Lima Stigma Tentang Filsafat
Jika mendengar kata filsafat mungkin kita berasumsi bahwa filsafat adalah hal yang berat, tidak rasional, membuat orang menjadi gila dan sebagainya. Padahal, filsafat secara esensial sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, karena gambaran atau stigma yang beredar di masyarakat tentang filsafat, hal ini membuat filsafat sering disalahpahami dan orang enggan belajar filsafat.
Adanya stigma dan miskonsepsi ini banyak orang yang sok tahu tentang filsafat dan banyak yang mengatakan bahwa filsafat adalah sesat. Pandangan ini sering kali terdengar dari mereka yang tidak belajar filsafat secara mendalam. Dari sejarahnya filsafat adalah induk dari ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi, psikologi, matematika, fisika, biologi dan ilmu lainnya. Semua ilmu-ilmu tersebut berasal dari ibu yang satu, yaitu filsafat.
Simak, inilah beberapa stigma masyarakat terhadap filsafat yang perlu diluruskan:
Filsafat yang Sering Disalahpahami
1. Filsafat adalah Hal yang Berat
Anggapan ini adalah yang paling umum bahwa filsafat adalah berat dan menyulitkan. Hal ini dibuktikan dengan orang-orang yang bergelut di dunia filsafat yang sering menggunakan kata-kata mengenai teori yang sulit dimengerti oleh banyak orang. Sulit sebenarnya bukan dari gagasan filsafatnya, tetapi cara penyampaian orangnya. Seorang filsuf sudah terbiasa dengan hal-hal yang rumit bahkan hal-hal yang mudah pun mereka sampaikan dengan penggunaan bahasa yang sulit.
Di sisi lain, anggapan filsafat sebagai hal yang berat terjadi ketika kita membaca karya literatur para filsuf atau buku-buku filsafat dan di situ kita mengalami kesulitan. Hal itu dikarenakan kita membaca tanpa dibekali pengetahuan dasar filsafat. Padahal sebenarnya filsafat sendiri persoalan yang mudah yang biasanya kita temui di kehidupan sehari-hari.
2. Filsafat Membuat Seseorang Menjadi Gila
Anggapan ini juga merupakan stigma yang sering kita dengar ketika belajar filsafat. Padahal banyak alasan orang menjadi gila tetapi bukan karena belajar filsafat. Orang menjadi gila bisa karena depresi, trauma, stres dan gangguan psikis lainnya. Justru dengan belajar filsafat kemungkinan besar nalarnya menjadi lebih baik karena salah satu alat berfilsafat adalah menggunakan nalar.
3. Filsafat Membuat Orang Menjadi Ateis
Anggapan ini juga merupakan pandangan mengenai filsafat yang banyak mengira bahwa filsafat akan membuat orang tidak percaya Tuhan. Memang ada beberapa orang yang setelah belajar filsafat dia tidak percaya adanya Tuhan, tetapi ini bukan kesalahan filsafat, melainkan cara orang tersebut berfilsafat.
Seseorang dapat menjadi ateis ketika belajar filsafat dikarenakan memang orang tersebut kritis dengan dogma keagamaannya tetapi banyak juga yang menemukan Tuhan melalui filsafat. Sebagaimana kita ketahui banyak para filsuf-filsuf yang religius baik dari kalangan muslim ataupun kristiani. Jadi, banyak alasan orang menjadi ateis tetapi bukan karena belajar filsafat. Namun, disebabkan beberapa faktor yang membuat dia tidak percaya Tuhan.
4. Kurang Bermanfaat untuk Dipelajari
Banyak orang yang menganggap bahwa ilmu yang bermanfaat itu adalah ilmu yang bisa dirasakan dan diamati oleh pancaindra seperti ilmu eksak di mana orang belajar ilmu ini bisa akan berhitung, selain itu ada ilmu ekonomi dan bisnis di mana jika belajar ilmu ini bisa pandai berbisnis, berdagang dan lain sebagainya. Anggapan-anggapan seperti ini harus diluruskan. Karena mengingat tujuan filsafat sendiri adalah mengajak kita untuk berpikir kritis, mendalam dan logis sehingga orang yang belajar filsafat akan sangat bijak dalam memutuskan sesuatu hal yang ada di dalam hidupnya. Hal ini dikarenakan cara berpikir orang yang berfilsafat adalah sistematis dan tidak semrawut.
5. Orang Berfilsafat adalah Orang yang Pintar
Anggapan ini mungkin terlihat positif karena para filsuf sering digambarkan sebagai seorang yang mempunyai IQ dan intuisi yang jauh melebihi tingkat rata-rata manusia. Padahal seorang filsuf tidak selalu soal buku, para filsuf seperti halnya orang lain yang suka bercanda, bahas hal-hal receh dan lain-lain.
Filsuf juga dipandang sebagai seorang yang tidak memperdulikan masalah sehari-hari, tetapi sibuk merenung dan memikirkan persoalan hakikat sesuatu yang sulit dicerna. Dalam hidup, tentu kita pernah mempertanyakan, memikirkan dan merenungkan kenapa ini harus begini, dan tidak boleh begitu, sedangkan itu harus begitu, tidak seharusnya begini. Untuk apa saya kuliah? Kenapa kerabat kita yang baik meninggal? Kenapa ada orang yang sampai hati berbuat seperti itu? Semua ini telah menjadi obyek pemikiran filsufnya.
Jadi, secara umum, kita sudah ‘berfilsafat,’ yaitu mengajukan pertanyaan filosofis, terlibat dalam perbincangan filosofis, dan memegangi sudut pandang filsafat tertentu. Hanya saja kita tidak menyadarinya sehingga filsafat sering disalahpahami.
Editor: Nabhan