Sebagian dari kita mungkin masih merasa asing ketika membaca nama “Shams Tabrizi”. Tetapi lain hal jika yang dibaca ialah nama “Jalaluddin Rumi”, kemungkinan besar kita semua tahu bahwa ia adalah seorang penyair dan sufi.
Penting untuk diketahui, bahwa Shams Tabrizi oleh sebagian kalangan disebut sebagai guru dari Jalaludin Rumi. Hal itu dikarenakan Rumi sendiri sering merujuk nama Shams Tabrizi di dalam karya-karya puitisnya. Bahkan, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan-I Shams-I Tabrizi sebagai bentuk penghormatan kepada Shams.
Shams Tabrizi adalah seorang penyair dan mistikus asal Tabriz (Iran) yang menyamar jadi penjual keranjang tenun. Ia menjual keranjang tenunnya dengan berkelana ke berbagai kota dan negara. Saat berkelana ke Konya, ia bertemu Rumi. Seseorang yang menurutnya selama ini ia cari. Begitu pula dengan Rumi, ia menganggap Shams adalah sosok yang selama ini ia cari.
Keduanya saling mencari karena mempunyai masalah yang sama, yaitu tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Hanya saja, antara Rumi dan Shams itu berbeda motifnya. Rumi gelisah akan pencarian jati diri, sedangkan Shams gelisah akan pemikirannya yang belum bisa tersampaikan.
Menurut salah satu sumber, apa yang membuat Rumi menganggap Shams sebagai seorang guru adalah karena dalam pribadi Shams, Rumi menemukan penjelmaan dari kekasih Tuhan. Menurutnya, Shams inilah representasi dari yang disebut dengan Insan Kamil. Dari situ, Rumi akhirnya bersahabat sekaligus berguru kepada Shams. Karya-karya Rumi yang monumental sekarang tidak lepas dari pemikiran Shams. Ibarat peradaban Yunani Kuno, kalau Socrates adalah guru Plato, maka Shams adalah Socrates, dan Plato adalah Rumi.
Jika selama ini karya-karya Rumi begitu dahsyat makna-maknanya, lantas bagaimana dengan gurunya?
Di kesempatan ini, penulis akan mengupas pemikiran Shams Tabrizi, dan mencari makna-makna yang terselip di dalam kalimat aforismenya. Ada banyak aforisme yang dihasilkan olehnya, tetapi penulis mencoba mencermati satu demi satu dan mengambil beberapa, yang sekiranya punya nilai penting untuk dibahas di kondisi sekarang.
Hati sebagai Tolok Ukur
“Ketika seorang sufi masuk ke kedai minuman, kedai itu ruang ibadahnya. Tetapi ketika seorang pemabuk masuk ke ruang ibadahnya, ruang itu menjadi kedai minumannya. Apa pun yang hendak dilakukan di dunia, hati ialah tolak ukurnya.”
Ada dua poin yang bisa diambil dari aforisme di atas, yaitu “memandang” dan “melakukan”. Pertama, maksud dari memandang adalah ketika kita bertemu dengan orang di suatu tempat atau kejadian, baik yang dikenal maupun tidak, yang harus diperhatikan adalah “apa yang dilakukan”, bukan “apa yang dikenakan”.
Shams dalam aforismenya menuntun kita untuk melihat orang lain secara hakikat. Sebab, eksistensi manusia bukan terletak pada yang fisik, melainkan yang di balik fisik. Segala hal yang ada dalam hidup ini pada intinya sebuah rangkaian-rangkaian perlakuan, bukan rangkaian pakaian. Jika kita menerima perlakuan baik dari orang lain, maka aspek fisik yang dikenakan tidak akan ada artinya. Oleh karenanya, cermin daripada hati bukan apa yang dikenakan, melainkan apa yang dilakukan.
Kedua, maksud dari melakukan adalah, ketika kita berada pada sembarang tempat, usahakan bertumpu pada hati yang bersih. Kita mungkin masih sering berasumsi bahwa sebuah tempat pasti berkorelasi dengan bagaimana perilaku yang sesuai dengan tempat itu sendiri. Dengan kata lain, eksistensi kita bergantung dengan eksistensi dari suatu tempat.
Padahal, apa yang disebut tempat hanyalah sebatas ruang untuk ‘mengada’. Tempat hanyalah hal lain yang memungkinkan kita melakukan apa saja tanpa terikat dari kebiasaan perlakuan yang ada di dalam tempat itu.
Jika apa yang kita lakukan harus bertumpu pada tempat, maka yang hidup bukan kita, tapi tempat itu sendiri. Namun perlu digarisbawahi, bahwa ruang pasti ada batasnya; etika. Jadi, bukan berarti bebas secara radikal, tetapi bebas secara spiritual.
Kebebasan dalam Spiritualitas
“Menyerah pada ilahi bukan bentuk kelemahan dan kepasifan. Sebaliknya, penyerahan diri semacam itu justru menguatkan manusia ke tingkat tertinggi, ia akan menemukan kebebasan di tengah ombak dan pusaran air, lalu akan menetap di tempat yang aman.”
Sering kali, penyerahan diri dianggap sebagai sesuatu yang melemahkan eksistensi kita. Kita bersandar pada yang di luar diri, lalu seolah-olah ia mendominasi eksistensi kita. Bahkan, yang di luar diri mengambil peran-peran dari eksistensi kita. Anggapan itu tak ada yang salah, namun ada bedanya ketika bersandar pada yang di luar diri dengan bersandar pada yang ilahi.
Untuk memahami aforisme di atas tadi, kita perlu melihat salah satu konsep dalam Islam yang berbunyi, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, artinya: barang siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya. Kalau kita pahami lebih dalam, konsep tersebut memberitahu secara tersirat bahwa Tuhan itu ada di dalam diri; ada di hati yang bersih. Oleh sebab itu, jika berserah diri pada Tuhan, bukan berarti berserah pada yang di luar diri, tetapi berserah pada yang ada di dalam diri.
Termasuk dalam hal kebebasan. Kalau kita ingin bebas, jangan bersandar pada yang di luar diri. Sebab yang di luar juga punya keterbatasan. Seperti kehidupan para sufi, mereka tenang dalam eksistensinya, tidak bergantung pada apapun, kecuali pada sang ilahi.
Sebenarnya munculnya kekalutan masalah di dunia ini lahir dari ketidakmampuan kita melihat sumber kekuatan. Ketidakmampuan itu terkadang karena kesalahan dalam hal bersandar.
Ada yang bersandar pada manusia, akal, teori, budaya, semua itu memang mempunyai kekuatan, akan tetapi kurang lengkap, semua itu hanyalah bagian kecil daripada keyakinan terhadap kekuatan yang lebih besar. Dan, kekuatan itu menurut Shams Tabrizi, hanya bisa didapat ketika bersandar pada Tuhan, yang artinya mengenal diri sendiri secara mendalam.
Hidup dalam Nalar Cinta
“Nalar sama sekali tidak kuat. Ada sesuatu di dalam diri manusia berupa nikmat kelekatan dan ketidakberdayaan. Fanatik dan cinta buta, keduanya sangat memungkinkan membuat akal jatuh dalam kesalahan. Bahkan, bisa jadi sampai batas kebutaan”.
Manusia dibekali dengan kemampuan menilai benar dan salah, serta menilai tindakan baik dan buruk. Itu semua ada di dalam fasilitas yang bernama akal. Adanya akal, esensinya tidak lain adalah untuk membantu manusia agar tetap hidup.
Namun, di sisi yang lain, menurut Shams Tabrizi, manusia dalam hidupnya selalu diketemukan dengan yang namanya ‘kelekatan’ dan ‘ketidak berdayaan’. Maksudnya adalah manusia selalu ingin hidup berdasarkan obsesinya terhadap sesuatu yang tidak relevan dengan hidupnya. Itulah yang akhirnya membuat manusia senantiasa berada pada ketidakberdayaan.
Terhadap cinta, Shams pernah berkata pada Rumi, bahwa cinta itu “sumber kehidupan, apa adanya, murni, dan bersahaja”. Bagaimana cara kita bernalar agar tetap hidup? Shams membekali kita untuk menalar sesuatu yang membuat hidup itu berdasarkan apa adanya, bukan ada apanya.
Untuk hal ini, mungkin berkorelasi dengan “bersyukur”. Ketika kita merasa tidak cukup, jangan buru-buru mengatakan bahwa hidup ini tidak adil. Coba perhatikan dulu, jangan-jangan ada sesuatu yang sudah ada, tapi kita menganggapnya tidak ada. Jangan-jangan yang ada itu bisa membuat hidup, tapi kita menganggapnya tidak bisa. Jangan-jangan bukan kehidupan yang tidak adil, tapi diri kita sendiri yang tidak bisa adil terhadap kehidupan.
Kalau kita menyadari hal itu, maka tak heran, jika Shams mengatakan, “Fanatik dan cinta buta, keduanya sangat memungkinkan membuat akal jatuh dalam kesalahan”. Jadi, akal hanyalah alat, jika ia digunakan dengan rasa berlebihan dan cinta buta, maka dapat dipastikan akan menghasilkan ketidak berdayaan.
Editor: Yahya F