Puasa | Hari ini, kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Bulan yang penuh akan rahmat dan maghfiroh-Nya. Menjelang bulan Ramadhan ini, sering kita mendengar para penceramah membacakan ayat perihal diwajibkannya kita untuk berpuasa. Sebagaimana dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)
Namun, tak sering penceramah menjelaskan terkait “Bagaimanakah puasa orang-orang sebelum kamu” serta siapakah umat terdahulu yang dimaksud dalam ayat ini? Yang mana itu menjadi contoh bagi kita agar bisa menggapai predikat orang yang bertakwa. Dalam hal ini, penulis akan menjelaskannya.
Puasa Umat Terdahulu
Abu Ja’far ath-Thabari menjelaskan dalam tafsirnya, ia mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal yang dimaksud “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” di atas. Ada ulama yang menyatakan, penekanan tasybih atau perumpamaan di sana adalah kewajiban puasanya. Ada juga yang mengatakan orang-orang yang berpuasanya.
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa maksud dari “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” disini adalah berkenaan dengan kewajiban puasa, bukan tata caranya. Berdasarkan pandangan para mufassir di atas, ada dua hal yang akan penulis bahas. Pertama, kewajiban puasa bagi umat terdahulu. Kedua, cara berpuasanya orang-orang terdahulu.
Pertama, kewajiban puasa bagi umat terdahulu. Mengutip dari Musa ibn Harun, dari ‘Amr ibn Hammad, dari Asbath, dari al-Suddi. Ath-Thabari menyatakan, “Maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa Ramadhan. Mereka tidak boleh makan dan minum setelah tidur (dari waktu isya hingga waktu isya lagi), juga tidak boleh bergaul suami-istri. Ternyata, hal itu cukup memberatkan bagi kaum Nasrani (termasuk bagi kaum Musliminin pada awal menjalankan puasa Ramadhan).
***
Melihat kondisi itu, akhirnya kaum Nasrani sepakat untuk memindahkan waktu puasa mereka sesuai dengan musim panas dan dingin. Mereka mengatakan, ‘Untuk menebus apa yang kita kerjakan, kita akan menambah puasa kita sebanyak dua puluh hari.’ Dengan begitu, puasa mereka menjadi 50 hari. Tradisi Nasrani itu juga (tidak makan-minum dan tak bergaul suami-istri) masih terus dilakukan oleh kaum Muslimin, termasuk oleh Abu Qais Ibn Shirmah dan Umar ibn al-Khathab. Maka Allah pun membolehkan mereka makan, minum, bergaul suami-istri, hingga waktu fajar.”
Ada pula yang berpendapat bahwa maksud orang-orang terdahulu di sana adalah Ahli Kitab, dalam hal ini adalah kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Mujahid dan Qatadah. Dalam riwayatnya, Qatadah mengungkapkan, “Puasa Ramadhan telah diwajibkan kepada seluruh manusia, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Sebelum menurunkan kewajiban Ramadhan, Allah menurunkan kewajiban puasa tiga hari setiap bulannya.”
Namun demikian, status wajib puasa tiga hari ini ditolak oleh sahabat yang lain. Menurut mereka, puasa tiga hari yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu bukan wajib, melainkan sunnah. Pasalnya, tidak ada riwayat yang kuat yang dijadikan hujjah bahwa ada puasa wajib sebelum puasa Ramadhan yang diberikan umat Islam. Kendati ada puasa yang wajib sebelum Ramadhan, maka ia sudah di-mansukh dengan kewajiban puasa Ramadhan. Demikian penjelasan dalam Tafsir ath-Thabari.
Cara Berpuasa Umat Terdahulu
Kedua, perihal cara berpuasa umat terdahulu itu berbeda dari satu umat ke umat lainnya. Dalam Tafsir al-Tsa’labi disebutkan bahwa Nabi Adam AS yang pernah menjalankan puasa selama tiga hari.
Dalam sebuah riwayat, sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi, Nabi Adam terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Kemudian, ia berpuasa pada hari ketiga, yakni tanggal lima belas. Kemudian, ia didatangi oleh malaikat Jibril dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih?” Nabi Adam menjawab, “Tentu saja.” Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13,14, dan 15.” Ia pun berpuasa.
Pada hari pertama, memutihlah sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka kemudian ia disebut dengan puasa “ayyamul bidl” atau “hari-hari putih”.
Kemudian, dalam tafsir ath-Thabari juga dijelaskan bahwa Nabi Nuh AS juga pernah melaksanakan puasa ‘Asyura sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang ditumpanginya. Disebutkan bahwa pada awal bulan Rajab, Nabi Nuh AS mulai menaiki kapalnya. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal pun berlayar hingga enam bulan lamanya. Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura. Maka ia pun berpuasa, tak lupa memerintah pada penumpang lain, termasuk hewan bawaanya, untuk turut berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Selanjutnya, mengutip dari Hadis Nabi SAW yang menyatakan:
“Sebaik-baiknya puasa adalah puasa saudaraku, Dawud AS. ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.” (H.R, Ahmad).
Asbabul wurud dari hadis ini adalah bermula ketika Rasulullah SAW ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang berpuasa satu hari dan berbuka satu hari?” Rasul menjawab, “Itu adalah puasanya saudaraku, Dawud AS.”
***
Sebagaimana hadis diatas, bahwa Nabi Dawud AS juga memiliki kebiasaan berpuasa yang mana cara nya berbeda yaitu dengan berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa mengenai tafsiran penggalan ayat “Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” itu ada yang mengatakan berkenaan dengan kewajiban berpuasanya. Ada juga yang mengatakan orang-orang yang berpuasanya.
Sedangkan untuk tata caranya itu berbeda-beda. Ada juga yang menafsirkan bahwa umat terdahulu juga memiliki kewajiban berpuasa yang sama namun karena keberatan, mereka mengalihkannya dengan konsekuensi bertambahnya puasa mereka menjadi 50 hari seperti yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Wallahu a’lam bissowab.