Pagi itu, udara di kawasan pegunungan sangatlah dingin. Sepeda yang saya tungganggi dengan bapak nampaknya sudah panas, perlu istirahat karena sejak kemarin digunakan. Sembari menikmati suasana alam pegunungan Argopuro, saya melihat seorang perempuan desa berjalan sambil membawa nampan berisikan sayur-mayur.
Merinding bulu kuduk ini, bisa-bisanya ada perempuan yang berjalan sendiri di tempat super sepi ini. Apalagi dengan busana kebaya dan sewek yang melingkar di tubuhnya. Duhh Gusti, merinding. Memang, kawasan yang saya buat berteduh ini, masih jauh dari pemukiman warga pegunungan. Aihhh, paling-paling seorang perempuan tadi memang suka berpetualang, pikir saya begitu.
Kami melanjutkan perjalanan, mengelilingi kawasan pegunungan Argopuro. Sebenarnya, hanya ingin berjalan-jalan saja, tidak ada tujuan yang pasti. Bapak saya itu orangnya memang suka mencari-cari tempat berpetualang baru. Kalau saya mahh, kemana-kemana sering ngikut, lantaran mengasyikkan dan menambah pengalaman baru.
Di kawasan pengunungan ini, terdapat suatu pemukiman yang dihuni kisaran sepuluh kepala keluarga. Ada suatu hal yang menggelitik di pemukinan ini, sebagian besar kaum perempuan di sini diberikan tugas mengurus pekerjaan domestik. Jadi, perempuan yang saya temui tadi adalah warga desa ini.
Pekerjaan yang diberikan kepada perempuan dengan serta merta, bukan karena mereka yang menginginkannya. Hal ini dilakukan karena sudah membudaya bahwa kaum perempuan harus menetap di rumah. Mau tidak mau, pekerjaan domestik adalah pilihan tepat dan memaksa bagi mereka. Perempuan acap kali menjadi korban partriarki kaum laki-laki. Situasi itulah yang sering dihadapi oleh kaum perempuan.
Naah, hari ini dunia sedang digemborkan dengan adanya social distancing. Tidakkah anda sadari bahwa social distancing itu sudah di alami oleh kaum perempuan?
Realita kehidupan perempuan memang sangatlah mengerikan. Tidak hanya terjadi di pedesaan, namun subordinasi juga terjadi di perkotaan. Penyebab hal ini terjadi pada kaum perempuan, lantaran masyarakat Indonesia terlalu menggunakan logika supranatural dalam berpikir. Dengan mengandalkan dalih keagamaan untuk menjadikan kaum perempuan disamakan dengan objek dalam kehidupan.
***
Sehingga, yang terjadi adalah kaum perempuan diperlakukan sebagai benda dalam kehidupan. Mereka diperlakukan layaknya suatu barang yang tak memiliki hak untuk hidup, berkembang, dan meniti karir. Betapa tertekan bukan? Bilamana manusia diperlakukan seperti ini.
Social distancing nampaknya sudah terjadi kepada kaum perempuan lebih dulu. Apakah benar? Yapss benar sekali. Hal ini terjadi lantaran minimnya pendidikan bagi kaum perempuan. Jangankan mendapatkan pendidikan, bisa baca saja sudah untung sekali.
Lhoo kok tidak bisa membaca? Gimana mau bisa membaca, untuk bisa sekolah saja dibatasi, sahut nenek saya. Pembatasan sosial ini menyebabkan dangkalnya pikiran kaum perempuan. Dan imbasnya adalah pada masa depan kaum perempuan sendiri. Nantinya mereka lagi-lagi hanya ditempatkan pada pekerjaan ranah domestik. Bukannya mengapa, namun pekerjaan ini dianggap remah temeh lantaran semua orang pasti bisa mengerjakannya.
Ketika kaum perempuan sudah diberikan pekerjaan rumahan, otomatis mereka tidak bisa meniti kehidupan di luar rumah, lantaran modal membaca saja tidak punya. Adanya social distancing secara global ini, mungkin bisa dijadikan suatu gebrakan hebat. Bahsawannya, berada di dalam rumah dengan melakukan pekerjaan rumahan secara terpaksa itu tidaklah mudah.
Sebenarnya, beruntung sekali orang-orang yang melakukan Work From Home (WHF) ini. Dari yang apa mereka lakukan itu, merupakan sebuah cara untuk menyelamatkan dunia. Karena sudah pasti jelas, bermanfaat agar pandemi Covid-19 ini berakhir.
Coba bayangkan dengan perempuan yang setiap harinya bekerja di dalam rumah. Apakah mereka dihargai sebagai penyelamat dunia? Ataukah pekerjaan yang mereka lakukan bisa bermanfaat bagi orang lain? Jawabannya tentu tidak. Lagi-lagi pekerjaan mereka hanya sebatas kungkungan dalil logika supranatural yang membudaya.
Memang sangat sulit untuk melepaskan belenggu sejarah yang sudah mengakar kuat berabad-abad tahun lamanya, mendarah daging di tubuh masyarakat Indonesia, bahwa perempuan itu selayaknya turun ke dapur. Namun, selagi masih hidup di dunia, tidak ada kata terlambat untuk mengubah itu semua.
***
Akan tetapi kita harus ingat, bahwasannya sesuatu yang tertancap itu bisa dicabut. Sesuai dengan relaitas kejadian yang dialami oleh perempuan adalah sudah tertancapnya belenggu sejarah yang menjadi sebab perempuan dipersulit untuk bergerak di ranah publik. Sehingga mereka terkekang oleh isu-isu kodrat yang menyatakan bahwa tepatnya, letak seorang perempuan itu adalah di ranah domestik.
Satu-satunya jalan untuk membuka belenggu sejarah adalah dengan tidak membatasi ruang gerak perempuan dalam kehidupan sosial, khususnya dalam hal pendidikan. Karena jika seseorang tidak memiliki ilmu dalam kehidupan, bagaimana mungkin dia bisa hidup.
Menurut Tan Malaka, di dalam buku yang sudah saya baca, dia mengutipkan “Bagi seseorang yang hidup dengan pikiran yang mesti disebarkan, baik dengan pena maupun dengan mulut, perlulah pustaka yang cukup”. Akhir pernyataan itu, menjelaskan bahwasannya pendidikan itu sangatlah dibutuhkan dalam proses kehidupan.
Lantas, saat ini pilihan itu ada di tangan anda semua. Masihkah anda membatasi ruang gerak perempuan?