Ahmad Fuad Fanani, sahabat saya, yang saat ini kandidat doktor di Australian National University (ANU), Canberra, suatu saat mengirimkan pesan singkat melalui telepon genggam. Intinya, ia mengabarkan bahwa Buya Syafii meminta kepadanya daftar nama aktivis-aktivis muda Muhammadiyah yang ikut terlibat di Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), khususnya; dan yang aktif dalam dunia pemikiran. Kepentingannya adalah Buya Syafii hendak memasukkannya ke dalam senarai nama yang disebut oleh Buya Syafii dalam biografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku (2009). Fuad mengabarkan nama saya akan dimasukkan dalam senarai itu. Saya mengiakan saja tanpa berfikir lebih jauh.
Setelah buku itu terbit, benar saja; sejumlah nama disebutkan Buya Syafii di dalamnya. Konteksnya adalah Buya bercerita tentang pertumbuhan intelektualisme di Muhammadiyah pada masa kepemimpinan beliau di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tentu saja tersanjung nama saya disebut. Tetapi karena nama saya ada sederet dengan nama-nama aktivis muda yang lain, saya merasakan hal itu biasa saja. Maknanya, meskipun ada nama saya di situ, saya tidak merasa bahwa Buya mengenal saya secara pribadi.
Namun, sebuah peristiwa kebetulan terjadi, dan lalu mengubah pandangan saya tentang persepsi di atas. Di arena Muktamar Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2010, saya berkeliling ke aneka stan bazar. Saya berhenti di sebuah stan buku. Tengah saya memilih dan memilah aneka judul buku yang bisa saya beli, tiba-tiba terdengar suara menyapa di belakang, “Boy, cari apa kau?” Seketika saya menoleh; dan betapa terkejut, kerena suara yang menyapa itu adalah Buya Syafii. Saya kemudian menyalami Buya yang saat itu ditemani Fajar Riza ul-Haq, Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity masa itu. Kami berbincang sejenak, dan kemudian berpisah.
***
Sebelumnya, menyambut Muktamar Muhammadiyah tahun 2010 itu, Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menggelar hajatan yang kami beri nama Muhammadiyah Update. Dalam salah satu seri kegiatan ini, Buya Syafii hadir. Selain Buya, intelektual senior Muhammadiyah lainnya, Profesor Muhadjir Effendy dan Dr Saad Ibrahim, ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tmur, juga hadir. Tajuk utama Muhammadiyah Update saat itu adalah “Menggugat Modernitas Muhammadiyah.”
Terdengar kontroversial dan seperti menantang, para pemikir senior Muhammadiyah itu setuju dengan tajuk itu, meskipun dengan sejumlah catatan. Profesor Muhadjir dan Dr Saad berada pada satu spektrum pemikiran bahwa kemapanan pemikiran keagamaan memang harus selalu dipertanyakan dan diperbarui, tak terkecuali klaim modernitas Muhammadiyah. Demikian pula Buya Syafii, seperti biasa, bicara lugas tentang berbagai realitas yang dihadapi umat Islam, dan mengajukan poin-poin pemikiran bernada pembaruan yang gamblang.
Usai kegiatan itu, Buya Syafi kembali ke Yogyakarta. Dua hari kemudian, melalui pesan singkat telepon genggam, beliau bertanya kepada saya tentang efek, atau lebih tepatnya bagaimana respons khalayak Muhammadiyah di Malang terhadap kegiatan bernada gugatan pemikiran itu. Saya kabarkan kepada Buya tentang tak mudahnya gagasan berdimensi pembaruan itu mendarat dalam alam pikiran aktivis organisasi yang di dalamnya aneka orientasi pemikiran mengalami rivalitas.
Aneka cerita di atas menegaskan satu poin: interaksi Buya Syafii dengan generasi muda sangat intens. Saya memang sangat jarang bersua fisik dengan beliau. Tetapi dalam banyak sekali kesempatan, tanpa segan, tokoh sesenior Buya mengirimkan pesan pendek ke telepon genggam banyak sekali generasi muda, untuk mengabarkan aneka perkembangan ilmu pengetahuan. Kadang Buya berbagi tulisan, kadang mengabarkan kepada kami judul-judul buku penting yang baru terbit dan mewarnai belantara pemikiran (Islam) global. Bahkan tak jarang meminta kami menulis gagasan-gagasan progresif tentang aneka isu yang berkembang.
***
Seperti yang terjadi pada suatu saat. Profesor Haedar Nashir mengirimkan kepada saya dan sejumlah generasi muda Muhammadiyah yang lain, pesan singkat dari Buya Syafii yang meminta agar penulis-penulis Muhammadiyah merespons isu khilafah dengan cara pandang yang argumentatif, berperspektif dan progresif. Selang beberapa saat, ternyata Buya juga mengirimkan pesan yang sudah terkirim melalui Profesor Haedar tadi kepada saya, dan sekali lagi, tentu ke sejumlah penulis yang lain.
Selain dekat dengan generasi muda, kisah-kisah di atas, juga menegaskan tentang sisi lain dari Ahmad Syafii Maarif, seorang pemikir besar yang dimiliki Indonesia dan Muhammadiyah. Buya Syafii melakukan pembelaan kepada generasi muda yang berfikir kritis, pada saat berfikir terbuka dianggap tabu. Buya Syafii memberikan teladan kesederhanaan, bukan dalam kata-kata, tapi dalam tindakan dan laku; di kala kemewahan menjadi orientasi hidup sebagian orang. Buya Syafii tetap menjaga kesederhaan dan rendah hati, meskipun beliau berada dalam maqam yang sangat tinggi.
Warisan Buya Syafii
Buya Syafii telah meninggalkan kita semua. Namun pesan-pesan kemanusiaannya selalu abadi. Di antara banyak sekali warisan yang beliau tinggalkan, inilah empat hal yang mampu saya rekam.
Pertama, Buya adalah seorang yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Di tengah gejala dunia hari ini yang banyak diistilahkan sebagai post-truth, Buya tetap gigih mengumandangkan kredo “ilmu sebagai peradaban”. Buya Syafii menulis: “kalau sebuah ide dilontarkan ke masyarakat, maka orang harus siap menerima umpan balik dari apa yang dilontarkan itu.” Sekilas, pernyataan ini terdengar sebagai hal yang biasa. Tetapi, ini menjadi sangat penting di tengah situasi, ketika kita hidup dalam satu zaman yang oleh Tom Nichols disebut sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran. Di tengah konteks kematian kepakaran ini, kita menyaksikan berlimpahnya informasi melalui berbagai saluran, baik yang terverifikasi dan terkonfirmasi maupun yang tidak.
Diakui atau tidak, melimpahnya informasi itu telah mengubah pola dan dinamika pengetahuan di tengah masyarakat. Semakin hari, semakin tebal lapisan kelompok dalam masyarakat yang tidak bertanggung-jawab dalam melontarkan wacana dalam berbagai bidang, utamanya dalam masalah keagamaan. Misalnya, dalam pasar bebas wacana keagamaan yang didukung oleh revolusi teknologi informasi seperti sekarang ini, betapa banyak ditemukan wacana-wacana yang dikembangkan oleh pribadi-pribadi tak bertanggung jawab. Salah satu bentuknya adalah wacana tak bertuan, yakni pandangan atau wacana yang dikembangkan tetapi tanpa disertai dengan identitas yang pasti dari sang produsen wacana itu.
***
Dalam konteks ini pula, seringkali muncul tindakan yang tidak berimbang, yakni perbedaan dalam konteks wacana, sekali lagi, utamanya dalam bidang keagamaan, seringkali diikuti dengan penghakiman. Padahal, dalam semangat ilmu sebagai peradaban itu, seharusnya perbedaan wacana juga direspon dengan wacana. Maka, makna menjadikan ilmu sebagai peradaban adalah bahwa tindakan apapun, terlebih menyangkut literasi dan pertumbuhan pengetahuan dalam masyarakat, harus melibatkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, maka pernyataan Buya Syafii di atas merupakan sebuah suluh peradaban, yang mengajarkan pentingnya sikap bertanggung-jawab dalam membangun pengetahuan. Dalam sejarah manusia, ilmu adalah pilar peradaban. “Diharapkan pada abad ke-21 teologi Islam yang Qur’ani akan dapat menjadi kenyataan.”
Kedua, Buya Syafii tiada pernah lelah dan tanpa rasa takut menyemai benih-benih kebenaran, kebaikan, perdamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran dan keutamaan hidup secara seimbang. Dalam konteks ini, sekali lagi kita bisa melihat bagaimana Buya Syafii menampilkan model yang sangat baik. Salah satu contohnya adalah menyatunya antara perkataan dan perilaku. Buya Syafii merupakan contoh otentik dalam hal ini. Semua memahami dengan baik bagaimana Buya Syafii kerap mengeluarkan suara-suara keras terhadap persoalan bangsa ini menjadi sangat otentik dan terasa sebagai sebuah peringatan yang menyentak kesadaran berbagai elemen bangsa ini, karena tidak dibungkus dengan kepentingan-kepentingan politik dan material yang bersifat sesaat dan transaksional.
***
Ketiga, dalam setiap dimensi pemikiran Buya Syafii selalu terselip misi untuk membawa pencerahan bagi kehidupan. Dalam hal ini, Buya Syafii berbicara tentang keniscayaan untuk terus melakukan pembaruan Islam. Memang benar bahwa sepanjang sejarah, selalu ada upaya-upaya pembaruan dan pencerahan. Namun, pembaruan-pembaruan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir Muslim seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, memiliki resonansi yang terbatas, tak terkecuali di Indonesia. Sesungguhnya, pada level makro, gerakan pembaruan Muhammadiyah yang dicanangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan merupakan resonansi dari gerakan pembaruan di dunia Islam secara global tersebut. “Kita memerlukan peta ajaran yang baru yang tidak sarat oleh dosa – dosa sejarah yang memungkinkan kita untuk menatap masa … Kalau memang ini yang menjadi salah satu agenda intelektual kita di masa depan… Islam dalam peta ajaran yang baru haruslah bercorak non-madzhab dan non-sektarian.
Sekali lagi, ini adalah sebuah contoh pandangan Buya Syafii yang otentik, karena lahir di tengah situasi ketika sektarianisme keagamaan, terutama di kalangan umat Islam, semakin menguat. Bahkan saya seringkali menyatakan bahwa hari ini kita menyaksikan penguatan konservatisme dan pengerasan sikap beragama umat Islam Indonesia yang semakin massif. Dengan mengatakan bahwa kita harus berani mengambil corak Islam yang non-madzhab dan non-sektarian itu, sekali lagi, merupakan kritik yang sangat otentik atas situasi keberagamaan yang sedang kita hadapi. Tak banyak yang berani mengambil resiko untuk melawan arus besar seperti ini, dan Buya Syafii memberikan contoh yang harus diteladani oleh kaum muda.
Pada saat yang sama, Buya Syafii juga memberikan arahan agar umat Islam menengok kembali khazanah Islam klasik yang kaya raya. Maka, khazanah itu perlu dibaca secara serius, tetapi sama sekali bukan untuk diberhalakan. Dalam hal ini, Muhammadiyah memang memiliki sedikit kekurangan. Dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan khazanah Islam klasik tersebut, utamanya yang berupa teks-teks wacana keagamaan karya-karya ulama’ terdahulu.
***
Keempat, Buya membangunkan kesadaran umat Islam Indonesia bahwa kemajuan Islam bersifat multi-aspek. Dalam hal ini, tidaklah mengherankan jika kita mengikuti pemikiran Buya Syafii, apa yang dibicarakan meliputi tema yang sangat luas. Keluasan cakupan tema itu, pastilah dimotivasi oleh kesadaran akan interdependensi antarberbagai elemen dan aspek kehidupan dalam kehidupan beragama. Di antara pernyataan Buya yang sangat populer adalah bahwa umat Islam saat ini berada di “buritan peradaban.” Pernyataan ini, walaupun terlihat sangat keras, sesungguhnya merupakan penggugah kesadaran agar umat Islam mampu kembali kepada semangat peradaban dan, sekali lagi, menjadikan peradaban ilmu sebagai pilar Islam.
Selamat jalan Buya. Semoga surga menjadi peristirahatan abadimu.
Editor: Yahya FR