Perspektif

Sosok Oposisi Itu Bernama Rocky Gerung

3 Mins read

Pada 1 Agustus 2023, Rocky Gerung menjadi topik yang sedang dibicarakan di jagat twitter. Melalui potongan pendek sebuah video yang ia sampaikan dalam Konsolidasi Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh di Bekasi. Dalam forum itu, Ia mengkritik Jokowi dan sejumlah kebijakannya. Bagi Rocky, apa yang dilakukan oleh Jokowi, dengan bolak-balik ke China dan juga upaya membangun Ibu Kota Negara (IKN), adalah bagian dari mempertahankan warisannya (legacy).

Hal itu, menurut Rocky, “bajingan tolol!”. Dua kata tersebut dan memantik beberapa orang ingin melaporkan Rocky karena dianggap melakukan penghinaan kepada presiden. Sayangnya, karena Jokowi sendiri tidak melaporkan diri sebagai korban, laporan dari pendukung Jokowi tersebut kemudian dianulir oleh pihak kepolisian.

Secara etis, apa yang diucapkan oleh Rocky merupakan bentuk kesalahan. Ini karena, ia menggunakan kata yang cukup kasar dalam mengkritik, yang seharusnya tidak diucapkan intelektual sekaligus akademisi. Namun, secara konteks pembicaraan dalam pidato tersebut, apa yang diucapkan olehnya merupakan bagian dari kritik yang harus direnungkan di tengah menyusutnya ruang kritik itu dari elemen intelektual dan akademisi Indonesia akhir-akhir ini.

Menyusutnya Ruang Kritik dari Akademisi dan Intelektual

Ada tiga faktor mengapa penyusutan kritik ini terjadi. Pertama, adanya pembonsaian dunia akademisi melalui birokratisasi administrasi kampus dan lembaga riset. Pembonsaian ini mengakibatkan para akademisi kemudian sibuk mengisi borang sekaligus tuntutan administrasi lainnya.

Kedua, intervensi kampus ranking. Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara Asia Tenggara lainnya, tuntutan mengejar ranking dunia kemudian menjadi kewajiban bagi akademisi. Salah satu tuntutan tersebut adalah menerbitkan jurnal yang terindeks global. Di sini, masing-masing individu dari akademisi dituntut untuk bersaing dalam kompetisi neo liberalisme pasar.

Ketiga, menempatkan diri sebagai Indonesianis. Akibat tuntutan tersebut, tidak sedikit para akademisi Indonesia sekaligus intelektual yang menjadi bagian di dalamnya, kemudian lebih memiliki fungsi dirinya sebagai Indonesianis; mengamati Indonesia dari kejauhan sambil bertarung secara teoritis dengan para sarjana yang mengkaji Indonesia di Jurnal Internasional. Akibatnya, sebagus apapun gagasan yang dihasilkan dalam jurnal internasional, sirkulasi pengetahuannya tidak sampai kepada kebanyakan masyarakat Indonesia.

Baca Juga  Menuju Toleransi Sejati: Refleksi Jakarta Plurilateral Dialogue 2023

Ketiga faktor tersebut dan adanya upaya minimalisir oposisi partai politik sekaligus elemen masyarakat ikutan lainnya mengakibatkan kemunduruan demokrasi. Kemunduran ini, misalnya, bisa dilihat dengan miskinnya kontrol sekaligus kritik kepada pemerintah Indonesia. Yang paling memungkinkan untuk melakukan kontrol-kritik tersebut adalah akademisi yang memiliki sejumlah data dan kajian sekaligus intelektual yang memiliki daya refleksi untuk mengamati persoalan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Sayangnya, fungsi ini yang menyusut.

Kehadiran Rocky Gerung

Terlepas dari retorikanya yang repetitif dan seringkali banal, kehadiran Rock Gerung kemudian menjadi pendulum untuk mengisi kekosongan yang seharusnya diambil alih oleh partai politik, ormas, akademisi, dan intelektual. Meskipun bagian dari generasi baby boomer, ia bisa memainkan peranan oposisi tersebut dalam platform digital dengan variasi ikutannya. Sejumlah kritik yang disampaikan Rocky melalui sejumlah potongan video di media sosial mengamplifikasi secara keras kepada generasi-generasi Y dan Z yang mengalami proses kegalauan mengenai kehidupannya secara personal di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi yang mereka alami.

Penyusutan ruang kritik dari akademisi/intelektual ini tidak hanya diisi oleh Rocky melainkan juga mikro-intelektual lainnya yang menjadi selebriti di platform digital. Kehadiran Guru Gembul di Youtube sebagai narator sejarah, misalnya, hal itu menarik banyak anak-anak muda untuk mengetahui dan suka terhadap sejarah. Sayangnya, sejumlah narasi yang diucapkan oleh Guru Gembul seringkali mengalami persoalan akurasi data sejarah yang salah, sebagaimana dikritik oleh akademisi/intelektual yang memiliki pengetahuan dan ahli di bidang tersebut. Namun, karena mereka tidak bermain dalam ranah platform media baru yang sama, dalam hal ini video di Youtube tetapi hanya di Facebook dan Twitter, kritik tersebut kemudian hanya menjadi gerundelan sebagai bentuk ketidakmampuan diri untuk mengamplifikasi gagasan secara luas di platform digital.

Baca Juga  Mbah Liem, Pendiri Pesantren Pancasila Sakti dan Pencetus Slogan NKRI Harga Mati

***

Keterjalinan struktur sosial dan perubahan media harus diakui membuat kehadiran Rocky Gerung dan pendulum amplifikasi lainnya ini semakin menguat. Di tengah mendalamnya tradisi oral di Indonesia, konten-konten video melalui reel di instagram, shorts di Youtube, dan Tiktok menjadi medan penyampaian yang efektif. Sayangnya, efektivitas medium semacam ini tidak berguna di mata akademisi karena dianggap tidak bisa mendapatkan penilaian untuk naik jabatan fungsional. Sementara bagi intelektual, selain karena persoalan perbedaan generasi, video singkat tersebut dianggap sebagai bentuk kekonyolan-kekonyolan baru.

Saya memprediksi, fungsi kritik semacam ini ke depan akan diambil alih oleh figur-figur semacam Rocky Gerung ini. Meskipun harus diakui, oposisi individu semacam ini akan terus dilumat oleh dua aktor; buzzer-buzzer tengik yang dibayar oleh kekuasaan dan predator kecil politik yang hidupnya bergantung dalam jejaring politik semacam ini. Jika kehadiran buzzer ini tujuannya mendapatkan uang secara langsung, predator politik kecil ini menggantungkan hidupnya kepada patronase yang dibangun melalui kekuasaan yang berada di atasnya.

Di tengah situasi ini, akar rumput yang tak terdengar dan sekedar menjadi buih, termasuk saya yang menjadi followers, akan termakan dalam gelembung polarisasi. Salah satu bentuk gelembung tersebut adalah bisa dilihat dengan bagaimana kita beradu otot dengan keluarga sendiri untuk mendukung salah satu calon presiden di tahun 2019. Namun, saat sudah terpilih salah satu yang kita dukung, ternyata lawan politik dalam Pilpres ikut bergabung dalam kekuasan pemerintahan baru. Repetisi kondisi ini akan terjadi pada elektoral politik tahun 2024. Jika kita jatuh di lubang yang sama sebagai pemilih yang berdaulat, saya khawatir ucapan Rocky Gerung, jika dialamatkan kepada kita bisa kena, yaitu subyek “Bajingan Tolol!”.

Baca Juga  Manusia Seperti Apa yang Diinginkan Oleh Pancasila?

Editor: Soleh

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds