Pada awal abad XX, berbarengan dengan pertumbuhan industri batik di Kauman, sekelompok warga kampung ini berhasil merintis sebuah model kain songket yang menjadi trand pada waktu itu. Kain songket didesain dalam bentuk kerudung cantik dipadukan dengan pakaian kebaya menjadi trand bagi para aktivis Aisyiyah.
Setelah melewati usia lebih dari satu abad, eksisteni songket Kauman mulai tergerus zaman. Atau malah kini sudah hilang sama sekali. Hampir dipastikan saat ini para aktivis dan anggota Aisyiyah generasi muda sudah tidak mengenalinya lagi. Yakin!
Industri Batik di Kauman
Untuk dapat mengenal Songket Kauman, kita perlu memutar memori sejarah pada sekitar awal abad XX di kampung Kauman. Kampung ini dibatasi benteng keraton di sebelah utara. Di sebelah barat dibatasi Jalan Gerjen (Jalan Nyai Ahmad Dahlan). Di sebelah timur dibatasi Alun-alun utara. Di sebelah selatan dibatasi sebuah sungai kecil (sekarang sudah menjadi Jalan Kauman) yang airnya mengalir ke kolam di depan masjid gedhe.
Mayoritas anggota masyarakat Kauman memiliki profesi seragam, yakni sebagai abdi dalem keraton Yogyakarta. Kaum laki-laki menduduki posisi di lembaga Kepenghuluan Keraton yang dipimpin oleh seorang Penghulu Kepala (Hoofdpenghulu). Jabatan dalam struktur Kepenghuluan meliputi: ketib (Arab: khatib), modin (Arab: muadzin), barjama’ah (Arab: jama’ah), dan merbot (Arab: marbut).
Ketika kaum laki-laki sibuk menjalankan profesi sebagai abdi dalem, kaum wanita di Kauman memanfaatkan waktu luang dengan berbagai macam kegiatan. Salah satu kegiatan sampingan yang mendapat prospek cukup bagus ialah membatik. Kerajinan batik tangan ternyata memiliki prospek ekonomi yang cukup tinggi. Pada awal abad XX, industri batik di Kauman berhasil menyerap tenaga kerja dari luar kota.
Para Saudagar Pendiri Muhammadiyah
Kampung Kauman merupakan saksi sejarah kelahiran Muhammadiyah (18 November 1912). Organisasi Islam modernis pertama di tanah air ini lahir di tengah masyarakat yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Sebagian besar perintis dan pengurus Muhammadiyah pertama adalah para pengusaha dan saudagar batik di Kauman.
Tujuh tokoh perintis Muhammadiyah adalah para saudagar batik yang cukup popular pada waktu itu. Begitu juga struktur Hoofdbestuur Muhammadiyah pertama diisi oleh para pengusaha batik yang sangat kondang pada masanya. Tujuh tokoh perintis Muhammadiyah adalah: KH Ahmad Dahlan, RH Sjarkowi, H Abdoel Ghani, H Sjoedja, H Fachrodin, H Hisjam, dan H Tamim.
Adapun pengurus Hoofdbestuur Muhammadiyah pertama adalah: KH Ahmad Dahlan, Abdoellah Siradj, H Ahmad, H Abdoelrahman, RH Sjarkowi, H Mohammad, RH Djaelani, H Anis, dan H Mohammad Fakih.
KH Ahmad Dahlan, perintis dan president hoofdbestuur Muhammadiyah pertama, adalah seorang pengusaha batik kaya di kampung Kauman. Dalam dokumen resmi Muhammadiyah yang dirilis Soewara Moehammadijah edisi no. 3 tahun 1924 disebutkan daftar Para Sekoetoe (anggota) organisasi ini yang menggunakan identitas sebagai saudagar batik, seperti: RH Sjarkowi, H Tamim, H Abdoel Ghani, dan H Hisjam.
Songket Kauman
Ketika industri batik tengah menggeliat di kampung Kauman, pada saat yang bersamaan, KH Ahmad Dahlan memimpin sebuah gerakan pembaruan keagamaan berbasis di Langgar Kidul. Kaum wanita tidak luput dari sasaran gerakan pembaruan ini.
Pada tahun 1917, Muhammadiyah mencanangkan gerakan mengenakan kudung (kerudung) bagi kaum wanita di Kauman. Kudung khas yang dikenakan para aktivis Muhammadiyah bagian wanita (Sopo Tresno) menggunakan kain songket bermotifkan bunga-bungaan. Pelan, tetapi pasti, Songket Kauman menjadi identitas para aktivis Aisyiyah.
Songket Kauman merupakan buah karya istri Haji Mochtar (ketua pertama Hoofdbestuur Muhammadiyah bagian Taman Pustaka). Menurut keterangan Ibu Wasingah Syarbini, Songket Kauman pernah menjadi kerudung resmi Aisyiyah.
Berdasarkan cerita dari para sesepuh di Kauman, istri Haji Mochtar menemukan teknik menyulam ketika dia naik haji. Konon, di tanah suci, dia melihat kain songket yang bagus. Karena penasaran bagaimana teknik pembuatan songket tersebut, dia membeli satu buah untuk dipelajari. Sepulang dari naik haji, istri Haji Mochtar melepas semua sulaman (Jawa: didedel) untuk mengetahui bagaimana teknik pembuatan songket unik tersebut.
Pertama kali merancang Songket Kauman, istri Haji Mochtar menggunakan kain jenis Paris. Benang yang dipakai jenis ABC. Motif yang dipakai jenis bunga-bungaan, seperti bunga mawar dan melati. Sebelum menyulam harus digambar dulu di atas kertas strimin. Dibutuhkan jangka bundar (Jawa: klowongan) dalam proses menyulam. Dengan teknik menyulam yang cukup rumit, akhirnya tercipta kerajinan tangan yang bermutu tinggi. Songket Kauman memiliki kualitas gambar yang sama bagus pada kedua sisinya.
Di kampung Kauman, pembuat Songket yang terkenal Siti Dauchah, putri Haji Mochtar. Konon, hasil sulamannya sangat halus dan harganya juga mahal. Siti Dauchah menyulam menggunakan teknik paling rumit dengan cara menghitung tiap tiga serat sehingga hasilnya sangat halus. Teknik menyulam per tiga serat ternyata menjadi kunci lahirnya kualitas sulaman yang belum ada bandingannya pada waktu itu. Jika menyulam dengan cara mengambil empat serat, hasilnya justru menjadi kasar. Sebaliknya, jika menyulam menggunakan teknik dua serat, hasilnya kurang bagus, karena memang terlalu kecil. Untuk merampungkan sebuah kain sulamn ini dibutuhkan waktu paling cepat sekitar satu bulan.
Selain Siti Dauchah, putri Haji Mochtar yang lain, seperti Siti Ibanah dan Siti Asnafiyah, juga mampu membuat sulaman dengan kualitas tinggi. Songket Kauman pernah menjadi trand kerudung para aktivis Aisyiyah pada masanya. Kerudung khas Aisyiyah ini dipadukan dengan pakaian kebaya sehingga menambah penampilan yang eksotis.
Tergerus Zaman
Sejak tahun 1917-1956, tradisi menyulam kain Songket Kauman masih dilestarikan di Kauman. Tetapi saat ini, hampir tak ditemukan kader Aisyiyah di Kauman yang dapat membuatnya. Bahkan, keberadaan kudung Aisyiyah ini sudah semakin langka. Keberadaan Songket Kauman telah tergerus oleh kehadiran Songket Wonokromo yang kualitasnya lebih kasar.
Beberapa tokoh sesepuh di Kauman memang masih mengoleksi Songket Kauman, tetapi jumlahnya tak seberapa. Diprediksikan ke depan, Songket Kauman bakal punah. Selain faktor kerumitan dalam proses pembuatannya, jenis kerudung yang pernah menjadi trand ini memang kurang akrab di kalangan para aktivis Aisyiyah. Apalagi kerudung ini memang hanya luwes jika dipadukan dengan kain kebaya, sudah barang tentu banyak aktivis Aisyiyah saat ini yang kurang bisa menerimanya.
Editor: Yahya