Tasawuf

Suasana “Lailatul Qadar” Bisa Kapan Saja

4 Mins read

Memasuki penghujung Ramadan umat Islam ramai berbincang tentang Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Malam itu adalah malam diturunkannya al-Qur’an (QS. 97:1), yaitu sebuah malam diberkahi (QS. 44:3) yang ada di bulan Ramadan (QS. 2: 185). Umat Islam berlomba mengejar malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan itu, terutama pada sepuluh malam terakhir Ramadan.

Berkenaan dengan ini, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menulis sebuah renungan berjudul “Lailatul Qadar” ketika mendekam dalam tahanan. Tulisan itu dimuat di majalah Gema Islam pada tahun 1965 tanpa mencantumkan namanya. Dalam usia tua dan suasana kesepian seorang tahanan, Buya Hamka mencari pengertian hakiki tentang Lailatul Qadar. Beliau menyebutkan tiga kisah dalam renungannya.

Pertama, suatu hari seorang penyembah berhala yang gagah berani mencari Nabi Muhammad Saw. untuk dibunuh. Menurutnya, Muhammad telah mengacaukan tatanan masyarakat dengan sebuah ajaran baru. Di tengah jalan ada yang bertanya, “Engkau hendak ke mana?” Orang itu menjawab, “Hendak mencari Muhammad dan membunuhnya, sebab ia telah membuat banyak pemuda tersesat dari ajaran nenek moyang dan mengikuti ajaran Muhammad.” Orang yang bertanya tadi memberi nasihat, sebelum bertemu Muhammad, temui dulu adik perempuannya yang telah ‘berubah’ juga. Dengan segera dan marah pergilah ia ke rumah adik perempuannya.

Setelah sampai, ia melihat adik perempuannya tengah khusyuk membaca sebuah catatan bersama sang suami. Ia meminta catatatan itu, namun adiknya enggan memberikan. Dalam keadaan murka ditamparlah adiknya, catatan itu pun direbut. Ia membaca catatan itu yang ternyata adalah ayat al-Qur’an, permulaan Surat Taha yang artinya sebagai berikut:

“Taha. Kami tidak menurunkan al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melaikan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah); diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi; (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arasy.” (QS. Taha [20]: 1-5).

Baca Juga  Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah
***

Ayat-ayat itu masuk ke dalam seluruh tubuh dan jiwa raganya. Setelah itu raut wajahnya berubah. Ia berkata kepada adiknya, “Di mana Muhammad sekarang? Bawa aku kepadanya! Aku akan masuk Islam.” Itulah kisah Sayyidina Umar bin Khattab.

Kisah kedua tentang seorang pemuda yang merayap malam-malam untuk berbuat jahat, mengajak perempuan berzina. Tetiba ia melihat suatu rumah lampunya terang. Ia mendengar suara perempuan seperti bernyanyi dengan suara yang begitu merdu. Ia tahu bahwa di rumah itu memang ada seorang perempuan cantik tak bersuami. Setelah menyelinap masuk, tampaklah rupa perempuan cantik itu dengan suara merdunya. Akan tetapi, ternyata ia bukan sedang bernyanyi, melainkan sedang melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Hingga sampai pemuda itu mendengar sebuah ayat yang artinya begini:

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka).” (QS. al-Hadid [57]: 16)

Si pemuda merasa ayat itu hanya sedang dibacakan untuknya, padahal perempuan tadi pun tidak menyadari keberadaan dia di situ. Ia merasakan keberadaan iman dalam lubuk hatinya, yang selama ini tertutupi oleh hawa nafsu. Timbullah kesadarannya, lalu melangkah lambat meninggalkan rumah itu dan mencari masjid untuk salat. Sejak malam itu ia merubah hidupnya menjadi lebih baik. Itulah kisah orang saleh terkenal bernama Fudhail bin Iyyadh.

Kisah ketiga yang diceritakan Buya Hamka terjadi di Bukittinggi. Alkisah, seorang pemuda parewa (perusuh) sedang dikejar orang sekira pukul tiga dinihari. Ia bersembunyi di sekitar pekarangan sebuah Surau. Orang-orang yang mengejar tidak menemukannya, hingga beberapa saat kemudian bubar. Pemuda itu terus bersembunyi hingga tibalah adzan subuh. Ia mendengar setiap kalimat adzan, seakan-akan tertuang rasa ke seluruh jiwa raganya. Mulai dari situlah hidupnya berubah. Ia meminta kepada ayahnya untuk diantar ke Mekah. Beberapa tahun di Mekah, ia pulang menjadi ulama besar. Demikianlah kisah Syekh Muhammad Jamil Jambek.

Baca Juga  Imam al-Ghazali: Kisah Perjalanan Intelektual dan Spiritual
***

Itulah tiga kisah tentang waktu yang singkat, namun menentukan jalan hidup selanjutnya. Sesingkat ketika Sayyidina Umar bin Khattab membaca Surat Taha dari catatan adiknya. Lalu sang penyembah berhala itu berubah menjadi orang yang sangat membela dakwah Islam, bahkan menjadi salah satu Khulafaur Rasyidin.

Sesingkat Imam Fudhail bin Iyadh ketika mendengar perempuan cantik membaca al-Qur’an. Setelah itu ia menjadi seorang zahid yang besar. Sesingkat kisah Syekh Muhammad Jamil Jambek mendengar adzan subuh. Akhirnya pemuda yang suka merusuh itu merubah hidup hingga menjadi ulama besar. Momen yang singkat, tetapi nilainya lebih dari seribu bulan.

Apakah itu artinya Lailatul Qadar tidak khusus di bulan Ramadan saja? Buya Hamka menuturkan begini:

“Memang tidak saudara! Bahkan di zaman lain di tempat lain, di dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan, insya Allah kita pun dapat merasakan suasana Lailatul Qadar. Entah di belakang jenazah yang sedang di bawa ke kubur. Entah di jalan yang sepi di dusun yang jauh. Entah tentara sedang patroli di hutan belantara. Entah di tengah kesibukan lalu lintas di kota besar. Entah di dalam munajat sehabis tahajud tengah malam. Entah di mana lagi.”

Buya Hamka menyebut ayat tentang Lailatul Qadar:

“Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.”

Maksudnya adalah membawa bingkisan dan nikmat rohani untuk dibagikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Setelah itu Buya mengajak untuk memperhatikan ayat berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS. Fussilat [41]: 30).

Ayat ini menunjukkan bahwa suasana Lailatul Qadar ada di luar Lailatul Qadar. Suasana itu adalah anugerah Allah Swt. untuk hamba-Nya. Tugas hamba adalah berusaha. Latih diri dengan mengamalkan petunjuk Nabi serta mempelajari kehidupan orang saleh yang dapat menjadi teladan.

Namun demikian, Buya Hamka juga menganjurkan untuk mengejar Lailatul Qadar di bulan Ramadan. Syarat untuk mendapatkannya lebih lengkap daripada hari dan bulan lain. Siang hari beribadah dengan puasa, lalu malam pun beribadah dengan Qiyamullail serta membaca al-Qur’an. “Teranglah bahwa kesempatan berbahagia ini dibuka luas di bulan puasa, di malam Lailatul Qadar,” tulis Buya Hamka.

Catatan: Tulisan Buya Hamka di Majalah Gema Islam (1965) tersebut dimuat kembali dalam buku Renungan Tasawuf (Jakarta: Republika Penerbit, 2016) halaman 83-106.

Editor: Yahya FR
Avatar
3 posts

About author
Alumni FUPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nyantri sambil ngajar di Ma'had Khairul Bariyyah Kota Bekasi.
Articles
Related posts
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (3): Praktik Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah tidak menjadikan tasawuf sebagai landasan organisasi, berbeda dengan organisasi lainnya seperti Nahdlatul Ulama. Akan tetapi, beberapa praktik yang bernafaskan tentang tasawuf…
Tasawuf

Tasawuf di Muhammadiyah (2): Diskursus Tasawuf dalam Muhammadiyah

4 Mins read
Muhammadiyah pada awal mula berdirinya berasal dari kelompok mengaji yang dibentuk oleh KH. Ahmad Dahlan dan berubah menjadi sebuah organisasi kemasrayarakatan. Adapun…
Tasawuf

Urban Sufisme dan Conventional Sufisme: Tasawuf Masa Kini

3 Mins read
Agama menjadi bagian urgen dalam sistem kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, pasti memiliki titik jenuh, titik bosan, titik lemah dalam…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds