Falsafah

Soedjatmoko: Agama dan Sains adalah Pilar Modernitas

4 Mins read

Ilmu pengetahuan atau sains mengalami perkembangan yang sangat pesat. Produk-produk sains dalam berbagai sudut kehidupan baik di bidang ekonomi, industri, teknologi, dan politik menjadi bukti kemajuan ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan menjadi perhatian utama di beberapa negara sebagai penyokong pembangunan. Di Amerika misalnya, Norman Neuritter (2008) menyebut, bahwa  ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan piranti penting dalam upaya pembangunan dan kemakmuran yang berkelanjutan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi mengambil perannya yang vital di era modern, sehingga menjadi perhatian negara-negara dalam berkompetisi memantaskan dirinya atas gelaja-gejala yang berkembang secara empirik.

Merespon gejala-gejala empirik yang terjadi secara global, inisiasi regulasi dan penggunaan alat-alat teknologi yang canggih-sistematis menjadi alternatif yang dainggap efektif. Dengan begitu sains dan teknologi menjadi masif dan semakin bergejolak dalam berbagai macam pola.

Gejolak Sains dan Teknologi

Menurut Ahmad Saifuddin (2021: 99), konsekuensi dari gejolak sains-teknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi akan bergerak ganda dimana tidak hanya dimaksudkan untuk memudahkan dan memenuhi kebutuhan manusia, akan tetapi seiring berjalannya waktu akan merubah pola dan peradaban hidup manusia.

Gerak ganda di atas dapat diibaratkan bahwa teknologi memiliki dampak-dampak terhadap keberlangsungan hidup manusia baik secara sosial, ekonomi, industri, dan kesehatan. Di satu sisi ia menguntungkan namun di sisi lain mendegradasi kehidupan itu sendiri. Secara realitas, efek samping dari teknologi banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari seperti pemanasan global, pencemaran, atau bahkan bencana-bencana besar.

Dampak-dampak tersebut akan berpengaruh pada kehidupan manusia secara universal, meski hubungan antara manusia dengan teknologi tedapat dua jenis yaitu aktif dan pasif sebagaimana disebutkan Joseph C. Pitt (2006:133), bahwa manusia di era modern ini tak ubahnya sebagai artefak teknologi, dimana segala aktivitas harus dibarengi dengan kecakapan teknologi.

Secara sosial, masivitas teknologi dapat merubah pola interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat. Menurut Yasraf Amir Piliang (2012:145), pergeseran tersebut bisa dilihat dalam interaksi sosial ke dalam ruang cyberspace baik dalam hubungannya yang berkaitan dengan ekonomi, politik, transaksional, dan lain sebagainya. Cyberspace mengandaikan seluruh aktivitas manusia secara artifisial dalam ruang virtual. Tentu hal ini menjadi tantangan dalam berbagai tingkat sosial baik tingkat individu, antar-individu dan komunitas.  

Baca Juga  Al-Ghazali & Kekuasaan (1): Pandangan dan Teori

Soedjatmoko dan Pembangunan Nasional

Fenomena ini disadari dan menjadi perhatian khusus bagi seorang Soedjatmoko. Seorang diplomat ulung yang memiliki kontribusi gemilang baik di kancah nasional maupun internasional sebagaimana perannya menjadi wakil Indonesia di PBB. Selain itu, ia juga seorang intelektual-akademis yang banyak menyampaikan pidato-pidato di berbagai seminar kampus di dalam maupun luar negeri.

Karya-karyanya meliputi berbagai bidang yaitu pembangunan, ekonomi, politik, budaya, dan spiritualitas. Melalui tulisannya yang berjudul Spritualitas dan Pembangunan Indonesia (1989), Soedjatmoko menuangkan segala keresahan-keresahan terhadap gejala kehidupan sosial yang semakin canggih dan modern. Dimana alat-alat modernitas seperti teknologi lambat laun menjauhkan manusia dari kearifan dan keadabannya. Baginya, moril tak lagi menjadi landasan yang kuat dalam setiap dinamika kehidupan modern ini.

Satu hal yang menjadi pertanyaan besar dalam benak Soedjatmoko yaitu, bagaimana seharusnya agama dipedomani dalam kehidupan modern? Masyarakat modern menurutnya benar-benar dalam posisi bimbang dan terombang-ambing dalam gelombang modernisasi. Di satu sisi mereka berupaya untuk menjadi masyarakat yang berkembang dan maju dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun di sisi lain menumpulkan spiritualitas dan moril kehidupan, sehingga piranti-piranti modernitas justru menjadi bumerang yang meruntuhkan peradaban manusia dari segala sisi.

Soedjatmoko dalam hal ini tidak kemudian menolak modernitas, ilmu pengetahuan ataupun teknologi, karena modernitas adalah suatu kebenaran yang harus disadari. Namun yang ingin ia tekankan ialah bagaimana aspek agama, spiritual, moral dan kearifan budaya tetap menjadi landasan hidup di era modern.

Pasalnya, cara-cara modern dalam kehidupan saat ini menuntut manusia untuk selalu mengimbangi perkembangan zaman atau sistem-sistem pemerintahan yang menghasilkan produk-produk peraturan dalam rangka pembangunan nasional.

***

Dalam konteks Indonesia, aspek materialisme dan konsumerisme dalam sektor ekonomi-industri hendaknya dipertimbangkan atas dasar moril sosial. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemiskinan struktural atau adanya sekat kelas-kelas sosial yang mendegradasi solidaritas sosial. Pembangunan nasional yang menekankan pada materialisme semata akan menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai moralitas.

Baca Juga  Peran Agama dalam Masyarakat Multikultural

Dalam kasus ini, Soedjatmoko mencontohkan komunikasi seorang anak yang menuntut bapaknya agar hidup kaya layaknya orang lain di era modern. Atau contoh lain seperti penertiban pedagang-pedagang kaki lima dari orang-orang kecil karena adanya produk hukum modern, sehingga mengerdilkan hak-hak orang kecil berdasarkan adat dan kebiasaannya.

Sekali lagi, Soedjatmoko ingin menekankan di sini bahwa pembangunan nasional tidak hanya dilihat dari materialisme, namun pembangunan nasional juga harus diupayakan dari aspek moril atau spiritualitas. Hal ini dikarenakan aspek moril memiliki peran dan signifikansi dalam membentuk peradaban yang luhur dan berbudi pekerti. Berkaitan dengan hal tersebut, agama dan sains-teknologi perlu untuk saling disandingkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang maju, adil, dan bermoral.

Apakah Agama Hanya Sebatas Formalitas?

Peran dan pesatnya teknologi di era modern seolah-olah menutup panggung agama di ruang publik. Agama tidak lagi dipahami secara komprehensif dalam kaitannya dengan kehidupan secara umum. Ia dianggap sebagai alat komunikasi hubungan antara individu dan Tuhannya semata, sehingga aspek-aspek moril tidak banyak dijadikan landasan dalam kehidupan yang didominasi dengan gejolak sains dan teknologi.

Akibatnya, kehidupan modern semakin tidak terkendali dan semakin jauh dari kearifan dan keadaban. Di samping itu, modernitas yang ditandai dengan kemajuan sains-teknologimemiliki sisi negatif yang dapat mendegradasi nilai-nilai luhur kemanusiaan, spritualitas dan agama.

Agama dan sains-teknologi memang seharusnya berkesinambungan sehingga menghasilkan produk integral yang relevan dengan masa kini. Keseimbangan hidup manusia dicapai dari berbagai sektor baik dari ilmu pengetahuan, moral kebudayaan, dan spiritual.

Mengintegrasikan antara agama dan sains-teknologi merupakan maksud dan tujuan Sedjatmoko dalam mewujudkan keseimbangan hidup. Artinya, setiap aktivitas modern harus didasarkan pada moral agama dan kebudayaan agar tidak keluar dari koridor-koridor kearifan dan kemanusiaan.

Baca Juga  Apa itu Iman?

Di samping itu, manifestasi ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi dipertimbangkan atas nilai-nilai luhur spiritual. Menimbang dan menghindari segala hal yang dapat menciderai etika sosial yang merugikan sektor-sektor kemanusiaan. Pentingnya peran agama dalam kehidupan modern setidaknya mengajarkan dua pokok hubungan sosial.

***

Pertama, hubungan wathaniyah yaitu relasi antar manusia yang diikat oleh kebangsaan dan kenegaraan. Hubungan ini mengindikasikan adanya persamaan rasa kebangsaan yang sama dalam upaya membentuk kesatuan, keadilan, dan kesamaan derajat. Melalui hubungan pertama ini setidaknya memberikan tanggung jawab kepada setiap individu untuk bergandengan tangan dalam mewujudkan kesejahteraan hidup bersama.

Kedua, hubungan basyariyah, mengindikasi tatanan relasi antar manusia secara universal dan global tanpa adanya sekat-sekat pemisah. Hubungan ini bermaksud untuk mewujudkan keadilan dengan mempertimbangkan hak asasi manusia secara global dengan damai.

Sejalan dengan hal tersebut, pandangan Soedjatmoko mengenai keterpaduan antara agama dan sains-teknologi merupakan cita-cita besar dalam upaya pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan harmonisasi dan kohesi sosial secara merata. Konstelasi agama dan sains-teknologi menjadi komposisi penting dalam kehidupan sosial khususnya di era modern.

Artinya, manusia tidak hanya maju secara akal dan intelektual saja, namun ia juga mampu menciptakan peradaban yang berlandaskan nilai-nilai agama dan etika-moril. Pada akhirnya, kehidupan modern yang positivistik tidak lagi menjadi benalu yang menggerogoti kearifan dan kemanusiaan. Akan tetapi menjadi faktor penting pembangunan kemanusiaan yang berkelanjutan dan berperadaban.

Editor: Yahya

Lukman Fajariyah
3 posts

About author
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Peneliti Studi Islam
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds