Oleh: Arif Nur Kholis*
Presepsi manusia terhadap alam terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada awalnya sebagian manusia memandang alam sebagai sebuah kekuatan yang tidak mungkin direkayasa. Kejadian alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, likuifaksi, banjir, atau tanah longsor dipandang sebagai kejadian yang datang begitu saja, belum bisa diterangkan kronologi kejadiannya. Itulah yang disebut bencana.
Bahkan kejadian seperti gerhana mataharipun yang di kemudian hari diterangkan sebagai sebuah kejadian alami biasa, ada yang memandang sebagai kejadian luar biasa. Berasosiasi sebagai kejadian bencana.
Bencana dan Kemarahan Tuhan
Ketika ilmu pengetahuan kemudian berkembang, manusia mulai mencoba merumuskan kronologi kejadian–kejadian di atas. Dicoba dirangkai fakta kejadian menjadi pola–pola natural yang berlaku sepanjang masa dengan prinsip “The Present is The Key to The Past” . Dirumuskanlah teori bagaimana tsunami terjadi, gempa bumi terjadi, gunung meletus terjadi dan sebagainya.
Perumusan ini seiring dengan semakin diterimanya teori Lempeng Tektonik yang popular di tahun 1960an. Walaupun sebenarnya merupakan pengembangan dari teori Continental Drift (Pergeseran Benua)—yang diperkenalkan oleh meteorolog Jerman berusia 32 tahun, Lothar Wagener pada tahun 1912.
Namun karena dampak yang sedemikian besar di mata manusia setelah kejadian gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan berbagai kejadian yang disebutkan di atas terhadap kehidupan manusia, presepsi manusia terhadap kejadian–kejadian tersebut cenderung negatif. Banyak tafsir keagamaan, karya sastra, hingga nyayian–nyayian ratapan yang ikut membangun presepsi bahwa kejadian–kejadian itu terjadi akibat kemarahan alam. Bahkan lebih jauh dari itu, dikonstruksi sebagai bentuk kemarahan Tuhan.
Akhirnya terbentuknya ketidaksejalanan antara perkembangan dunia ilmu pengetahuan dengan presepsi manusia terhadap kejadian–kejadian alam tersebut. Walaupun sejatinya hingga tahun 1700-an kebanyakan orang Eropa secara biblikal mempercayai bahwa sebuah banjir besar memainkan peran besar dalam proses pembentukan permukaan bumi.
Pemikiran seperti ini disebut sebagai katastropisme. Ilmu bumi saat itu juga didasarkan atas kepercayaan bahwa semua perubahan di bumi terjadi secara tiba-tiba dan disebabkan oleh rangkaian katastrop tadi.
Sebenarnya Bukan Bencana
Setelah bisa diterangkan oleh ilmu pengetahuan bagaimana sebuah gunung bisa meletus dan dampaknya pada lingkungan, maka sejatinya gunung meletus bukanlah bencana itu sendiri. Karena jauh sebelum manusia tinggal di sekitar gunung api tersebut, gunung api itu telah ribuan kali meletus dan tidak disebut bencana. Bahkan bisa kita maknai sebagai cara Tuhan untuk menyiapkan sebuah lingkungan yang layak ditinggali manusia.
Dengan meletusnya gunung maka material vulkanik terhampar di sekitarnya, dengan berbagai fungsi yang kemudian dimanfaatkan manusia. Seperti material untuk pembangunan infrastruktur, hingga lapukan material vulkanik yang sangat menyuburkan tanah. Lapisan tebal material vulkanik di sekitar gunung api juga sebuah tempat ideal untuk menyimpan air bersih kelas satu.
Gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi bisa diterangkan juga sebagai kejadian yang akan terus berulang di bumi ini. Kejadian yang telah terjadi ribuan kali sebelum manusia tinggal di wilayah yang terdampak peristiwa tersebut. Gempa bumi sepanjang proses pembentukan muka bumi juga berkontribusi pada pembentukan alur sungai, mata air, dan berbagai bentukan bentang alam lain yang sangat berfaedah bagi manusia.
Sementara untuk banjir, banjir bandang dan tanah longsor sejatinya juga sebuah kejadian alami. Hanya saja kemungkinan terjadinya bisa meningkat akibat kesalahan manusia melakukan perubahan–perubahan pada permukaan tanah. Penggundulan bukit adalah salah satu contoh perilaku manusia yang mempertinggi kemungkinan terjadinya banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.
Peran Manusia
Sementara ada beberapa permukiman yang sengaja dibangun di daerah–daerah yang dalam sejarah daerah tersebut adalah lokasi tradisional terjadinya banjir. Kalau pada suatu saat daerah tersebut kebanjiran, tentu sejatinya adalah bukan kejadian luar biasa. Bagi yang tinggal di daerah tersebut seharusnyanya sudah menyiapkan segala antisipasi kejadian. Dan tentu seharusnya tidak bisa dimaknai sebagai sebuah bencana.
Bahkan banyak peradaban dunia dari Mesir hingga Majapahit lahir dari daerah yang secara tradisional adalah dataran banjir. Karena kesuburan tanahnya akibat lumpur dasar sungai yang terangkat ke dataran banjir maupun delta sungai.
Akhirnya, sejatinya bencana alam itu tidak ada. Alam sudah ada dengan perilakunya beserta kejadian–kejadian alami yang menyertainya. Kejadian–kejadian alam yang dipandang manusia sebagai peyebab bencana sejatinya adalah kejadian biasa yang gagal diantisipasi oleh manusia.
Bahkan ada kejadian–kejadian alam yang peluang kejadiannya diperbesar oleh ulah manusia, seperti tanah longsor, banjir dan banjir bandang. Kejadian-kejadian tersebut di atas bila kemudian berdampak kepada kerugian pada manusia dan lingkungan, saat itulah bisa kita sebut sebagai bencana.
***
Kalaupun harus menjadi bencana kita tetap harus berfikir positif. Menurut Fikih Kebencanaan yang diterbitkan Muhammadiyah tahun 2015;
“Bencana, apapun bentuknya, sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia. Sistem keimanan yang diajarkan dalam Islam bertumpu pada keyakinan bahwa Allah merupakan Zat Yang Maha Rahmah”.
*) Sekretaris Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
Editor: Nabhan Mudrik Alyaum