan ketidakbolehan untuk masuk gereja.

Ini penting seperti yang telah dikemukakan di awal tentang perlunya dialog lintas agama. Bahkan gerakan-gerakan pemuda lintas agama juga sudah mulai meretas diri. Memahami akan teologi agama lain, diskusi tentang doktrin agama lain, memahami Tuhan-Tuhan dari sisi historis mereka itu tidak bermasalah.

Dipastikan ada batasan-batasan dalam menyikapi hubungan tersebut. Selama hubungan itu baik, dan tidak ada pemaksaan atau mendiskreditkan agama lain, tidak ada problem yang harus dirisaukan.

Dari kajian-kajian ilmiah dan tukar wawasan, pengalaman tentang lintas agama itulah, dipastikan akan tumbuh kehidupan yang rukun dan harmonis dalam kubangan kemjemukan agama di dunia terkhusus di Indonesia.

Banyak Cara dalam Praktik Toleransi Beragama

Banyak medium yang bisa digunakan dalam mengampanyekan toleransi beragama. Medium itu bisa dalam perjumpaan langsung—luring atau dengan perjumpaan virtual—daring.

Ketika dunia masih damai—sebelum era-era covid-19, mungkin kegiatan lintas agama bisa dengan medium luring; misalnya seminar, kuliah umum, diskusi kritis tentang lintas agama.

Baca Juga  Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Bedanya Mu’tazilah dengan Muhammadiyah?

Ini menjadi medium yang sangat relevan untuk mencoba membangun paradigma kritis terhadap agama lain maupun agama pribadi. Dan melihat pada tataran historis, menjadikan kekomprehensifan akan makna agama lain semakin kompleks.

Namun, di masa pendemi covid-19 ini yang juga masih belum reda, memungkinkan pertemuan langsung begitu sangat jarang dan bahkan ditiadakan untuk sementara waktu.

Semua kegiatan dilakukan dengan perhelatan daring. Seminari lintas agama dengan gaya diskusi dan dialog langsung, belum bisa dihadirkan dalam satu emosional yang membangun.

Namun, memang harus memanfaatkan sebaik mungkin dengan adanya beragam aplikasi untuk menyatukan yang jauh di masa pandemi ini yakni dengan medium daring dalam berlintas agama.

***

Berlintas agama begitu banyak klasifikasinya, misalnya dalam ranah sosial, budaya, dan teologis. Pada ruang sosial, banyak kegiatan lintas agama digagas dengan melakukan pembangunan kesejahteraan masyarakat lintas agama, membantu finansial pada lintas agama,  dan kegiatan sosial-sosial lainnya yang digagas oleh komunitas-komunitas lintas agama yang bersinergi.

Dalam ranah budaya, ada kegiatan-kegiatan tradisi masyarakat yang sudah didaulat menjadi edukasi lintas agama, misalnya nyadran. Nyadran sudah menjadi tradisi yang diafirmasi oleh komunitas lintas agama menjadi ladang membangun kerukunan hidup antarumat agama dalam bingkai budaya.

Ketika dalam ruang teologis banyak digunakan para intelektual untuk membangun kerangka dalam beragama yang damai. Terutama memahami sisi historis kemunculan agama-agama dunia baik—samawi maupun agama ardhi.

Ini menjadi ruang tersendiri bagi para kalangan cendekia yang sedang membangun keilmuan lintas agama. Dengan menggunakan ragam-ragam referensi sebagai pembanding dan pendahulu ini sebagai kekayaan keilmuan dalam mentradisikan studi-studi agama yang tidak hanya dilihat pada tataran normatif atau simbolis saja.

Jadi, agama lebih kritis, historis, dan bisa dikaji dari banyak arah. Kalau Mun’im Sirry (2018) menjelaskan antara mengaji dan mengkaji agama. Kalau mengaji mendoktrin sebagai dai, agamawan, akan tetapi mengakaji ialah lebih kritis dan melihat agama ditropong dalam kacamatan ilmiah, lebih anilitis dan kritis dalam menyikapi teks-teks agama.

Jadi, lebih luas dalam memaknai agama, tidak sekadar hanya membaca al-Quran, alkitab, tapi mencoba mendialogkan, mendiskusikan bahkan ada kritisisasi dalam setiap teksnya.

Editor: Yahya FR

Ahmad Zainuri
24 posts

About author
Ahmad Zainuri, lahir di Jember, 19 Desember 1997. Suka nulis, sejak SMA dan hingga kuliah. Hobi, sepak bola, menulis, makan. Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds