Sebelum kedatangan risalah kenabian Muhammad, bangsa Arab memiliki tradisi bertutur yang sangat kuat. Tradisi bertutur sangat erat kaitannya dengan daya ingatan yang kuat pula. Saking kuatnya tradisi bertutur ini, orang-orang Arab sampai mampu merunut silsilah atau garis keturunan mereka hingga puluhan generasi sebelumnya. Benarkah bangsa Arab menjadi bangsa penutur terbaik?
Bangsa Semit-Arab
Nenek moyang bangsa Arab adalah bangsa Semit (Ibrani: Hebrew). Bangsa ini sering dikaitkan dengan sejarah Nabi Ibrahim. Sejarawan Israel Wilson, sebagaimana dikutip Ahmad Syalabi (2006: 12-13), berpendapat bahwa bangsa Arab adalah bangsa Semit. Adapun yang dimaksud dengan bangsa Semit adalah orang-orang keturunan Sam bin Nuh. Dari silsilah inilah kemudian melahirkan bangsa Semit yang tersebar di seantero Jazirah Arab.
Bahasa yang digunakan oleh orang-orang keturunan Sam bin Nuh di kawasan Arab memiliki kesamaan karena memang termasuk dalam satu rumpun bahasa. Steven Olson dalam buku Mapping Human History (2004: 206), memasukkan bahasa Arab dalam kategori rumpun bahasa Afro-Asiatik. Rumpun bahasa ini meliputi: bahasa Ibrani (dipakai dalam kitab Perjanjian Lama), bahasa Aramik (dipakai dalam kitab Perjanjian Baru), dan bahasa Arab (dipakai dalam kitab suci al-Quran).
Bangsa Semit yang mendiami Jazirah Arab menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Suku Quraisy yang mendiami kawasan Hijaz dengan kondisi alam yang gersang dan tandus menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sebagai keturunan bangsa nomaden, bahasa yang mereka gunakan tidak banyak berkembang. Pada masa menjelang kenabian Muhammad SAW, bahasa ini belum banyak diartikulasikan dalam bentuk tulisan, tetapi masih sebatas bahasa lisan yang digunakan sehari-hari.
Daya Ingatan
Bangsa Arab yang hidup nomaden di kawasan tandus memang dapat dikatakan terbelakang dari segi peradaban jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, misalnya Persia dan Byzantium. Apalagi, budaya tulis belum berkembang pada masa menjelang kenabian Muhammad SAW. Kemampuan baca tulis hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, misalnya dari kaum bangsawan dan kelas pedagang saja. Dalam upaya melacak peristiwa atau hal-hal penting yang terjadi di masa lalu, mereka hanya mengandalkan kekuatan ingatan.
Daya ingatan orang-orang Arab pada masa menjelang kenabian Muhammad SAW memang menjadi salah satu ciri khas dari bangsa ini. Salah satu tradisi orang-orang Arab yang masih bertahan hingga kini adalah kebiasan menyebut secara runtut silsilah keluarga hingga beberapa generasi sebelumnya.
Dengan kekuatan daya ingatan, mereka juga mampu menuturkan atau mengisahkan peristiwa-peristiwa di masa lalu tanpa menggunakan sumber-sumber atau bukti-bukti empiris. Ciri khas “metode kisah” atau “metode penuturan” (Arab: qishshah) lebih mengutamakan aspek subtansi pesan ketimbang validitas sumber atau bukti empiris. Para penutur kisah dalam tradisi Arab disebut ruwat (para pencerita) (Syafiq Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 1, 2002: 26).
Sekalipun orang-orang Arab belum melek huruf pada masa menjelang kenabian Muhammad SAW, tetapi bangsa ini telah memiliki keluhuran budi bahasa. Seni keindahan dan ketandasan bahasa (al-balaghah) telah berkembang dan menjadi budaya positif yang bernilai tinggi.
Bangsa Penutur Terbaik
Satu bukti yang dapat menunjukkan keluhuran budi bahasa orang-orang Arab sebelum kedatangan Islam adalah tradisi perlombaan sya’ir yang di gelar tahunan di Pasar Ukadz. Ketika Pasar Ukadz digelar, masing-masing suku Arab berkompetisi dalam kemahiran menggubah dan melantunkan sya’ir. Bagi pemenang kompetisi sastra tersebut, buah karyanya akan dipasang di dinding Ka’bah. Karya sastra terbaik disebut “al-Mu’allaq.” Secara kharfiah, kata al-Mu’allaq artinya “sesuatu yang digantung.” Adapun yang dimaksud adalah buah karya sastra terbaik yang digantung di dinding Ka’bah.
Dalam konteks historis-sosio-kultural semacam inilah al-Quran sebagai wahyu paripurna diturunkan. Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad SAW, seorang dari bangsa Arab, diturunkan menggunakan bahasa Arab, dan salah satu metode penyampaian pesan-pesannya menggunakan metode “kisah” (qishshah) yang merupakan bagian dari tradisi bangsa Arab. Atas dasar inilah, kiranya tidak keliru jika bangsa Semit-Arab disebut sebagai “bangsa penutur terbaik.”
Editor: Nabhan