Perspektif

Ketika Mahasiswa Merana Karena Corona

3 Mins read

Corona Bikin Merana?

“Corona melanda mahasiswa merana”. Judul itu diajukan oleh sekelompok mahasiswa kepada saya untuk membersamai dalam sebuah diskusi. Tentunya diskusi dilaksanakan secara daring. Ya diskusi daring sedang in (ramai) saat ini. Semua kalangan menyelanggarakan diskusi daring, dan sebagian yang lain harus berkutat dengan hidup yang lapar dan kering.

Saya tidak akan membahas lebih lanjut tentang itu, saya sudah pernah singgung itu ditulisan “Webinar mencekik orang miskin” yang tayang beberapa waktu lalu di IBTimes.  Saya saat ini ingin menulis tentang apakah benar mahasiswa saat ini merana karena corona?

Corona atau yang saya lebih suka menulis dengan Covid-19—tidak perlu ditanya mengapa saya lebih suka kata itu—menghempas semua kalangan. Semua terimbas karena Covid-19. Ekonomi nasional morat-marit. Pemerintah sibuk gelontorkan triliunan rupiah untuk menahan agar rupiah tidak terpuruk di bursa saham.

Tapi anehnya pemerintah membuka donasi dari masyarakat untuk penanganan Covid-19. Beruntung bangsa ini mempunyai Muhammadiyah. Muhammadiyah sudah menggelontorkan dana lebih dari 47 miliar untuk bersama mengurai masalah Covid-19.

Pemerintah pun seakan belum satu padu dalam langkah menangani Covid-19. Terbukti dengan kebijakan yang sering berganti. Misalnya tidak boleh mudik—bukan pulang kampung. Salah satunya dengan membatasi transportasi darat, laut, dan udara. Namun, sekarang diubah lagi, boleh mudik, dengan syarat dapat surat pengantar dari RT/RW, surat sehat, dan lain-lain.

Pembelajaran Daring

Ah biarkan itu jadi urusan pemerintah. Saya fokus saja pada nasib mahasiswa saat ini. Ya mahasiswa juga terimbas Covid-19. Setidaknya dengan perubahan secara cepat model belajar tatap muka ke pembelajaran daring. Pembelajaran daring seringkali dikeluhkan karena ada beberapa dosen yang menjadikan sebagai proses penumpukan tugas dengan deadline ketat.

Baca Juga  Relawan Juga Manusia: Cerita dari Makam ke Makam

Mahasiswa pun protes, tapi seringkali suara mereka lirih saat berhadapan dengan dosen. Seakan berlaku pameo “Pasal satu dosen tidak pernah salah. Pasal dua, jika dosen salah kembali ke pasal satu”. Habis sudah daya tawar mahasiswa. Mereka tetap harus mengerjakan tugas dengan berat hati. Mereka dipaksa untuk menyelesaikan semua tugas sesuai jadwal.

Potret itu memang terjadi. Saya menyebut hanya beberapa dosen, karena tidak semua seperti itu. Masih banyak dosen yang mendorong mahasiswa berkontribusi untuk menangani Covid-19 dengan membebaskan dari segala tugas.

Tapi untuk dosen yang memahami pembelajaran daring dengan menumpuk tugas ya kita doakan mereka sadar. Mahasiswa tidak perlu menggerutu. Jalani saja dengan riang gembira. Pasti selesai kok tugasnya.

Sangat disayangkan jika mahasiswa terpaksa mengerjakan atau merampungkan tugas dengan berat hati. Itu hanya akan menambah derita dan menurunkan imun tubuh. Hati-hati kalau imun tubuh menurun, Anda bisa sakit. Maka dari itu kerjakan dengan riang gembira semua tugas yang diberikan dosen kepada Anda.

UKT

Selain persoalan pembelajaran daring, mahasiswa dihadapkan pada persoalan apakah bisa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tidak semeter depan. Pasalnya, bulan Juni-Juli nanti sudah harus bayar semester baru.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuka kesempatan kepada perguruan tinggi negeri (PTN) mengenai UKT. Artinya, PTN diperkenankan untuk memberikan keringanan kepada mahasiswa di masa pandemi.

Kebijakan itu kemudian direspon oleh Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung memberikan bebas UKT bagi mereka yang kesulitan membayar dan berada di semeter akhir atau sedang menulis skripsi. Namun, tetap ada syaratnya, mahasiswa harus menyelesaikan kuliah (skripsi) pada semester berjalan. Tidak boleh memperpanjang masa studi.

Saya kira pengelola PTN juga manusia yang mempunyai nalar kemanusiaan. Bagi mahasiswa yang terdampak, PTN tentu membuka diri untuk penangguhan pembayaran UKT. Tinggal mahasiswa mengkomunikasikan persoalan itu kepada penasehat akademik atau pengelola program studi dan juga bagian keuangan universitas.

Baca Juga  Paham Ekstremisme Incar Anak Muda

Selamatkan PTS

Bagaimana dengan PTS? Saya kira pemerintah perlu turun tangan membantu PTS agar mereka tidak terpuruk. Pasalnya mahasiswa Indonesia banyak kuliah di PTS. Tentu untuk menyelamatkan semua, PTS perlu mendapat suntikan dana agar tidak semakin sengsara di tengah Covid-19.

Kita tentu mafhum, PTS sangat bergantung kepada dana yang disetor oleh mahasiswa. Jika banyak mahasiswa tidak membayar uang kuliah, maka ekosistem PTS akan terganggu. Akan banyak pihak yang merana karena coronavirus. Pemerintah perlu turun tangan menyelamatkan PTS dari persoalan keuangan.

Maka, saya berpesan di tengah kondisi seperti ini, mahasiswa perlu lebih giat belajar dan banyak bersyukur. Pasalnya, mereka masih dapat menikmati pendidikan di tengah semakin banyaknya siswa yang tak bisa menjadi mahasiswa. Apalagi di masa seperti ini, tentu akan banyak alumnus SMA sederajat  berpikir untuk melanjutkan studi atau mencukupkan diri di tengah kondisi yang tak menentu. 

Pada akhirnya, virus rahmatan lil alamin ini telah menyapa semua pihak. Semua aspek merasakan dampak Covid-19, baik dalam skala kecil, sedang, maupun berat. Mari terus berbuat dan bertindak agar Covid-19 segera berlalu. Berlalunya virus ini tentu mengguratkan harapan akan hadirnya kehidupan baru yang lebih baik.

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *