Tafsir

Siapakah Sosok Ulul Albab Itu?

2 Mins read

Dalam karya monumentalnya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Buya Syafii Maarif menawarkan konsep kader adalah manusia yang cerdas dan kreatif dalam memahani al-Qur’an. Secara umum adalah manusia yang mampu mengawinkan antara tuntutan otak dan tuntutan hati.

Tidak seperti manusia modern, yang sibuk dengan otak dan teknik, sedangkan manusia timur terlalu sibuk dengan spiritualitas dan ilmu tenun. Isyarat al-Qur’an bahwa pendidikan kader harus mampu menyatukan kekuatan fikr dan dzikr, sehingga melahirkan kelompok ulul albab. Istilah lain ulul albab adalah ulun nuha (punya pengertian, pikiran, dan kecerdasan), dan ulul abshar (punya visi, penglihatan, dan persepsi yang panjang).

Secara lughawi kata Albab  adalah bentuk jamak dari lubb yang berarti “saripati sesuatu” misalnya, kacang tanah memiliki kulit yang menutupi isinya dan isi kulit (kacang tanah) tersebut dinamakan lubb (saripati). Senada dengan itu, menurut Buya Syafii ulul albab adalah sosok manusia yang otak dan jantung hidup secara dinamis-kreatif dalam memahami dan merasakan kehadiran Sumber segala yang ada dalam pengembangan dan pengembaraan intelektual dan spiritualitasnya.

Dengan demikian Ulul Albab adalah orang orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak diselimuti oleh kulit, yakni kabut (kemaksiatan) yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir.

Kata Ulul Albab disebut sebanyak enam belas (16) kali dalam Al-Qur’an. Ulul Albab melukisakan orang yang diberi hikmah (QS. Al-Baqarah [2]: 269); yang mampu menagkap pelajaran dari sejarah umat terdahulu (QS. Yusuf [12]: 111); kritis dalam mendengar pembicaraan dan ungkapan pemikiran dan pendapat orang (QS. Al-Zumar [39]: 18).

Seorang ulul albab tidak mengenal lelah dalam menuntut Ilmu (QS. Ali Imran [3]:7) dengan merenungkan ciptaan Allah di langit dan yang dibumi serta meperhatikan semua ciptaannaya yang dijadikan dari air sebagai sumber kehidupan tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya (QS. Ali Imran [3]: 190 dan QS Al-Zumar [39]: 21) dan mengambil pelajaran dari kitab yang diwahyukan Allah SWT (QS. Shad [38]: 29,43 QS al-Mu’min [40]: 54, dan QS. Ali Imran [3]: 7); sanggup mempertahankan keyakinan dalam diri dan tidak terpesona dengan banyaknya kemaksiatan yang pernah dilakukan (QS. Al-Maidah [5]: 100).

Baca Juga  Hermeneutika Negosiatif, Agar Terhindari dari Penafsiran Otoriter

Ulul Albab berupaya menyampaikan peringatan Allah kepada dan mengajari mereka prinsip mengesakan Allah (QS. Ibrahim [14]: 52); melaksanakan janji kepada Allah, bersabar, member infaq, da menolak kejelekan dengan kebaikan (QS. Al-Ra’d [13]: 19-22); bangun tengah malam dan melaksanakan dengan ruku dan sujud kehadapan Allah  (QS. Al-Zumar [39]: 9) serta banyak berzikir (QS. Ali Imran [3]: 190); dan terakhir tidak ada yang ditakuti di dunia ini melainkan hanya Allah SWT semata (QSAl-Baqarah [2]: 197; QSAl-Maidah [5]: 100; QS Al-Ra’d [13]: 21; QS Al-Thalaq [65]; 10).

Dari sana, ada dua hal paling mendasar yang dapat dikategorikan sebaga Ulul Albab, yaitu zikir dan fikir. Zikir itu mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian zikir. Sebab dalam zikir terkandung unsur pikir. Sebaliknya juga, di dalam pikir terkandung pula zikir. Kata fakkara sering dimaknai dengan “to reflect” atau “refleksi”, dalam bahasa Indonesia ungkapan ini mengandung unsur makna “merenung”. Dapat dipahami bahwa orang yang merenungkan atau memikirkan semua ciptaan Allah adalah termasuk juga zikir.

“Ulul Albab adalah manusia yang memiliki akal sehat, pikiran yang murni dan jernih serta mata hati yang tajam dalam menagkap fenomena yang dihadapi, memamfaatkan kalbu untuk zikir kepada Allah dan memamfaatkan akal (pikiran) untuk mengungkap rahasia alam semesta, giat melakukan kajian dan penelitian untuk kemaslahatan hidup, suka merenungkan dan mengkaji ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan dan kebenaran)-Nya dan berusaha menangkap pelajaran darinya, serta berusaha mencari petunjuk dan pelajaran dari fenomena historik atau kisah-kisah terdahulu.

Karena selalu berpikir, maka ulul albab selalu sadar diri akan kehadiran Tuhan dalam segala situasi dan kondisi, sehingga mampu menyelesaikan masalah dengan keadilan dan kebijaksanaannya.  

Baca Juga  Banyak Bertanya adalah Kebiasaan Bani Israil, Benarkah?

Sebagai ulul albab, tentu menghargai khazanah intelektual dari para pemikir, cendikiawan atau ilmuan sebelumnya. Ulul albab bersikap terbuka dan kritis terhadap pendapat, ide atau teori dari manapun datangnya, untuk selanjutnya berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mengikuti pendapat, idea tau teori yang terbaik, sehingga mampu menjadi ummat penengah di tengah masyarakat.  

Azaki Khoirudin
110 posts

About author
Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds