Perspektif

Apakah Serangan OPM terhadap Tenaga Medis Dapat Dibenarkan?

4 Mins read

Serangan OPM dan Tenaga Medis

Pada tanggal 13 September 2021, terjadi insiden penyerangan yang mengakibatkan 4 orang terluka dan seorang meninggal dunia. Serangan itu dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terhadap sejumlah tenaga medis, di Distrik Kiwirok. Menghadapi kecaman, juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambon, mengklaim telah mematuhi Hukum Humaniter Internasional (HHI) karena telah memberikan peringatan pada warga sipil ‘non-papua’ untuk mengevakuasi diri.

Apabila warga sipil ‘non-Papua’ tidak mengindahkan peringatan, menurut Sebby, maka mereka sah diserang karena menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Klaim dari TPNPB-OPM ini menimbulkan pertanyaan: apa benar serangan TPNPB-OPM terhadap tenaga medis sudah sesuai dengan hukum humaniter internasional?

Serangan OPM dalam Konteks Hukum Humaniter Internasional

Pertama yang perlu kita tunjukkan adalah, apakah hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus ini? Karena sesungguhnya, ia hanya berlaku dalam situasi ‘konflik bersenjata’. Istilah ‘konflik bersenjata’ dalam hukum internasional mensyaratkan intensitas kekerasan bersenjata yang tinggi dan terorganisir. Ia bisa berkarakter Konflik Bersenjata Internasional (KBI) maupun Konflik Bersenjata Non-Internasional/Internal (KBNI), masing-masingnya juga memiliki syarat khusus.

Apabila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dianggap ‘konflik bersenjata’ sebagaimana dimaksud oleh hukum internasional. Jika demikian, situasi tersebut dianggap ‘gangguan domestik’ dan yang berlaku adalah hukum nasional saja, sedangkan hukum humaniter internasional tidak berlaku.

Status ‘konflik bersenjata’ di Papua selama ini masih diperdebatkan. Intensitas baku tembak antara kedua kubu yang terjadi di wilayah Indonesia dan terorganisirnya OPM dalam menjalankan operasi-operasi militer di berbagai wilayah Papua dapat menjadi bukti terpenuhinya status KBNI dan berlakunya hukum humaniter internasional. Narasi yang diangkat OPM dalam mengklaim pemberontakan mereka sebagai ‘perang melawan penjajah’ menyiratkan bahwa bisa saja konflik bersenjata ini bersifat internasional.

Ia bisa didasarkan dengan pengertian bahwa ‘perjuangan kemerdekaan atas penjajahan’ merupakan salah satu bentuk KBI sebagaimana tercantum pada Pasal 1 ayat 4 Protokol Tambahan I terhadap Konvensi Jenewa 1977. Sedangkan, Pemerintah Indonesia cenderung menganggapnya sebagai gangguan domestik oleh teroris saja, sehingga penyelesaiannya dilakukan melalui pendekatan hukum berdasarkan UU Pemberantasan Terorisme, dan hukum humaniter internasional pun tidak berlaku.

Baca Juga  Nalar Semu Fatwa MUI

Terlepas dari perdebatan tersebut, yang ingin kami kaji adalah apakah TPNPB-OPM telah mematuhi hukum yang diklaim diikuti olehnya? Penyerangan terhadap tenaga medis di Distrik Kiwirok menjadi sorotan dalam kajian ini untuk dianalisis, dengan asumsi jika HHI berlaku, apakah TPNPB-OPM sebenarnya telah menerapkan apa yang mereka klaim telah diterapkan?

Untuk menjawabnya, perlu pemahaman mengenai penghormatan dan perlindungan terhadap tenaga medis yang sudah tercantum dalam Prinsip-Prinsip Dasar yang diatur dalam hukum humaniter internasional.

Apakah Tenaga Medis Boleh Diserang?

Salah satu prinsip dasar yang paling utama dalam hukum humaniter internasional adalah ‘prinsip pembedaan’ (principle of distinction) yang bertujuan membedakan pihak yang terlibat (kombatan, boleh diserang) dan yang tidak terlibat langsung (non-kombatan, tidak boleh diserang) dalam pertempuran. Selain pembedaan terhadap individu, prinsip pembedaan juga membagi objek di pertempuran menjadi objek militer (boleh diserang) dan objek sipil (tidak boleh diserang). Prinsip pembedaan berfungsi untuk mencegah serangan terhadap orang maupun objek yang tidak terlibat langsung dalam pertempuran.

Lebih lanjut dalam kategori non-kombatan, terdapat pihak yang memiliki status perlindungan khusus berdasarkan Konvensi Jenewa, yaitu tenaga medis. Istilah ‘tenaga medis’ ini mencakup petugas yang melakukan penanganan, pencegahan, hingga administrasi medis, dan lain sebagainya. Ia bisa ditugaskan oleh salah satu pihak dalam konflik maupun pihak ketiga, baik bertugas secara permanen maupun tidak.

Perlindungan hukum bagi tenaga medis ini oleh hukum humaniter internasional diatur lebih rinci dalam Pasal 19 Konvensi Jenewa Pertama 1949 dan diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Tenaga medis yang hanya melakukan tugas medis harus dihormati dan dilindungi dalam keadaan apapun. Sedangkan menyerang mereka merupakan salah satu bentuk kejahatan perang.

Baca Juga  Guruku Pendidikanku

Yang diklaim oleh TPNPB-OPM sebagai ‘telah memahami hukum humaniter internasional’ adalah karena mereka telah memberikan peringatan di areanya, termasuk pada para tenaga medis. Menurut Sebby, semua warga sipil non-Papua yang tidak meninggalkan area sesuai peringatan sudah dianggap kombatan dan dapat diserang. Di sini, ada sedikit kebenaran pada apa yang disampaikannya. Memang, menurut hukum humaniter internasional, perlindungan terhadap non-kombatan termasuk tenaga medis tidaklah tanpa batas. Ada kalanya perlindungan itu dapat hilang.

Tenaga medis dapat kehilangan perlindungannya jika mereka bertindak di luar tugas kemanusiaannya atau bahkan ikut menyerang pihak lawan. Hal ini karena mereka seharusnya patuh terhadap prinsip kenetralan beserta fungsi kemanusiaan seorang tenaga medis. Apabila tenaga medis terlibat dalam unit tempur, membawa senjata, serta berpartisipasi secara langsung di pertempuran, maka mereka dianggap kombatan sehingga boleh diserang.

Dalam keadaan ini, terdapat praktek negara yang diakui hukum humaniter internasional bahwa tenaga medis yang menyalahi tugasnya harus diperingatkan dulu (dengan jangka waktu yang layak, tentunya). Jika tenaga medis tersebut tetap menyalahi tugasnya, setelah diberi peringatan dan waktu yang wajar, barulah mereka boleh diserang.

Selain itu, jika ada objek militer yang penting terletak di area yang terdapat banyak non-kombatan semisal rakyat sipil dan/atau tenaga medis, maka pasukan yang menyerang tidak akan dipersalahkan jika serangan itu memakan korban sipil yang tidak sengaja. Maksud ‘tidak sengaja’ adalah ketika pasukan yang menyerang telah berusaha hati-hati dengan berbagai cara, termasuk memberikan peringatan dini yang efektif.

Hal ini telah lama menjadi hukum kebiasaan internasional yang dikenal sejak Konvensi Den Haag tahun 1907 dalam Pasal 26. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang dan waktu bagi mereka agar bisa mengevakuasi diri sebelum terjadinya serangan.

Apakah Serangan OPM terhadap Tenaga Medis Dapat Dibenarkan?

Dengan merenungkan uraian tersebut, kiranya ‘peringatan’ yang diserukan sebelum serangan milisi TPNPB-OPM tidak sama dengan apa yang dimaksud oleh hukum humaniter internasional. Pada insiden 13 September silam, tidak ditemukan berita peringatan TPNPB-OPM terhadap ‘penyalahgunaan tugas’ oleh puskesmas dan sejumlah tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Distrik Kiwirok sebelum menyerang. Yang ada hanyalah peringatan untuk meninggalkan wilayah, sehingga tetap melaksanakan fungsi medis malah dianggap ‘kesalahan’ yang menjustifikasi serangan.

Baca Juga  Harlah Satu Abad NU dan Penyatuan Kalender Islam

Tidak ditemukan bukti objek militer atau kombatan berada di sekitar wilayah tersebut yang sah untuk dijadikan objek serangan sehingga serangan terhadap tenaga medis tidak dapat dianggap ‘tidak sengaja turut terkena serangan’. Justru, tampaknya tenaga medis di Distrik Kiwirok memang sengaja ditarget. Marselinus, seorang tenaga medis yang bertugas di Desa Kiriwok sejak 1,5 tahun lalu mengungkapkan bahwa para anggota TPNPB-OPM bergerak menuju puskesmas lalu menyiram bangunan dengan bensin dan membakarnya. Beberapa tenaga medis juga disiksa hingga salah salah satunya meninggal dunia.

***

Dengan demikian, klaim TPNPB-OPM dalam memahami hukum humaniter internasional terdapat salah kaprah pada setidaknya dua poin penting. Pertama, mereka salah paham pada prinsip pembedaan ketika tenaga medis dianggap kombatan yang sah untuk diserang. Kedua, mereka salah paham tentang konteks perlunya peringatan dan apa dampaknya dalam hukum humaniter internasional, sehingga menimbulkan kesalahan yang pertama. Peringatan bukanlah justifikasi untuk seenaknya mengesampingkan prinsip dasar hukum humaniter internasional, terutama perlindungan terhadap tenaga medis.

Atau, ada kemungkinan lain. Tanpa kenal hukum humaniter internasional, seharusnya hati nurani pun menolak membunuh orang yang tidak terlibat perang, apalagi tenaga medis yang mengobati semua orang tanpa pandang bulu. Jangan-jangan, mereka sebenarnya paham hukum humaniter internasional, tetapi tetap sengaja dilanggar?

Penulis: Hanif Ardiningrum Khansa & Mettio Hario Basara, Mahasiswa Departemen Hukum Internasional, FH UGM
Editor: Shidqi Mukhtasor
Avatar
1420 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds