Oleh: Zenwen Pador*
Awalnya Front Pembela Islam (FPI) begitu bersemangat mengurus perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) ke Kementerian Dalam Negeri. Surat Pernyataan di atas meterai tentang kesetiaan terhadap Pancasila, NKRI dan UUD 1945 pun kabarnya sudah disertakan juga.
Berdasarkan surat kesetiaan tersebut, bahkan Menteri Agama (Menag) Fahrul Razi yang awalnya bersuara keras terkait sepak terjang FPI kabarnya telah melunak. Menag mengeluarkan surat rekomendasi perpanjangan SKT tersebut kepada Mendagri.
Namun sampai saat ini SKT yang ditunggu-tunggu tersebut tak kunjung beres. Akibatnya FPI terlihat seakan frustrasi atau mungkin sedikit mutung. Ketua Umum FPI Ustadz Sobri Lubis akhirnya mengeluarkan pernyataan tentang tidak pentingnya SKT tersebut dan FPI tak akan meneruskan mengurusnya.
FPI tak butuh-butuh amat dengan SKT yang hanya digunakan untuk mendapatkan bantuan pendanaan dari Pemerintah. FPI tak butuh minta bantuan ke Pemerintah. Kira-kira begitulah sikap Ormas tersebut saat ini.
Polemik SKT
Namun sepertinya polemik terus berlanjut. Sekjen MUI Anwar Abbas dikabarkan meminta Pemerintah menerbitkan perpanjangan SKT FPI. Dia juga meminta FPI diajak berdialog untuk kemajuan bangsa.
Permintaan Sekjen MUI ini seperti ditanggapi agak nyelekit oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang menegaskan permintaan SKT FPI tidak bisa diwakilkan. SKT harus diajukan langsung oleh FPI.
“SKT itu tidak bisa diminta (diwakilkan) oleh orang lain, termasuk Majelis Ulama Indonesia sekalipun, termasuk oleh malaikat sekalipun,” ujar Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, sebagaimana banyak diberitakan media pada kamis (26/12).
Pernyataan Mahfud ini kemudian ditanggapi agak emosi oleh FPI dengan menyebut Mahfud bakal minta ampun jika benar didatangi malaikat pencabut nyawa, Izrail.
“He-he-he… penodaan agama tuh… pakai bawa-bawa malaikat. Nanti kalau didatangi malaikat Izrail beneran, baru minta-minta ampun,” kata Sekretaris Umum FPI Munarman dalam keterangannya, untuk menjawab pernyataan Mahfud Md (Detik.com, 27/12/2019).
Waduh kok jadi malaikat dibawa-bawa segala. Saya heran juga kenapa tetiba Menkopolhukam menyebut malaikat dan Sekjen FPI kaitkannya dengan malaikat izrail. Mudah-mudahan ketegangan ini tidak berlanjut.
Tanpa Konsekuensi Hukum
Dari pihak FPI, Munarman menyebut bahwa pihaknya saat ini mengalami kesulitan dalam hal komunikasi karena berhadapan dengan pihak yang disebutnya tidak konsisten. Munarman menegaskan FPI telah menjalankan semua proses terkait perpanjangan SKT.
SKT FPI sendiri telah habis masa berlakunya sejak 20 Juni lalu. FPI lalu mengajukan perpanjangan SKT. Akan tetapi, berkas dikembalikan oleh Kemendagri lantaran ada syarat yang belum dipenuhi.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan keputusan FPI tak memperpanjang SKT tak memiliki konsekuensi hukum. Ormas itu masih bisa tetap berorganisasi, berkumpul, dan menyuarakan aspirasinya.
Senada dengan Margarito, Mahfud MD yang juga seseorang Pakar Hukum Tata Negara menyampaikan pendapat yang sama. Mahfud menyebut bahwa organisasi yang tidak punya SKT tetap boleh berjalan. Benarkah demikan aturan hukumnya?
AD FPI yang mengganjal SKT
Mendagri Tito Karnavian mengatakan proses perpanjang SKT FPI akan relatif memakan waktu lebih lama karena masih ada beberapa masalah pada AD/ART.
“Kemarin sempat muncul istilah dari FPI mengatakan NKRI bersyariah. Apakah maksudnya dilakukan prinsip syariah yang ada di Aceh apakah seperti itu?” kata Tito saat menjawab pernyataan salah seorang anggota Komisi II DPR dalam sebuah rapat kerja bersama Komisi II beberapa waktu lalu.
Dalam AD/ART FPI kata Tito, terdapat pelaksanaan hisbah (pengawasan). Menurut Tito, terkadang Front Pembela Islam melakukan penegakan hukum sendiri seperti menertibkan tempat-tempat hiburan dan atribut perayaan agama.
Satu hal yang harus dipahami bahwa latar belakang keluarnya Perpu Ormas yang kemudian menjadi UU No. 16 tahun 2017 tentang Pengesahan Perpu Ormas menjadi UU adalah fakta masih adanya Ormas tertentu yang dinilai Pemerintah yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah. Bahkan secara faktual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Selain itu dengan perubahan UU Ormas diharapkan Pemerintah lebih efektif menerapkan sanksi terhadap ormas yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian beberapa dasar filosofis dan sosiologis keluarnya Perpu perubahan UU Ormas ketika itu.
FPI Diuntungkan?
Kemudian apakah benar SKT hanyalah sebagai pelengkap bagi sebuah Ormas dan hanya dibutuhkan bila Ormas tersebut hendak mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Sehingga tanpa SKT pun Ormas tetap dapat beraktivitas seperti biasa.
Pasal 15 UU Ormas menegaskan Ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dalam hal sebuah Ormas telah memperoleh status badan hukum, Ormas tidak memerlukan SKT.
Kemudian pasal 16 menegaskan pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum dilakukan dengan pemberian SKT oleh Menteri Dalam Negeri dengan memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan yang dimaksud antara lain akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD atau AD dan ART, program kerja, susunan pengurus, dan surat keterangan domisili.
SKT diberikan oleh Menteri bagi Ormas yang memiliki lingkup nasional, gubernur bagi Ormas yang memiliki lingkup provinsi atau bupati/walikota bagi Ormas yang memiliki lingkup kabupaten/kota.
Kalau dicermati FPI adalah Ormas yang berbentuk perkumpulan yang berbasiskan anggota. Tetapi FPI adalah perkumpulan yang tidak berbadan hukum. Sebab kalau FPI sudah mendapat pengesahan berbadan hukum oleh Menkumham seharusnya FPI tidak perlu melakukan pendaftaran untuk mendapatkan SKT dari Kemendagri, sebagaimana diatur pasal 15 UU Ormas di atas. Namun faktanya FPI melakukan pendaftaran ke Kemendagri untuk mendapatkan SKT dan SKT tersebut sudah harus diperpanjang karena telah berakhir pada 20 Juni 2019 lalu.
Namun demikian sekalipun masih terganjal perpanjangan SKTnya, FPI memang tetap bisa beraktivitas. Keberuntungan bagi Ormas yang tidak berbadan hukum salah satunya adalah tidak ada kewenangan Pemerintah membubarkan FPI sekalipun perpanjangan SKTnya terganjal karena diduga bertentangan dengan UU Ormas.
Berbeda dengan Ormas yang berbadan hukum seperti HTI yang karena dinilai aktivitasnya bertentangan dengan UU Ormas Pemerintah berwenang mencabut status badan hukumnya. Pencabutan status badan hukum sekaligus merupakan pembubaran ormas bersangkutan secara hukum.
Dalam Pasal 80A UU Ormas ditegaskan bahwa Pencabutan status badan hukum Ormas sekaligus dinyatakan bubar berdasarkan Undang-Undang. Berdasarkan pasal ini tentu saja HTI yang sudah dicabut status badan hukumnya sudah dinyatakan bubar dan tidak dapat lagi beraktivitas secara kelembagaan.
Ketentuan ini tentunya tidak berlaku bagi FPI karena FPI bukanlah Ormas yang berbadan hukum. Maka sekalipun SKT tidak diperpanjang FPI tetap bisa beraktivitas.
Harus Taat Hukum
Namun demikian pengurus Front Pembela Islam tetap harus waspada. Pastinya Kemendagri telah mencatat bahwa dari anggaran dasarnya diduga kuat melanggar UU Ormas. Hingga sudah pasti akan ada pengawasan yang ketat dari Pemerintah selain terhalangnya upaya FPI mengakses bantuan dana Ormas dari APBN/APBD.
Pasal 82A UU Ormas menjadi ancaman bagi setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.
Larangan yang dimaksud ayat (1) adalah melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial serta melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Juga setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Larangan yang dimaksud ayat (2) ini adalah melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan dan melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
Larangan lain adalah menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang, melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
***
Kita berharap anggota dan pengurus Ormas manapun tak terjerat pasal pidana tersebut. Bahkan untuk FPI tentunya kita berharap dapat segera menjalin komunikasi secara baik dan lancar dengan Pemerintah sehingga polemik perpanjangan SKTnya dapat segera terselesaikan dan tidak berimbas negatif dan merembet kemana-mana.
Pada prinsipnya keberadaan Ormas pastilah diniatkan untuk kontribusi positif bagi kemaslahatan umat dan persatuan bangsa. Mestinya kesenjangan pemahaman dan komunikasi antara Pemerintah dan FPI sebagai Ormas dapat segera menemukan titik temu. Pihak Kemendagri menurut saya dapat mengundang FPI sehingga dapat berlangsung komunikasi yang dialogis antara kedua belah pihak.
Di lain pihak tentunya tidak bijak juga bila Front Pembela Islam bersikap seperti tak butuh lagi dengan Pemerintah. Bagaimanapun sinergi antara Pemerintah dengan masyarakat sipil melalui ormas semacam FPI akan memberi arti positif bagi kemajuan dan kemaslahatan bangsa.
*) Peneliti Hukum. Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI) Jakarta
Editor: Nabhan