Belum usai persoalan kemelut bangsa yang melanda negeri ini, tiba-tiba kita dikejutkan oleh musibah yang menimpa pejuang demokrasi, HAM, dan pluralisme, yaitu Abdurahman Wahid. Ia, setelah sempat dirawat beberapa hari dan menjalani cuci darah seperti biasa biasa, meninggal pada Rabu, 30 Desember 2019 sekitar pukul 18.45 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM). Seluruh elemen masyarakat Indonesia pun berduka atas kepulangannya kala itu. Gus Dur, demikian ia sering disapa, adalah guru bangsa yang telah mewarnai perjalanan Indonesia, Islam, dan keindonesiaan.
Betapa tidak, disaat orang banyak memaki dan menghujat terhadap korban peristiwa 1965-1966 karena ketidaktahuannya terhadap sejarah yang sudah didoktrin dan dimanipulasi oleh rejim Orde Baru, ia, ketika menjadi presiden, meminta maaf kepada mereka yang pernah dirampas haknya sebagai warga negara selama bertahun-tahun. Bahkan, ia, dengan berani, mengusulkan pencabutan Tap MPRS No XXV/1966 mengenai pembubaran Partai Komunis dan penyebaran ajaran marxisme, komunisme, dan leninisme.
Pada titik ini, Gusdur membuka ruang gelap masa lalu yang selama ini menjadi beban bangsa Indonesia. Ia berupaya mematahkan ingatan masa lalu yang mengawet selama bertahun-tahun. Ia telah merintis jalan rekonsiliasi terhadap mereka yang bertikai pada tahun 1965 untuk menuju bangsa Indonesia ke depan, tanpa dendam dan tanpa trauma berkesudahan. Pun ia membuat kementerian khusus di bidang HAM agar persoalan masa lalu di Indonesia benar-benar berlalu. Meskipun diakui, sikap dan tindakan ini menuai protes, umpatan, caci maki dari sebagian masyarakat Islam, dan menggoncang posisi ke-presiden-annya.
Sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama; anggota Syuriah Nahdlatul Ulama tahun 1979- 1984; Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk empat periode, 1984-1989, 1989-1994, dan 1994-1999, dan 2000-2005, Ia telah membumikan Islam sebagai rahmatan lil alamin (untuk semua umat dan golongan), dari sekedar konsep menuju aksi; Islam yang berpihak kepada kaum mustadaffin, yang tertindas dan lemah. Ini ditunjukkan dengan ungkapannya yang menghentak di tengah fenomena maraknya aksi radikalisme atas nama agama, ”Tuhan tidak perlu dibela”. Adagium ini merefleksikan ruh keberagamaan yang sangat mendalam.
Baginya, pembelaan terhadap kemanusiaan itu lebih penting daripada pembelaan terhadap Tuhan. Sebab, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak membutuhkan pembelaan manusia. Pembelaan terhadap Tuhan mengingkari kemahaan-NYA mengatasi alam semesta. Di sini, ia tidak hanya mengkritik para skriptualis Islam yang lebih berpegang terhadap teks-teks al-Qur’an, tapi luput terhadap realitas sosial yang dihadapinya, melainkan juga kepada mereka yang selalu mengatasnamakan Tuhan sebagai dalih terhadap aksi-aksi kekerasan yang dilakukan, sementara mereka sendiri mengabaikan hakikat kelembutan dalam Islam: cinta terhadap sesama.
Sementara dalam perspektif keindonesiaan bisa dilihat dari perjuangan untuk merangkul dan meleburkan pelbagai kelompok menjadi bagian dari Indonesia dengan keberpihakannya terhadap kelompok yang (di)minoritas(kan). Pencabutan terhadap Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta keagamaan dan tradisi di depan umum, lalu berganti menjadi perayaan Imlek sebagai hari libur nasional hingga kini adalah satu upaya untuk mempersatukan keindonesian tersebut. Begitu pula yang terjadi dengan Ahmadiyah, ketika kebanyakan politisi dan komponen pemerintah Indonesia angkat tangan, pura-pura tidak tahu, dan diam seribu bahasa terhadap mereka, Ia justru menghadapkan badannya di garda depan sebagai pembela hak-hak mereka. Baginya, pengikut Ahmadiyah juga memiliki hak untuk hidup yang sama seperti kita kebanyakan rakyat Indonesia. Jaminan hak hidup merekapun juga telah digaransi oleh Undang Undang.
Dus, sepak terjangnya terhadap Indonesia, Islam, dan keindonesian dengan wajah humanitas yang dikampayekan, Ia diganjar secara bertubi-tubi penghargaan dari pelbagai level nasional dan Internasional, seperti gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Jawaharlal Nehru, India, Bintang Tanda Jasa Kelas 1, Bidang Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dari Pemerintah Mesir, Pin Penghargaan Keluarga Berencana dari Perhimpunan Keluarga Berencana I, Ramon Magsaysay, Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI BJ Habibie, Gelar Doktor Honoris Causa, Bidang Perdamaian dari Soka University Jepang ( 2000 ) (Kompas/30/12/2009).
Selain itu ia juga mendapatkan penghargaan Global Tolerance Award dari Friends of the United Nations, New York ( 2003 ), World Peace Prize Award dari World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan ( 2003 ), Presiden World Headquarters on Non-Violence Peace Movement ( 2003 ), Penghargaan dari Simon Wiethemtal Center, Amerika Serikat ( 2008 ), Penghargaan dari Mebal Valor, Amerika Serikat (2008), Penghargaan dan kehormatan dari Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat, yang memakai namanya untuk penghargaan terhadap studi dan pengkajian kerukunan antarumat beragama, Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study (2008) ) (Kompas/30/12/2009).
Terlepas dari kelemahan fisik dan sosoknya yang penuh kontroversi, kita benar-benar telah kehilangan seorang putera bangsa yang memandang Indonesia dan kebangsaan jauh melampaui pandangan mata. Selamat jalan Gusdur, meskipun engkau telah kembali untuk tak kembali, tapi kontribusimu menghidupkan demokrasi di Indonesia begitu tak ternilai.
Meskipun diakui sebagai bagian dari anggota masyarakat, kami belumlah teramat siap melepas kepergianmu disaat bangsa sedang membutuhkan orang sepertimu. Ini karena, butuh lebih dari sekedar tenaga, pikiran, dan juga keberanian, tapi juga mental yang kokoh untuk berpihak kepada mereka yang tertindas. Semoga kami dapat melanjutkan perjuanganmu Gus.