Perspektif

Keterbukaan Menjadikan Islam Punya Peradaban yang Maju!

2 Mins read

Keterbukaan Islam | Kemajuan Islam selalu dikait-kaitkan dengan masa keemasan Islam (Islamic Golden Age) tepatnya yang terjadi saat Dinasti Abbasyiah memimpin umat Islam pasca runtuhnya Dinasti Umayyah sebelumnya. Perlu diketahui, bahwasannya konsep Islamic Golden Age ini adalah konsep yang muncul belakangan yakni sekitar akhir abad 19 Masehi saat banyak negara Islam dijajah oleh Barat.

Ismail Fajrie Alattas, asisten professor studi Timur Tengah di New York University, mengatakan bahwa pengandaian-pengandaian yang dilakukan oleh umat Islam ini merupakan langkah mempertahankan harga diri dan konter narasi Barat bahwa dahulu peradaban Islam juga pernah berjaya di bawah bendera imperium Abbasyiah. Jadi, narasi Islamic Golden Age ini bisa dibilang sebagai konsep ideologis sebagai respon atas imperialisme Barat.

Meskipun hanya sebagai wacana ideologis, namun fakta bahwasannya umat Islam pernah sejaya itu dalam catatan lembaran buku sejarah peradaban dunia memanglah sebuah hal yang tak bisa ditampik oleh pihak manapun.

Dari Identitas Kearaban ke Kosmopolitanisme

Sebelum Dinasti Abbasyiah berdiri, terdapat Dinasti Ummayah yang memegang penuh otoritas kepemimpinan umat Islam kala itu. Fajri Alattas (2019) mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini lebih mementingkan identitas Arab (kekhalifahan Arab) yang duduk di kursi pemerintahan Arab ketimbang identitas Islam itu sendiri. Bahkan sampai-sampai, pemerintah Umayyah saat itu tak menganjurkanorang-orang non-muslim memeluk agama Islam.

Hal itu dikarenakan jika semakin banyak orang yang memeluk Islam, maka segala privilege yang didapatkan oleh umat Islam kala itu, khusunya para stakeholder pemerintahan, akan berkurang seiring bertambahnya jumlah umat Islam.

Supremasi keturunan Arab dalam kancah pemerintahan ini hilang seketika saat imperium umat Islam berpindah ke tangan Dinasti Abbasyiah. Ibu Kota pemerintahan yang sebelumnya ada di Damaskus, dipindahkan ke Baghdad, Iraq. Di sana, mayoritas masyarakatnya berasal dari orang-orang Persia karena Baghdad adalah sebuah daerah bekas imperium Sasania.

Baca Juga  Merawat Kemuliaan Guru, Menjaga Marwah Lembaga Pendidikan Islam

Dari sana, mulai banyak orang-orang non-Arab yang memeluk agama Islam dan Islam dijadikan sebagai identitas dan bahasa kosmopilitan yang jadi pemersatu masyarakat kala itu yang datang dari berbagai macam keturunan dan suku. Seperti Indonesia sekarang yang punya Pancasila sebagai ideologi dan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.

Sikap Keterbukaan Berbuah Kemajuan

Peralihan kekuasan ke Dinasti Abbasyiah seolah menjadi penanda pergeseran sikap umat Islam yang begitu cepat. Yang semula didominasi oleh identitas Arab, kini menjadi lebih plural dan kosmopolit. Konsekuensinya, umat Islam kala itu semakin siap dengan sikap keterbukaan dan semakin permisif dan akomodatif dalam menerima nilai-nilai peradaban dari luar Islam.

Salah satu nilai dari luar tradisi Islam-Arab adalah mekanisme pemerintahan. Untuk menjalankan sistem pemerintahan yang bisa mengatur penduduk yang plural dan kosmopolit, Dinasti Abbasyiah menerapkan sistem kerajaan yang sudah pernah diterapkan oleh imperium Sasania dan Persia. Karena keduanya telah terbukti stabil berkuasa selama ratusan bahkan ribuan tahun.

Sebenarnya, embrio sikap keterbukaan ini sudah ada sejak Dinasti Umayyah. Terbukti dengan banyaknya orang-orang non-muslim yang ditunjuk menjadi birokrat dan pejabat-pejabat negara lalu disempurnakan di masa Dinasti Abbasyiah.

Pembangunan infrastruktur, pembentukan badan wakaf, militer, perpustakaan, institusi pendidikan, lembaga kementerian yang dilakukan Dinasti Abbasyiah tak lepas dari inspirasi yang didapatkannya dari imperium Persia dan Sasania.

Sikap keterbukaan juga melahirkan kebijakan penerjemahan buku-buku filsafat dan sains dari Yunani ke bahasa Arab yang menyebabkan khazanah keilmuan di dunia Islam kala itu mengalami kemajuan sangat pesat bahkan di saat negara Barat sedang mengalami masa kegelapan (Dark Age) karena supremasi Gereja yang menggilas segala pengetahuan dan keilmuan apapun yang melenceng dari doktrin Al-Kitab.

Baca Juga  Martir Sekolah Baru

Dari sedikit paparan tulisan di atas, kita jadi paham bahwa sikap keterbukaan inilah yang dibutuhkan umat Islam untuk membangun peradaban maju. Sikap yang tidak anti pati untuk belajar dari mana pun dan mengambil hikmah dari apa pun dan siapa pun selama itu mendatangkan kebaikan.

Bukan sikap yang tertutup, eksklusif, anti dialog, dan saling mencurigai satu sama lainnya.

Artikel ini diproduksi atas kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID dalam program Kampanye Narasi Islam Moderat kepada Generasi Milenial.

Yahya Fathur Rozy
38 posts

About author
Peminat studi-studi keislaman
Articles
Related posts
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *