Perspektif

Soal Politik, Itu Tanggungjawab Kolektif

3 Mins read

Saya termasuk orang yang menolak dengan tegas oknum yang melabeli dirinya sebagai tokoh politik (subjektif). Memanfaatkan generasi di bawah umur hanya karena mereka telah terdaftar sebagai pemilih, ungkap A.E. Priyono dalam Bukunya “Merancang Arah Baru Demokrasi”.

Bagaimana tidak, demokrasi pasca reformasi akan dibawa kemana? Pertanyaan yang masih relevan dan wajib dijawab oleh semua pihak, aktor politik, panelis kebijakan, dan lainnya ungkap seorang (Usman Hamid) menyambung pertanyaan dari rekannya di atas.

Politik Receh

Mental politik kita masih bersifat posesif dan cenderung inkonsisten. Di sinilah praktik politik kita yang tidak bernilai (nonvalue) diperparah lagi dengan sumbu pemahaman politik yang sangat pendek.

Coba kita perhatikan di setiap momentum musiman ini, kita lebih banyak diadu-domba bahkan dipecah belah oleh kepentingan parsial oligarki (Devide at impera). Lebih mirisnya lagi, tumbuh virus fanatisme kelompok sampai radius yang berkepanjangan.

Apalagi itu dibangun dengan memanfaatkan keluguan anak remaja di bawah umur, seperti pemilih pemula. Sungguh tega dan tidak profesional, masa depan anak-anak tersebut dibarter dengan politik receh, nasi bungkus, bahkan tukar tambal pulsa paketan, meminjam istilah (Satria Madisa).

Coba anda bayangkan, anak-anak itu yang seharusnya menghabiskan banyak waktu untuk menikmati pembelajaran karakter dini, malah diseret ke arena praktis yang didalamnya banyak predator liar.

Jangankan memahami politik praktis itu apa ? Mengusap air mata temannya saja enggan dilakukan, itu semua karena empati yang sudah direduksi oleh soal receh tadi. You Now ?

“Moderasi Pemikiran, peran pendidik adalah ujung tombak yang mencerahkan kembali”

***

Di manakah posisi pendidik pada klausal episode ini ? Secara kelembagaan ataupun personality, bagi seorang pendidik adalah kewajibannya melerai benang kusut ini.

Baca Juga  Membudayakan Islam atau MengIslamkan Budaya?

Katakanlah akademisi, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, pers secara kelembagaan sampai tokoh tik-tok sekalipun harus memiliki sensitifitas sosial untuk menggalang upaya pencerdasan politik (education) di ruang publik.

Langkahnya pun terbilang sederhana, tidak menguras energi yang banyak, efektif, dan efisien. Seperti menumbuhkan budaya literasi social lewat lini massa media yang telah disediakan, komunikasi langsung face to face dengan kelompok minoritas maupun pemuda (pemilih pemula), dan sebagainya.

Hal ini bukan hanya membantu penyelenggara demokrasi (KPU & Bawaslu) merasa ringan untuk melakukan profesionalisme kerjaannya, tapi juga meningkatkan partisipasi publik untuk terlibat langsung mengawal dan memastikan haknya ada diposisi yang sama.

Hal demikian merupakan antitesa dari simpul politik receh, tidak bernilai, cenderung pasif, dan ugal-ugalan. Bagi seorang pendidik, dia seharusnya paham melakukan marger isu prioritas yang ingin dikampanyekan dan lebih dibutuhkan oleh masyarakat sebagai upaya kecerdasannya.

Tanpa melabrak jalur prosedural, santun dan elok ketika mengendarai momentum (ritme) yang terjadi dilapangan. Dengan ini, peran masyarakat yang tercerahakan akan naik level (high quality), bermartabat hingga integritas moralnya tetap terjaga utuh.

Anda bisa bayangkan sendiri, 20 Tahun yang akan datang orang-orang yang berkualitas ini mengambil peran penting mengisi panggung politik praktis dengan nilai, mendistribusikan kualitas mereka dengan pikiran yang tercerahkan.

Bahkan hal tersebut perlahan-lahan menenggelamkan stigma buruk tentang politik praktis hanya di isi oleh orang-orang itu, keturunan darah biru, dinasty of continue, dominasi oligarki (koorporasi), bahkan mengakar ke politik identitas.

Apakah anda tidak bahagia dengan hal demikian? Tentu anda akan sangat bahagia, karena abstraksi politik anda telah naik ke level objektif, di mana gagasan dan isi pikiranlah yang akan bergulat diatas panggung publik. Hingga akhirnya kita semua merasakan kesetaraan yang sama dimata apapun.

Baca Juga  Cara Kiai Ahmad Dahlan Melatih Kepekaan Murid

Jangan Bangun Rumah di atas Dahan yang Rapuh

Terminologi tersebut “Jangan Bangun Rumah Diatas Dahan Yang Rapuh” adalah buah pikiran dari Prof. Ahmad Syafii Ma’arif dalam bukunya yang berjudul (Islam dan Politik || Upaya Membingkai Peradaban) yang merupakan alarm subtantif ketika konstelasi politik mulai ditabuh oleh penyelenggara.

Semua pihak akan menyambut dengan euforia dan semangat egaliterian, tetapi di sini kadangkala ada kecenderungan polarisasi yang tajam di akar rumpun, oleh karena management tim suksesnya yang sentralistik dan hanya bermodal semangat tok memobilisasi masa sebanyak mungkin, sehingga kualitas persatuan terabaikan.

Momentum politik musiman bagi seorang Ahmad Syafii Ma’arif paling substansial adalah upaya pendidikan sekaligus penyadaran terhadap publik tentang pentingnya literasi politik yang inklusif.

Di mana semua pihak menggalang kesadaran untuk menaikan level pemikirannya, terlepas dari pro-kontra yang akan dipilih atau di dukung itu siapa. Kesadaran ini dikampanyekan oleh Ahmad Syafii Ma’arif dengan tujuan memperkokoh konstruksi politik gagasan para kandidat di alam demokrasi yang terbuka.

Di mana semua tokoh harus mampu naik level sebagai negarawan, tidak stagnan pada wilayah itu-itu saja. Meskipun Ahmad Syafii Ma’arif menyadari butuh waktu panjang untuk menjajaki hal tersebut, tetapi perlahan-lahan dengan optimisme kolektif wajah politik praktis tersebut mulai terbenahi dan memiliki nilai.

Sehingga disparitas keteladanan dapat terhindarkan dan semua pihak tidak pesimis untuk mengambil peran strategis di dalamnya (The And Of History || Francis Fukuyama).

Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds