“Mengapa tarawih kilat lebih disukai oleh masyarakat?” Demikianlah pertanyaan yang muncul dari salah satu kolega saya di tempat kerja. Mendapatkan pertanyaan tersebut sontak rohani saya berkecamuk, ingin segera menjawab “karena saya juga suka”.
Namun, akal dan rasa gengsi saya tiba-tiba menghalangi, dan mengarahkan saya untuk memberikan jawaban yang paling bijaksana “versi saya”. Saat itu, saya menjawab “ya karena kalau tarawihnya lama, jamaahnya lari semua”. Waktu itu, saya merasa puas telah memberikan jawaban tersebut.
Beberapa hari kemudian, saat Ramadhan benar-benar tiba, saat saya bercengkrama via handphone dengan rekan di Jakarta, saya menemukan jawaban lain. Kurang lebih begini perkataannya, “Tarawih yang tidak boleh lama-lama, la wong namanya saja Shalat Tarawih yang berarti shalat istirahat, ya harus nyantai dan tidak menyiksa”. Itulah penafsiran sholat tarawih versi rekan saya.
Tarawih Lambat
Saat ini, begitu ibadah puasa sudah berlangsung selama lebih dari 10 hari dan Shalat Tarawih sudah dilaksanakan sekitar 11 hari, berdasarkan hasil observasi dengan cara tarawih bergonta-ganti mushola, dalam rangka mencari imam tercepat, akhirnya saya menemukan berbagai macam nomenklatur tarawih di kawasan tempat tinggal saya.
Anehnya, pada semua jenis tarawih itu, jumlah jamaahnya tidak jauh berbeda. Kondisi semacam ini tidak hanya saya alami pada bulan Ramadhan di tahun ini, di tahun sebelumnya pun juga sama.
Saat berada di wilayah perkotaan, saya pernah menjalani Shalat Tarawih dengan durasi yang sangat lama, kurang lebih hampir 1 jam.
Rasanya, semua isi perut saat berbuka habis dilahap oleh upaya berkonsentrasi dan aktivitas menahan diri, dari nomenklatur tarawih yang katanya paling khusyu’ ini.
Anehnya, jumlah peserta tarawih jenis ini, dari awal hingga akhir Ramadhan tidak jauh berbeda secara signifikan. Memang ada jamaah yang hilang, namun itu merupakan kategori jamaah salah kamar, seperti saya ini. Jamaah orisinil tetap istikamah di sana.
Melihat kondisi semacam ini, akhirnya saya memahami bahwa militansi jamaah di mushola tersebut telah terbangun sejak sebelum Ramadhan tiba. Artinya, pihak takmir di sana telah mampu menggandeng jamaah dan mengelola jamaah sebaik mungkin sejak bulan-bulan sebelumnya. Jamaah salah kamar seperti saya, yang tidak pernah berinteraksi dengan jamaah militan, pasti tidak kuat. Sepertinya, interaksi sosial dan model dakwah terhadap lingkungan di sekitar mushola berpengaruh terhadap daya tahan jamaah tarawih di mushola tersebut.
Shalat Tarawih Sedang
Nomenklatur Shalat Tarawih yang kedua adalah sebagaimana yang saya alami di kampung selama bertahun-tahun. Shalat Tarawih yang dilaksanakan di desa saya terbilang sedang, kurang lebih 30 menit.
Dari sisi istikamah, tidaknya jumlah jamaah ini bisa ditelusuri dari jumlah hari puasa yang telah dijalani. Saat puasa masih berjalan antara satu sampai lima hari jumlah jamaah di mushola kurang lebih 20 jamaah. Kemudian jumlah jamaah berangsur-angsur berkurang. Jumlah paling sedikit antara puasa ke-10 sampai ke-20.
Setelah melakukan sedikit observasi, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya.
Pertama, jamaah yang hilang adalah mereka yang memang tidak terbiasa shalat jamaah pada bulan-bulan selain puasa, mungkin menjalani jamaah secara istikamah berat bagi mereka, jamaah kategori ini memilih berada di rumah.
Kedua, jamaah yang hilang adalah mereka yang memang orang sibuk atau tokoh agama, jadi mereka seringkali harus berjamaah di lokasi lain, kadang untuk mengisi kultum atau ada acara lain.
Jamaah kategori ketiga adalah mereka yang disibukkan oleh godaan bulan Ramadhan, bentuknya bermacam-macam, bisa berupa buka bersama, belanja baju lebaran atau kegiatan seremonial di bulan yang penuh rahmat ini.
Tarawih Kilat
Nomenklatur terakhir adalah tarawih versi kilat, ini terjadi di tetangga kabupaten tempat saya tinggal. Tarawih kilat ini bahkan pernah viral di Youtube, Facebook dan media sosial lainnya.
Banyak pihak yang meragukan keabsahan Tarawih versi kilat ini, barangkali salah satu dari anggota tarawih versi 1 jam di atas. Hanya saja, bila dicermati, imam Tarawih kilat ini bukanlah orang sembarangan.
Ia adalah seorang tokoh agama yang terkenal ilmu agamanya, tahu syarat dan rukun shalat. Oleh karena itu, klaim sepihak tanpa melakukan observasi secara detail, tentu tidak dibenarkan.
Bila mencermati konteks masyarakat di sekitar wilayah ini, hampir 50% jamaahnya adalah mereka yang juga tahu syarat dan rukun shalat.
Logikanya, mereka bisa mengukur sah tidaknya shalat yang dilakukan imam. Selanjutnya, 50% peserta jamaah tarawih kilat ini adalah penduduk sekitar yang di bulan-bulan biasa jarang melakukan shalat jamaah, bahkan shalat wajib pun sering kecolongan.
Tidak hanya itu, beberapa peserta dari tarawih kilat ini juga berasal dari desa lain, motifnya ada dua, karena penasaran dan karena mencari yang cepat.
Beberapa peserta yang penasaran, yang dulunya terbiasa melakukan Shalat Tarawih versi sedang merasa kewalahan mengikuti model tarawih kilat ini.
Sehingga, beberapa di antaranya memilih kembali ke habitat. Beberapa ada yang cocok sehingga ikut menjadi jamaah tetap. Beberapa orang yang sehari-hari anti shalat jamaah ada yang tetap kewalahan, ada juga yang cocok kemudian menjadi jamaah tetap.
Sisi menariknya adalah bahwa mereka yang semula tidak pernah kenal shalat jamaah dan tidak pernah berinteraksi dengan ahli jamaah, kemudian mau ikut-ikutan nimbrung bersenda gurau, ngopi, dan melakukan interaksi sosial lainnya pasca Shalat Tarawih. Bahkan, ada yang ikut ngaji kitab sebagai kegiatan rutin pasca Tarawih.
Melihat dan menimbang nomenklatur Shalat Tarawih dan konteks sosial yang melingkupinya di atas, saya kemudian semakin ragu bahwa pertanyaan yang dilontarkan kolega saya di atas adalah pertanyaan yang valid.
Klaim bahwa masyarakat menyukai tarawih cepat tidaklah benar, tarawih cepat, sedang maupun lambat, tidak lain merupakan wujud keandalan imam, takmir, kiyai, syekh, ustadz dan sejenisnya dalam mengkondisikan lingkungan dakwah mereka. Masing-masing mempunyai input, output, dan outcome yang telah dirancang sedemikian rupa.
Editor: Yahya FR