Kemunculan sinetron religi bertema azab Tuhan di televisi, setidaknya selama dua tahun belakangan ini, menjadi bahan pembicaraan yang lumayan sensasional. Bayangkan, sinetron ini tayang saban hari dari pagi hingga sore. Ditambah, alur ceritanya yang kadang tak logis dan sinematografinya yang kerap ditertawakan netizen.
Beberapa meme yang menggunakan potongan adegan sinetron tersebut merupakan salah satu bukti betapa hebohnya obrolan seputar sinetron bertema azab ini. Tak hanya itu, adegan kecelakaan dalam sinetron tersebut juga pernah disoal netizen gegara ketahuan memakai mobil mainan dalam proses syutingnya.
Kemunculan sinetron bertema azab Tuhan belakangan ini membuat saya teringat dengan sinetron bertema serupa yang pernah tayang kira-kira sewaktu saya masih kelas 5 SD, sekitar tahun 2007-an. Jam tayangnya juga tiap hari, tapi hanya di waktu prime time sekitar petang hari.
Seingat saya, alur cerita sinetron religi yang tayang waktu itu juga kurang lebih sama dengan yang sekarang. Bedanya dengan yang sekarang, kalau yang dulu alur ceritanya cenderung berbau mistik dan lebih sering menyajikan adegan melawan iblis yang menjelma dalam beragam wujud.
Sinetron: Memberikan Persepsi Keliru tentang Islam
Saya belum mendengar ada suara sumbang yang keberatan dengan keberadaan sinetron azab yang sekarang. Atau, jangan-jangan saya yang kudet alias kurang update. Namun, sinetron bertema serupa di masa sekolah saya dulu itu pernah sampai dikritik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kritik tersebut tercantum dalam buku Dino Patti Djalal berjudul Harus Bisa!: Seni Memimpin ala SBY (2008). Presiden SBY menyebut kalau tayangan sinetron seperti itu, alih-alih membuat masyarakat paham sepenuhnya tentang Islam, malah membuat persepsi yang keliru tentang Islam itu sendiri (h. 126).
Saya rasa kritikan mantan presiden kita itu cukup mengena. Penggambaran berlebihan azab dalam sinetron religi sekarang ini bisa membuat publik salah persepsi soal azab. Jangankan berusaha menghindari segala macam keburukan karena takut azab, yang ada orang malah distrust lalu tertawa-tawa setiap ada yang mengingatkan tentang azab Allah.
Berdakwah dengan Seni, Mungkinkah?
Kritikan Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Masjid (2002) tentang seniman yang berdakwah dengan seni tampaknya relevan dibincangkan di sini. Kuntowijoyo secara eksplisit melempar pertanyaan, berapa banyak orang yang masuk Islam gegara kesenian?
Pertanyaan itu tidaklah berlebihan. Mungkin ada sebagian orang yang tertarik dengan Islam karena suara azan atau lantunan ayat Al-Qur’an. Baiklah kalau itu dianggap seni, tetapi suara azan dan lantunan qiroah memiliki pesonanya sendiri, berbeda dengan produk seni lainnya seperti film, tarian, puisi, dan sebagainya (h. 218).
Mengenalkan Islam melalui seni memang sah-sah saja, tetapi hendaknya dipikirkan lagi kalau ingin menjadikan seni an sich sebagai alat dakwah. Seringkali seni yang dipakai berdakwah kualitasnya agak turun. Asal pesannya sampai, peduli amat dengan mutu kesenian, demikian kata Kuntowijoyo (h. 220).
Taruhlah motifnya murni berdakwah, kualitasnya yang kadung ditertawakan setidaknya membuktikan gagal sampainya pesan untuk selalu ingat dengan azab Allah. Yang jadi obrolan warganet justru kualitasnya yang bahkan belum tentu lebih bagus dari film Bollywood.
Kalau motifnya haus rating, memangnya mana yang lebih laku, antara sinetron azab atau malah sinetron lain semisal Ikatan Cinta? Maaf saja, sinetron bertema percintaan lebih sukses panen penonton di hari biasa seperti sekarang. Bahkan, dua pemeran utama Ikatan Cinta sudah jadi idola baru buat publik.
Kalaupun sinetron religi laku keras, pasti hanya terjadi saat bulan Ramadhan karena suasananya lebih klik. Sinetron Lorong Waktu dan Para Pencari Tuhan adalah bukti bahwa sinetron religi lebih laris di momen tertentu seperti bulan Ramadhan.
Ketimbang sebagai alat dakwah, seni lebih efektif sebagai simbol. Ada tiga fungsi seni menurut Kuntowijoyo, antara lain sebagai sarana meninggikan nama Allah, sebagai identitas kelompok, dan sebagai syiar/lambang kejayaan (h. 219). Ketiganya dapat dirangkum menjadi seni berfungsi sebagai ekspresi keislaman.
Berhati-Hati Membuat Sinetron Religi
Memperlakukan seni bernafaskan Islam sebagai tiga hal tersebut akan membuat seni tampak lebih demokratis. Pada dasarnya seni adalah media komunikasi yang paling demokratis, tidak pernah memaksa orang untuk menyaksikannya.
Kebanyakan orang kalau nonton film atau sinetron, hampir selalu menilai kualitasnya, tidak langsung mencari pesan moralnya. Tak soal apa genre filmnya, yang penting menghibur dan tidak membuang waktu. Inilah yang kadang kurang cermat diperhitungkan oleh mereka yang berdakwah lewat film atau sinetron.
Tentu saya tidak bilang kalau lebih baik televisi dijejali sinetron percintaan yang kadang mengobral adegan mesum. Sinetron model begini memang jelas tidak mendidik dan malah membuat anak-anak penerus bangsa hanya berpikir soal percintaan dan pacaran.
Tetapi, hendaknya insan perfilman berhati-hati kalau hendak mengangkat tema religi ke dalam film atau sinetron yang diproduksi. Jangan terburu nafsu, apalagi kalau niatnya cuma sekedar meraup rating. Kalau masih demikian, pesan dakwahnya belum tentu sampai tapi sinematografinya kadung anjlok.