Bukan hanya hikmah Ilahiyah yang berdimensi batiniah seperti yang pernah dikatakan Sufi Besar Al-Sheikh Al-Akbar Ibnu Arabi (1165-1240 M.) yang insya Allah saya dapatkan di Beirut, Lebanon, bagian dari Arab Levant atau negeri Syam (biladu Syam) yang penuh rahasia dan diberkahi itu, melainkan juga hikmah kesehatan.
Ceritanya sederhana saja: sebuah gigi saya berlobang (cavity) yang sudah ditambal cukup lama. Jauh sebelum saya berangkat menunaikan tugas negara ke Beirut (ceileee…tugas negara nih ye…). Entah karena apa tiba-tiba tambalan gigi tersebut terlepas. Mungkin karena sudah terlalu lama atau mungkin juga karena saya bersikat gigi di pesawat terbang yang nota bene sikat giginya terlalu keras.
Tahu-tahu tambalan itu sudah terlepas. Sungguh itu sangat mengganggu pemandangan. Apalagi lubang gigi itu -bahkan dari jarak tertentu- suka tampak menghitam yang bisa jadi pemandangan yang kurang sedap (baca: “menjijikkan…”) bagi orang yang melihatnya. Bahkan kadang-kadang pada waktu menjelang tidur saya merasakan ada nyut-nyut di sana.
Karena memiliki waktu yang agak luang saya periksa ke sebuah klinik gigi di Beirut. Perlu dicatat Beirut adalah kota yang sangat maju di bidang kedokteran. Beirut telah sejak lama dikenal sebagai simbol kemajuan dunia kedokteran di kawasan Timur Tengah. Beirut malah juga terkenal menjadi pusat Wisata Kesehatan (Medical Tourism atau Health Tourism) di dunia Arab, terutama untuk kaum perempuan dari keluarga Arab kaya dari negara-negara Arab Teluk yang ingin mempercantik wajah dan tubuhnya dengan operasi plastik (plastic surgery).
****
Singkat cerita, sepasang dentist (perempuan dan laki-laki) yang masih muda yang berpraktek di klinik itu berduet menangani saya, maksudnya gigi saya, dengan peralatan medis yang sangat canggih. Mulut saya diperiksa dengan sangat teliti dan kemudian di-rontgen (X-Ray) segala macam. X-Ray khusus untuk gigi biasa disebut dengan Digital Panoramique).
Cerita bermula dari situ: dari hasil Digital Panoramique tersebut diketahui bahwa ternyata ada sepotong akar gigi yang tertinggal di dalam kedalaman gusi saya. Saya memang pernah mencabut sebuah gigi saya di Jakarta yang, mungkin saking telah lamanya, saya lupa entah kapan itu terjadi. Yang pasti itu lebih dari tujuh tahun yang lalu. Gigi yang dicabut dan menjadi ompong itu oleh dokter gigi diberi gigi palsu dengan sebuah “jembatan”. Jadi setiap bersikat gigi, gigi palsu dengan jembatannya itu mesti dilepas dulu dan disikat tersendiri di luar mulut.
Keharusan untuk melepas gigi palsu setiap bersikat gigi tersebut sungguh merepotkan sekali. Kalau tidak salah sudah dua atau tiga kali saya kehilangan gigi palsu itu karena ketinggalan di kamar mandi hotel, dan pernah sekali hanyut di westafel hotel. Saya pernah meminta sebuah hotel di Yogyakarta membangkar westafel untuk mencari gigi palsu saya yang terhanyut di dalamnya.
Maklum saja harga gigi palsu dan jembatannya itu hampir lima juta rupiyah! Pihak managemen hotel pun, mungkin dengan sedikit terpaksa, bersedia membongkar westafel tersebut. Sayang sekali gigi dan jembatannya itu tidak berhasil ditemukan karena sudah terbawa aliran air terlalu jauh ke dalam sana entah kemana. “Bayar lagi deh…lima juta?!”, kata saya dalam hati sedikit pasrah tapi tidak putus asa.
****
Kembali lagi ke inti cerita: di kedalaman gusi di bawah gigi yang ompong itulah terlihat di film hasil rontsen ada akar gigi yang tertinggal. Lumayan besar dan panjang. Kedua Dokter gigi yang muda dan cantik sekali itu, belakangan saya baru tahu keduanya lulusan Perancis namanya drg. Paulina Eid dan drg. Michel Karam itu, memutuskan akar gigi itu mesti diambil dengan operasi. Akar gigi itu jika dibiarkan di sana, katanya, mempunyai implikasi yang sangat beraneka ragam, bahkan bisa sangat serius, apalagi kalau terjadi infeksi.
Jalan pikirannya adalah bahwa potongan gigi yang tertinggal di kedalaman gusi itu sudah menjadi benda mati dan asing. Tubuh manusia tidak gampang menerima benda asing dalam tubuhnya. Belum lagi, katanya, sisa akar gigi tersebut bisa menjadi tempat bersarang kotoran sisa-sisa makanan yang susah dibersihkan. Kalau sudah kotor dan lama maka bisa memperparah infeksinya. Jika sudah infeksi bisa mengakibatkan pusing, sakit kepala, atau mengganggu konsentrasi otak! Benar atau salah, begitulah mereka mengatakan. Sebagai second opinion, saya bertanya melalui WhatsApp kepada putri saya yang tinggal di Jakarta yang kebetulan juga dokter gigi lulusan Unpad, Bandung, di mana jawabannya kurang lebih juga begitu.
Yang jelas saya selama ini memang sering sakit kepala, demam dan susah berkonsentrasi. Hanya saja saya belum tahu apakah sumbernya dari sepotong akar gigi yang tertinggal di kedalaman gusi itu atau dari penyebab lain. Mohon saya jangan diperolok-olok, apalagi di-bully ramai-ramai. Maklum saya hanyalah sarjana sastra Arab (UGM), Ilmu Perbandingan Agama (UIN) dan Master Antropologi (UI): mana tahu soal seluk beluk “pergigian” semacam itu.
Pokoknya kalau sudah terasa sakit kepala atau badan meriang saya minum obat analgetik-antipiretik saja. Kalau sudah beberapa hari tidak sembuh juga, saya hantam saja dengan antibiotik! Terhadap kebiasaan yang terakhir ini saya selalu dimarahi habis oleh putri saya yang keempat yang juga seorang dokter yang sekarang sedang ambil spesialis Saraf di Unair, Surabaya. Saya hanya bisa nyegir saja.
Sesuai dengan prinsip serahkanlah setiap persoalan kepada ahlinya, maka saya menyetujui keputusan kedua dokter gigi muda itu untuk operasi. Ternyata saya perlu lima sampai enam kali datang ke klinik gigi itu untuk penanganan seluruh persoalan gigi saya yang membengkak gara-gara hasil digital panoramique atas mulut saya di atas tadi.
Penanganan dokter sangat memuaskan, walapun saya sempat mlongo (alias terpana!) melihat invoice pembayaran yang jumlahnya amat sangat mahal: hampir USD 6.000! Meski sudah termasuk pencabutan (extraction), penanaman (implant), pembelian dua gigi palsu baru yang hendak di-implant-kan di bagian rongga gusi yang ompong dan kosong itu, jumlah itu bagi saya tetaplah sangat mahal.
Tapi apa boleh buat berhubung sudah terlanjur, dan hasilnya juga cukup memuaskan, saya sama sekali tidak menyesal. Apalagi saya seorang Duta Besar (Luar Biasa dan Berkuasa Penuh): masak akan menawar tarif jasa dokter? Itu bisa bikin malu dan berpotensi menjatuhkan harkat dan martabat Negara besar yang saya wakili. Apalagi hanya menyangkut soal uang yang hanya beberapa kepeng dollar Amerika yang bisa dicari. Gengsi dan reputasi sebagai negara besar anggota G-20 ditaruh di mana, dong! Makanya saya bayar cash begitu saja. Meski di dalam hati masih juga bertanya-tanya ngedumel: “Mahal sekali, ya…?”.
****
Kembali ke inti cerita lagi: sekarang, pasca diambilnya akar gigi yang tertinggal bertahun-tahun tersebut, kebiasaan pusing dan sakit kepala saya menghilang sama sekali. Selama ini saya sering risau karena terganggu oleh rasa pusing, ngelu, dan sakit kepala tersebut. Bahkan juga badan meriang atau demam. Sering benar saya mendiskusikan soal itu dengan isteri saya yang nota bene seorang apoteker lulusan UGM, sebuah universitas besar dan top markotop yang salah seorang alumninya menjadi Presiden itu.
Kesimpulannya selalu tambah merisaukan hati saja karena selalu berbentuk kalimat pertanyaan: jangan-jangan karena kolesterol dan trigliserit tinggi, boleh jadi kadar gula naik, atau mungkin ada saraf kejepit lagi, atau bisa saja karena kebanyakan makan nasi yang ber-kabohidrat tinggi, dan lain-lainnya. Beberapa kali periksa ke dokter pun diagnosanya juga tidak konklusif dan solutif!
Kini alhamdulillah ada perasaan “plong” dalam kepala saya. Tidak ada lagi rasa pusing menghampiri. Imsomnia yang sering menghampiri saya di malam-malam hari yang sunyi itu juga tidak datang-datang lagi. Saya merasakan badan saya lebih segar dan enak. Saya juga merasa menjadi semakin bergembira dan lucu saja. Setidaknya begitulah kata banyak orang di KBRI Beirut. Saya merasa makin kerasan saja tinggal di Beirut yang jauh ini. Kehidupan batin dan spiritual saya terasa lebih semarak: lahir dan batin. Hati saya membuncah. Saya menjadi lebih bersemangat membaca. Hangat secara spiritual, sehat secara fisikal.
Sepotong akar gigi yang tertinggal di gusi dengan segala implikasinya yang buruk itu kini telah pergi. Selalu saja ada hikmah yang tersimpan di balik setiap kejadian. Allah adalah Sang Pembuat Skenario yang terbaik, tersempurna dan tak akan pernah terkalahkan. Pokoknya, dengan penemuan sepotong akar gigi di kedalaman gusi itu, orang yang sangat menginginkan saya dipergikan jauh-jauh dari Indonesia benar-benar akan kecele!
Sumpah, hati saya membuncah! Alih-alih bersedih, saya senang sekali di sini. Kecelek mboke Cublik, kecelek bojone burik! Wek…wek…wek…*