Perhatian dunia kini tertuju pada negara Prancis akibat ulah kontroversial salah satu media massa yang mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad saw. Tidak hanya itu, Sang Presiden, Emmanuel Macron menyusul dengan nada sinis dan provokatif berbicara terkait Islam dan ajaran-ajarannya yang ia nilai krisis.
Aksi protes sosial memanas di negeri-negeri muslim, khususnya di dunia Arab. Seruan boikot produk Prancis gencar dilakukan di negeri-negeri muslim. Tujuannya agar otoritas Prancis, khususnya Emmanuel Macron mau menarik kata-kata provokatif dan diskriminatifnya, serta penarikan dan penghapusan karikatur Nabi Muhammad saw.
Prancis merupakan salah satu negara di belahan Eropa yang sejak dulu terkenal dengan kajian orientalismenya. Edward W. Said dalam karya terbesarnya Orientalisme, secara luas membeberkan bahwa Prancis merupakan negara yang banyak melahirkan para orientalis ulung, seperti Louis Massignon, Napoleon Bonaparte, Silvestre de Sacy, Lane, Flaubert dll.
Kajian Islam para orientalis Prancis dan pengaruhnya terhadap masyarakat Prancis sangat besar hingga kini. Tidak heran jika hingga detik ini banyak orang Prancis yang berbicara soal agama Islam.
Kajian Islam Orientalisme
Berabad-abad silam, Islam selalu dibicarakan di kalangan akademisi Prancis. Akan tetapi, ada yang menjadi soal ketika masyarakat Prancis, khususnya para orientalis membicarakan Islam. Menurut Edwar Said, dalam tradisi orientalis Barat, Islam selalu disampaikan dengan citra yang tidak utuh, bahkan direduksi.
Para pengkaji Islam ini selalu menggeneralisasi Islam sebagai agama yang lemah. Sebagai bagian dari belahan dunia Timur yang lemah pula, dibanding belahan dunia Barat yang menurut mereka kuat.
Kendati demikian, di antara para orientalis tersebut ada yang mangkaji Islam secara ilmiah dan objektif. Tapi kelompok pengkaji Islam tersebut jumlahnya memang tidak banyak, dan bisa dihitung jari. Tiar Anwar Bahtiar dalam Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia, membagi motivasi para orientalis dalam mengkaji Islam ke dalam dua kelompok.
Pertama, kelompok berdasarkan sikap misionaris, yaitu mereka yang dalam mengkaji Islam mempunyai maksud lain, seperti mencari titik lemah Islam dan mengekspansi ajaran keagamaan dan budaya Barat.
Kedua, kelompok berdasarkan sikap ilmiah, yaitu kelompok para pengkaji Islam atas keinginan untuk memahami Islam secara serius dan ilmiah. Namun menurut Tiar, kelompok ini bisa dibagi lagi ke dalam dua bagian. Yaitu mereka yang meskipun mendasarkan diri pada sikap ilmiah dalam mengkaji Islam, tapi masih dibayang-bayangi di bawah kebencian Nasrani terhadap Islam dan para pengkaji Islam yang benar-benar simpati pada nasib perjuangan agama Islam.
Jejak Kajian Orientalisme
Diskursus Islam yang didalami oleh akademisi ketimuran Prancis tersebut tidak mungkin luntur begitu saja. Justru sebaliknya meninggalkan kesan mendalam di tengah kehidupan masyarakat Prancis. Terutama para pengkaji Islam yang mencitrakan Islam sebagai agama yang rendah dan getol menaburkan kekerasan. Sehingga, tak bila citra Islam di belahan Barat lebih banyak buruk ketimbang baiknya.
Penulis melihat kebencian para pengkaji Timur-Islam tersebut kini ada pada diri Macron, yang berselimut di bawah payung liberte, egalite, dan fraternite (Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan), slogan khas Revolusi Prancis. Kendati begitu, penulis melihat faktor lain yang membuat memanasnya isu Islam di negeri menara Eiffel tersebut. Di antaranya faktor krisis dalam negeri Prancis sendiri.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bila saat terjadi krisis di dalam negeri, maka para elit negeri akan mencari common enemy untuk menyatukan perasaan rakyatnya. Strategi ini pernah dilakukan Hitler pada perang dunia II dan George Bush Jr saat menyerbu Irak.
Umat Islam Berlaku Arif
Menyikapi sikap kebencian dan provokasi berbau SARA seperti saat ini, umat Islam mesti mempunyai dasar konseptual supaya menghasilkan tindakan arif dan elok.
Syafii Maarif dalam Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam, menyebutkan bahwa semakin islam disudutkan semakin banyak orang yang mencarinya, “Ini memang ajaib” kata Buya.
Besar harapan kita, kasus berbau SARA ini membuka lebar-lebar mata dunia akan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana ajaran Nabi. Juga harapan seluruh umat Islam –ketika menghadapi tekanan– terhadap ayat “…sayadhuluuna fii diinillahi afwaaja…” (QS. an-Nashr : 2), yang bermakna janji Allah akan banyaknya orang yang akan masuk agama-Nya secara berbondong-bondong, melalui serentetan ujian kepada umat Islam saat ini.
Melalui peristiwa ini pula, waktunya kini umat Islam bersatu dan keluar dari kotak-kotak yang membeda-bedakan, serta membuat persaudaraan umat Islam menjadi kering.
Editor: Lely N