Ketika membaca pengumuman beasiswa via email, hati saya berdebar kencang. Antara penasaran, khawatir dan tidak siap menerima kenyataan. Tapi ketika kata pertama yang tertatap oleh mata adalah “congratulation”, maka saya menindaklanjuti dengan sujud syukur saat itu pula. Kebahagiaan tiba di hadapan kita ketika kita mendapatkan beasiswa belajar ke luar negeri.
Saya kira pembaca yang mengalami hal ini, tahu mengenai apa yang dirasakan. Tapi tentu hal ini tidak berlangsung lama. Kita harus menindaklanjuti dengan hal yang bersifat teknis dan praktis. Misalnya, mengurus surat-surat administrasi kenegaraan (KTP, KIA, Paspor dan lain-lain), perbankan (rekening koran, bank statement dan lain-lain) dan seterusnya.
Untuk mendapatkan visa, kita harus memiliki asuransi kesehatan. Bagi yang berencana membawa serta keluarga (anak dan suami/istri), maka biaya yang harus dikeluarkan untuk asuransi ini tidak murah. Untuk kasus satu keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dua orang anak, termurah harus membayar hampir 200 juta Rupiah. Kita juga harus mengikuti medical check-up dan untuk kasus di Australia, anak yang berusia sekolah yang akan menemani kita sudah harus memiliki “surat penerimaan sekolah”.
Soal administrasi, finansial, kesehatan, dan seterusnya sebelum berangkat sudah sangat melelahkan meskipun tidak ada pilihan lain kecuali dipenuhi. Proses berikutnya adalah keberangkatan, harus membawa baju apa, sedang musim apa, berapa koper, siapa yang menjemput, tinggal di mana sementara, bagaimana dengan tiket pesawat (mana yang lebih murah), ini hal-hal yang juga menguras energi, tapi harus diperhatikan secara detil, akurat dan hati-hati.
Bagaimana dengan biayanya? Untuk tiket sekeluarga, tempat tinggal dan makan sementara, kebutuhan awal di sana, bisa menghabiskan sekitar 50 juta Rupiah. Apakah biaya asuransi dan kedatangan pertama di luar negeri ditanggung oleh beasiswa? Jawabannya, bisa ya atau tidak. Ketika tidak, kita harus mengusahakannya.
Tapi, hal yang penting lagi adalah mendapatkan “tempat tinggal” atau rumah sewa. Gagal memenuhi hal ini membawa kepada housing crisis alias bisa menjadi gelandangan. Untuk mendapatkan kontrakan bagi mahasiswa yang statusnya single, atau hanya berdua dengan suami atau isteri, relatif lebih mudah. Tapi untuk keluarga, maka sulit sekali.
Mengapa sulit? Pertama, agen properti biasanya hanya memilih calon penyewa (yang mengajukan aplikasi) dengan “income” reguler yang masuk akal. Kalau uang beasiswa per bulan $2500, maka jika hidup berdua, setidaknya harus memiliki $5000. Dengan dua anak, katakanlah $7500. Di atas kertas demikian.
Di dalam aplikasi sewa, regular income yang kita punya harus memiliki dan melampirkan bukti otentik, seperti misalnya slip gaji tiga bulan terakhir dan rekening koran dari bank. Untuk memverifikasi hal ini, agen properti mengklarifikasi pada supervisor atau atasan tempat kita bekerja. Dalam konteks beasiswa adalah supervisor riset kita, atau orang yang ditunjuk khusus di bagian administrasi kemahasiswaan.
Bagaimana memenuhi kekurangan $5000 jika dana yang akan kita dapatkan dari beasiswa hanya $2500? Inilah tantangannya. Secara realistis, kita bisa bekerja sambil belajar. Tapi hal ini akan tampak sebagai “janji” bagi agen properti ketimbang “bukti” yang dibutuhkan.
Saya, istri dan dua anak kami begitu tiba di Australia hanya mampu menyewa rumah sementara 10 hari. Atas bantuan Bu Asty, seorang sahabat yang pernah bekerja sebagai reporter tv dan mengajar di kampus terbaik di tanah air, kami menyewa dari penyewa yang kebetulan sedang berlibur ke luar negeri. Jadi, kami menyewa dari penyewa, tanpa aplikasi khusus. Dalam waktu 10 hari itu, di hari ke sembilan, bisa dibayangkan betapa resah dan khawatirnya kami. Tidak ada satupun aplikasi yang berhasil dan bahkan satu demi satu mengalami penolakan.
Tentu saja banyak saudara sebangsa yang membantu proses berat ini. Di saat belum berhasil dan masa sewa kontrakan sementara sudah habis, Bu Asty menelpon kami dan memperkenankan kami untuk tinggal sementara di rumahnya. Sungguh baik orang ini. Tapi sebelumnya, kami menelpon sahabat kami, Bu Dina, seorang dosen di salah satu kampus terkemuka di negara ini. Kami memohon bantuan dan tepat di mana sewa kami habis, Bu Dina menjemput dan menampung kami di rumahnya.
Bu Dina ini orang Muhammadiyah totok. Orang Sumatera. Kakeknya adalah pahlawan. Apa yang saya bayangkan dengan Bu Dina adalah hal-hal yang mirip dengan apa yang saya bayangkan dari sosok Buya Hamka, Buya Syafii, dan Ibu Fatmawati. Suaminya adalah seorang petinggi di lembaga peradilan Australia. Ia, suami dan anak-anaknya menerima kami untuk tinggal sementara di rumahnya.
Selama kami di rumah Bu Dina, kami terus berjuang mencari rumah sewa, membuat aplikasi, memperbaikinya, mencoba sesuatu yang mungkin berguna. Saya menghubungi berbagai kolega, termasuk seorang diplomat, tapi sayangnya sedang berdinas di negara lain. Di saat yang sama, saya juga harus mengurus proses sekolah di kampus. Saat itu, belum ada jalan keluar.
Untuk mengurus sekolah saya harus pergi ke kampus. Dari tempat tinggal sementara ke kampus, jaraknya dua jam lebih. Untuk perjalanan pulang pergi, tentu lebih dari empat jam harus ditempuh. Saya harus naik trem/kereta dua kali. Sembari menghadapi jalan buntu, saya keluar dari perpustakaan, untuk sekedar duduk menghirup udara segar. Tiba-tiba istri saya menelpon untuk berbagi kabar duka bahwa ibunya meninggal dunia. Segala sesuatunya menjadi semakin sulit untuk kami.
Saya, dengan perasaan yang khawatir dan sangat terpaksa, saya sempat menelpon Pak Haedar. Saat itu, beliau sedang di tanah suci untuk melaksanakan ibadah umrah. Kolega Muhammadiyah yang saya hubungi adalah Pak Hamim. Beliau adalah orang Jawa Timur yang sudah lama menetap di negara ini. Beliau membantu dengan berbagai cara dan berbagi berbagai alternatif. Dari cara beliau melayani “ummat” saya bisa merasakan bahwa beliau adalah aktivis persyarikatan “beneran”. Membayangkan beliau, seperti membayangkan “Pak AR” semua urusan jadi mudah. Tidak heran kalau persyarikatan ini menjadi maju pesat di tangan dingin Pak Hamim dan timnya.
Tapi memang, belum ada solusi mengenai masalah krisis tempat tinggal yang kami hadapi. Saya sempat juga menelpon teman-teman Muhammadiyah senior di Jakarta, Kak Rohim dan Mas Fajar. Kak Rohim sangat membantu. Terutama, beliau memberikan akses ke berbagai koleganya yang orang Australia, tapi saya kurang begitu dekat. Tapi Mas Fajar, entah bagaimana caranya (sampai sekarang saya masih berpikir, beliau ini hebat sekali), melalui beliau tiba-tiba ada seseorang yang membantu saya secara sangat detil untuk menyelesaikan masalah ini.
Namanya Pak Budi. Pak Budi memperkenalkan kami kepada Pak Erwin. Dari Pak Erwin, saya bertemu dengan landlord yang sangat baik hati bernama Bu Cathy. Ia memperkenankan kami tinggal sementara di rumah miliknya yang besar sekali, di kamar dengan jenis master bedroom ensuite. Beliau tidak tinggal di rumah itu. Dua minggu kemudian, pada akhirnya aplikasi rumah kami diterima. Kami tinggal agak jauh dari kampus tempat saya sekolah, tapi dekat dengan sekolah anak-anak. Rumah ini, kecil dan sederhana, tapi murah, bersih dan nyaman. Terimakasih untuk orang-orang baik yang terus berbuat baik untuk sesama.
Editor: Soleh