Falsafah

Skeptisme Al-Ghazali untuk Menemukan Kebenaran yang Hakiki

3 Mins read

Sebelum membahas skeptisme Al-Ghazali, kita perlu mengenal sosok ini. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau biasa dikenal dengan Imam Al-Ghazali adalah seorang filosof besar Islam sekaligus teolog yang memiliki kontribusi besar terhadap pemikiran dan keilmuan Islam. Ia adalah seorang sufi pemeluk aliran Asy’ariyah. Dilansir dari jurnal uinsby.ac.id, Al-Ghazali lahir di Iran tepatnya di Desa Thus pada tahun 1058 M atau 450 H. Dirinya lahir ketika aliran Mu’tazilah mulai redup dan aliran Asy’ariyah sedang dalam masa kejayaannya.

Al-Ghazali diberi gelar Hujjatul Islam (otoritas atas Islam) karena menguasai segala bidang ilmu pengetahuan, mulai dari filsafat, ilmu kalam, teolog, fakih, mantiq, dan juga tasawuf. Dengan ilmu-ilmunya tersebut Al-Ghazali memiliki visi untuk mempertahankan Islam agar tidak mudah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Yunani dan pemikiran Mu’tazilah yang saat itu sedang berkembang pesat di dunia keilmuan.

Ayahnya adalah seorang fakir yang shalih dan hanya bekerja sebagai pengrajin kain shuf. Sebelum meninggal, ayahnya menitipkan Al-Ghazali kepada temannya yang merupakan seorang sufi. Dari sinilah jalan awal Al Ghazali menuju jalan sufistik.

Skeptisme Al-Ghazali

Al-Ghazali tumbuh dan berkembang dengan menyelami dunia keilmuan. Keunggulan intelektual membawa Al-Ghazali mendapatkan pemahaman atas segala aspek ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu. Karena penguasaannya terhadap ilmu sangat besar, Al-Ghazali menjadi dosen disalah satu sekolah tinggi yang dikenal dengan Madrasah Al-Nizhamiyah. Bahkan ia juga pernah menjadi mahaguru di sekolah tersebut.

Perjalanan Al-Ghazali menyebarkan ilmu terhenti oleh skeptisme spiritual yang luar biasa. Skeptisme tersebut adalah keraguannya tentang suatu kebenaran yang hakiki. Dari karyanya yang diberi judul Al-Munqidz Min Ad-Dhalal (pembebas dari kesesatan), Al-Ghazali memulai mencari kebenaran dari analitiknya terhadap panca indra. Dari panca indra dirinya bisa merasakan, menyentuh, mendengar, dan melihat suatu objek secara nyata.

Baca Juga  Abu Yazid al-Busthami: Sufi yang Mabuk Kepayang

Tetapi, menurutnya panca indra juga bisa dimanipulasi. Hal tersebut dirasakan ketika beliau tidur lalu bermimpi. Saat terbangun dari mimpinya, dunia di alam mimpi dan dunia nyatanya sangat berbeda. Dari hal tersebut Al-Ghazali mengklaim bahwa panca indra belum bisa menjawab keraguannya

Lalu yang kedua dia menemukan akal sebagai suatu subjek kebenaran yang mutlak. Al-Ghazali yakin bahwa akal adalah hal yang paling dasar dari kebenaran. Tetapi di lain waktu dia juga sangat ragu bahwa akal bisa menjawab suatu kebenaran. Karena terkadang ia juga pernah salah dalam berfikir. Al-Ghazali beubah pikiran,karena dirasa akal belum bisa menjawab pertanyaannya

Pencarian jawabannya terhenti pada aksioma. Dirinya sangat yakin bahwa suatu  hal yang bisa dilihat kebenarannya tanpa adanya bukti adalah kebenaran yang hakiki. Kebenaran tersebut bersifat kekal. Kebenaran tersebut sudah tidak bisa diubah lagi oleh apapun. Seiring berjalannya waktu keraguan datang lagi kepadanya. Suatu pertanyaan muncul dalam hatinya. Apakah kebenaran yang pasti itu bersifat abstrak?

Melanjutkan Pencarian Kebenaran

Aksioma menurut Al-Ghozali memang kebenaran yang tidak dapat dibantah. Tetapi ia belum puas dengan aksioma karena bagi dirinya suatu kebenaran yang hakiki tidak bisa berupa abstrak. Al-Ghazali menghabiskan hari-harinya untuk berfikir tentang kebenaran hakiki yang ia cari. Perjalanannya mencari kebenaran berlanjut pada  aliran yang saat itu sangat populer.

Al-Ghazali melanjutkan perjalanannya pada ilmu kalam. Beliau mencoba menggali kebenaran dengan ilmu kalam. Ilmu kalam baginya masih kurang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Menurutnya ilmu kalam tidak berguna bagi mereka yang menganut kebebasan berpikir yang sejati. Selain itu, ilmu kalam juga memiliki batas-batas keimanan yang tidak boleh dilewati.

Selanjutnya Al-Ghazali mencoba memakai filsafat sebagai alat analisanya.Menuju ke ranah filsafat, Al-Ghazali masih merasa belum puas. Meskipun filsafat sendiri dengan kaidah-kaidahnya mampu memberikan suatu jawaban, baginya itu dirasa kurang jika sudah level diluar ranah natural dan panca indera. Filsafat pada level metafisika sudah kehilangan kepastiannya. Kebenaran mungkin sulit didapatkan di level itu.

Baca Juga  Tasawuf Nusantara: Relevansi dalam Dinamika Islam Indonesia

Tasawuf sebagai Akhir Perjalanan

Perjalanan Al-Ghaqzali terhenti pada tasawuf. Dia mencoba membersihkan jiwa, hati, dan akal dari keburukan maupun hal hal yang tercela serta berserah diri kepada Allah SWT agar diberikan sebuah jalan agar tujuannya tercapai. Pada cara yang terakhir ini Al-Ghazali menemukan sebuah jawaban. Kebenaran yang sejati adalah melalui intuisi dalam diri masing masing dengan melibatkan jiwa, hati, dan akal (kasyf). Kebenaran sejati tidak lain adalah dari diri sendiri. Kebenaran adalah dari apa yang kita alami masing-masing.

Pada aliran sufi disertai dengan langkah filosofisnya ini dia mampu menemukan sebuah kebenaran yang hakiki. Perjuangannya mencari sebuah kebenaran yang hakiki mulai dari memahami panca indra, akal, aksioma. Dilanjutkan dengan pemahaman pada aliran masyarakat mulai dari ilmu kalam, filsafat, dan berujung pada tasawuf yaitu pada intuisi dirinya sendiri

Al-Ghazali menulis peristiwa tersebut dalam karya yang berjudul Ihya Ulumuddin, agar kelak banyak umat Islam yang mengetahui sejarahnya mencari kebenaran melalui tasawuf dan juga bisa dijadikan suri tauladan agar tidak berhenti berusaha dalam melakukan apapun. Perintah Tasawuf dijelaskan pada Al-Quran yaitu pada QS Al A’la ayat 14-15

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.

Tasawuf mengajarkan manusia agar manusia selalu berbuat baik, menghindari segala keburukan dan sifat tercela, serta mengamalkan ilmu untuk hal-hal yang baik. Tasawuf juga adalah langkah memperbaiki akhlak manusia agar menjadi akhlak yang baik. Wallahua’lam.

Editor: Nabhan

Naufal Robbiqis Dwi Asta
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds