Siapa tak kenal Edi AH Iyubenu, penulis sekaligus direktur penerbitan buku. Mudah saja baginya untuk mencetak karya dan menyebarluaskannya. Ia penulis yang lebih banyak membahas wacana keberislaman di Indonesia. Misalnya dalam buku Berislam dengan Akal Sehat di tahun 2020. Buku ini berisi 27 tema yang kesemuanya bisa dibilang mencerminkan karakter Islam yang fleksibel, dinamis, dan akomodatif dalam realitasnya.
Edi mengajak pembacanya untuk kembali menyadari bahwa perbedaan amaliyah yang telah berlangsung sejak lama dalam islam masih berada konteks ‘Islam tidak memberatkan, apalagi membahayakan’ sebagai karakter Islam yang rahmatan li al-‘ālamīn. Ulasan di dalamnya juga berisi cerita kehidupan dengan refleksi Ushul Fiqih, atau kajian mendalam terkait dasar hukum Agama yang menurutnya adalah sisi radikalisme Islam.
Edi dan Kajian Keislaman
Akmal Ahsan dalam tulisannya “Melihat Islam dari Sosok Mas Edi” mengatakan bahwa Edi AH Iyubenu adalah orang yang sangat menghargai Islam Nusantara, bahkan dalam praktik Islam Modernis. Menurutnya, Edi tampaknya sangat getol membenci fanatisme, militansi palsu, dan ekstrimisme.
Demikian benar adanya, jika kita melihat gagasan dalam beberapa tulisannya. Misalnya buku Islamku, Islammu, Islam Kita di tahun 2018, yang berisi sekian otokritiknya pada aktivitas keislaman. Seperti fenomena pendidikan online dan offline yang darinya ia menekankan untuk tidak sampai salah memilih guru, atau termakan dakwah yang berisi hoax, fitnah dan kebencian atau dakwah yang cenderung radikal.
Dalam buku itu, ia memberi solusi dengan cara memperbesar ketaqwaan, rasa malu dan rasa cinta pada Allah, memilih guru yang alim dan beramal shalih, serta tidak fokus pada adanya perbedaan. Edy mengajari pembacanya untuk lebih melihat sisi kesamaan satu sama lain sebagai spirit integritas kebangsaan, meski diakuinya itu merupakan hal sulit.
Buku lain yang sama reflektif terhadap wacana keislaman adalah Masak Hijrah Begitu?, judul yang terlihat nyinyir pada proses perbaikan diri. Namun dalam buku ini kita diajari untuk saling menghargai keputusan siapapun yang sedang dalam proses perbaikan diri, bahwa menurutnya wajar saja jika mereka terlihat terseok-seok, tertatih-tatih, namun tetap berjuang memperbaiki diri.
Tentu karena sejatinya kita sama-sama dalam rangka memperbaiki diri, jadi rasanya terlalu naif jika harus nyinyir pada seseorang yang sedang bahagia menemukan pencerahan dan menyebarluaskannya. Bahkan seharusnya merangkul dan mendukung orang-orang seperti itu, bukan malah diolok-olok dengan kalimat yang kurang sadar diri. Misalnya “sok alim” dan sebagainya. Dalam bentuk apapun, jika menyebabkan pertikaian maka harus dijauhi.
Islam yang Radikal Menurut Edi
Dalam Berislam dengan Akal Sehat di hal 322, ia mengatakan bahwa Islam seyogyanya memang radikal, sebab kata radikal berarti mengkaji secara dalam sampai pada akar-akarnya, begitu juga tercantum dalam KBBI. Radikal juga berarti maju dalam berpikir atau bertindak yang dapat berdampak positif dan negatif, dari pada itu Edi juga menegaskan bahwa Islam radikal yang benar mustahil arogan dan intimidatif sebagaimana ekstrimis.
Menurut Edi, trem radikal harusnya selalu tidak dicampur-baurkan dengan kata ekstrimisme dan terorisme. Sebab ekstrimisme umumnya selalu berdampak negatif, sedangkan radikalisme islam juga berkonotasi positif. Apa yang dicitrakan terorisme jelas melampaui batas dan melambangkan itu lahir dari pengetahuan dangkal, tergesa-gesa dan penuh nafsu. Sedang apa yang dicerminkan Nabi dan ulama klasik dalam berbagai fatwanya adalah kajian mendalam yang selalu dijauhkan dari nafsu dan ketergesa-gesaan.
Tulisan ini ditulis 23 Februari 2020, yang sebenarnya jauh sebelum itu telah banyak pembahasan tentang simpang siur arti kata radikalisme. Termasuk arti yang merujuk pada paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan ekstrim dan drastis. Saya rasa sebagai penulis ia juga tahu itu.
***
Saya sendiri ganjil dengan pemilihan kata radikal ini, terlebih rasanya sejak 2 tahun lalu kata radikalisme memang lebih banyak mengacu pada paradigma negatif. Bisa jadi demikian untuk memberi sekat antara kajian mendalam yang ekstrimis dan yang tidak, sebab tidak jarang kaum ekstrimis juga argumentatif dalam melancarkan visi dan aksinya.
Demikian ini saya berangkat dari konten yang ada dalam buku Berislam dengan Akal Sehat sebenarnya adalah pembentukan sikap nalar kritis dalam segala hal yang berkaitan dengan Agama, meski dengan judul ‘berakal sehat’ perspektif Edi dengan refleksi Ushul Fiqih tentu mengajari kita akan pentingnya mempelajari sumber-sumber hukum islam yang tentunya pada orang yang tepat.
Yang paling penting dari 3 buku yang saya sebut adalah adalah gagasan untuk menjaga keharmonisan semasa muslim. Dimana bukan mustahil, radikalisme sebagai momok perpecahan umat juga akan dipahami sebagai tindakan yang sepenuhnya negatif, mengingat dewasa ini obsesi saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain dalam kepentingan tertentu adalah hal lumrah bahkan dibutuhkan. Termasuk dalam membedakan kajian mendalam para ekstrimis dan akademis lain, yang faktanya sama-sama ilmiah dan berbeda dengan kebenaran Tuhan dan al-Qur’an.
Editor: Soleh