Peristiwa hijrah tidak hanya sebagai sebuah peringatan seremonial yang hampa tanpa makna. Hijrah merupakan sebuah momentum besar yang mampu memberikan efek perubahan dari semua aspek kehidupan.
Kembali kita memperingati sebuah peristiwa dalam sejarah Islam yang penuh makna dan pelajaran. Sebuah peristiwa monumental yang menjadi tonggak perubahan dalam peradaban Islam. Hijrahnya Nabi dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah menjadi awal mula perubahan dari alam kegelapan menuju alam pencerahan.
Memperingatinya tentu kita tidak hanya terjebak pada peringatan yang sifatnya ritual saja. Perlu memikirkan kembali tentang nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa yang penuh dengan makna tersebut.
Dimensi hijrah (perubahan) mesti menjadi spirit kita dalam seluruh aspek berkehidupan. Karena perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Bagi orang beriman, tentu tidak hanya sekedar berubah. Namun berubahnya mesti ke arah yang lebih baik, yakni perubahan yang memiliki efek positif. Baik yang berdampak bagi diri sendiri, maupun untuk khalayak umum.
Aktualisasi nilai hijrah, dengan spirit perubahan sudah mendesak untuk menjadi arus utama menuju perubahan yang lebih baik. Membutuhkan kesadaran bersama dalam membumikan nilai hijrah ini dalam seluruh aspek dan sendi kehidupan.
Tiga Spirit Hijrah dalam Konteks Kekinian
Untuk itu, ada beberapa spirit hijrah yang dapat direaktualisasikan dalam kehidupan. Supaya pesannya dapat dijadikan spirit dalam membangun kehidupan. Baik bagi kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Diantara spirit hijrah yang dapat teraktualisasikan dalam konteks kekinian adalah;
Pertama, Spirit hijrah dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Bagi setiap pemimpin, momentum hijrah mesti menjadi momentum untuk mengubah diri, mengubah pola pikir, dan pola perilaku. Pola lama sebagai pemimpin bagai raja di singgasana yang selalu mau dilayani, sekarang mesti dihijrahkan untuk menjadi pelayan yang baik.
Menjadi pemimpin yang hijrah, mesti berani mengubah kebiasaan buruk yang terbiasa memperkaya diri dan hidup penuh kemewahan untuk membiasakan hidup sederhana dan bahkan terkadang menderita demi kebahagiaan rakyatnya.
Pemimpin yang telah bertekad kuat untuk hijrah, pasti akan merasa malu apabila masih ada warganya yang hidupnya menderita, sementara dia dalam kehidupan penuh kemakmuran. Sebaliknya Ia akan mencurahkan segala waktu, tenaga, dan pikiran bagaimana mengubah nasib rakyat yang dipimpinnya untuk dapat penghidupan yang layak.
Kita sebagai warga sudah muak dengan berbagai macam tingkah dan perilaku para pemimpin saat ini. Janjinya untuk mensejahterakan rakyat, namun yang terjadi justru yang sejahtera hanya diri, kolega, dan keluarganya.
Janji akan memberikan keadilan hukum bagi seluruh rakyat, realitanya hanya menjadi jargon yang tidak pernah terpenuhi dan entah kapan menjadi nyata. Justru yang sering terjadi hukum hanya runcing kebawah bagi rakyat biasa, namun tumpul dan mandul bagi kalangan elit.
Sudah cukup banyak fakta di masyarakat, bagaimana ketika rakyat miskin yang kedapatan mencuri akibat terpaksa demi menghidupi kebutuhan keluarga, begitu cepat proses hukumnya. Para penegak hukum sangat hebat dan bekerja profesional dan menangani kasusnya. Tidak perlu menunggu lama keputusan bagi si miskin segera terbit dan hukuman pun segera dijatuhi.
Namun kita dipertontonkan dengan kasus korupsi yang maha besar, yang melibatkan orang-orang penting dan kalangan elit. Sering sekali lambat, dan dipenuhi dengan berbagai drama dan rekayasa. Penegak hukum tampil bagaikan mobil tua yang kehabisan energi untuk dapat berjalan cepat untuk memprosesnya. Pun setelah diproses dengan waktu yang cukup lama, baru keluar keputusan yang seringnya antara hukuman dan perbuatan sangat berbeda jauh.
Koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat banyak, merampok uang negara, merugikan nusa dan bangsa. Seringnya hanya mendapatkan hukuman yang ringan dan sangat tidak seimbang dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Peristiwa dan kejadian seperti ini, mestinya kita wajib kembali merenungkan pesan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, terkait hukum yang tidak berkeadilan sebagai sebuah ancaman rusaknya sebuah tatanan kehidupan, sebagaimana sabda beliau:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).
Pesan nabi ini sangat sesuai untuk dapat dijadikan sebagai pelajaran yang berharga. Bahwa ketika hukum mulai dipermainkan dengan penuh rekayasa, jauh dari nilai keadilan maka pertanda akan terjadi musibah yang besar.
Untuk itu kesadaran bagi para pemimpin, untuk segera menghijrahkan diri dengan meninggalkan berbagai perilaku yang culas, kotor, dan yang penuh kecurangan mutlak untuk segera dilakukan. Jangan sampai terlambat dan hanya menjadi sebuah penyesalan yang tiada arti.
Kedua, Spirit hijrah dalam membangun keluarga bahagia. Keluarga merupakan miniatur sebuah bangsa. Negara yang baik merupakan perwujudan dari sekumpulan keluarga yang baik. Sehingga kuatnya negara sangat tergantung sejauh mana kekuatan dan harmoni pada setiap keluarga.
Keluarga merupakan pilar yang paling fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Bagian yang terpenting dalam beragama maupun dalam bernegara. Keluarga yang baik merupakan cerminan sebuah masyarakat yang baik, masyarakat yang baik menjadi syarat utama terbentuknya negara yang kuat.
Namun realitanya saat ini, kekuatan keluarga yang menjadi pilar kekuatan negara setiap hari tergerus dengan semakin meningkatnya angka perceraian. Kasus ini hampir semua merata disetiap daerah di Indonesia. Berbagai macam masalah yang melatar belakanginya, salah satunya adalah tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga yang dimulai dari sebab perselingkuhan.
Perselingkuhan merupakan perwujudan dari sifat khianat, karena telah mengingkari sebuah janji suci. Baik sang suami maupun sang istri, apabila telah mengikrarkan diri untuk berumah tangga, maka ia terikat dengan janji suci untuk saling menjaga, mengasihi, melindungi dan saling mempercayai.
Perbuatan perselingkuhan merupakan bentuk pembohongan dari semua janji yang telah terikrarkan. Dan hasil dari sebuah penghianatan adalah bencana. Sebab perbuatan khianat termasuk dalam kategori sifat orang munafik yang sangat dibenci oleh Allah dan rasulnya.
Untuk itu momentum hijrah, merupakan waktu yang paling tepat bagaimana setiap keluarga mampu mengintropeksi diri dalam menguatkan bangunan rumah tangganya. Segala perilaku yang selama ini berpeluang menjadikan rumah tangga menjadi retak, untuk segera sadar diri untuk saling memperbaiki.
Ketika suasana keluarga sudah mulai terasa hampa, akibat kurangnya kasih sayang oleh kesibukan masing-masing, maka bersegeralah menghijrahkan diri untuk membuat sesuatu yang terbaik agar rumah tangga bisa terasa romantis. Dalam suasana keluarga yang romantis, yang dibalut oleh cinta kasih merupakan jalan terbaik menggapai keluarga bahagia.
Ketiga, Spirit hijrah untuk kalangan pemuda. Masa depan sebuah bangsa sangat tergantung dengan keadaan generasi mudanya saat ini. Pemuda wajib menyiapkan diri sebaik-baiknya sebagai estafet penerus kepemimpinan kedepan.
Namun ironis saat ini, pemuda kita banyak terjebak dalam prilaku negatif yang cenderung merusak diri dan masa depannya. Narkoba, minuman keras, free sex, dan pergaulan bebas yang seharusnya menjadi musuh dan diperangi bersama, justru saat ini banyak digandrungi oleh kalangan anak muda. Hal inilah yang menjadi ancaman masa depan bangsa.
Hadirnya pemuda hijrah sangat dirindukan saat ini, yaitu pemuda yang menghijrahkan diri untuk mengubah pola pikir dan pola perilaku. Pemuda yang tampil tidak hanya sebagai agent of change (sebagai aktor perubahan), namun juga tampil sebagai agent of progress (aktor kemajuan), dan sekaligus juga sebagai agent of Modernization (sebagai aktor pembaharuan).
Akhirnya mari kita menyambut tahun baru Islam yang 1445 Hijriah ini dengan penuh harapan. Semoga setiap kita dapat mengambil hikmah dan spirit perubahan yang dapat tereaktualisasikan dalam konteks kekinian.
Editor: Soleh