Perspektif

Sudahkah Kita Mengamalkan Al-Ma’un di Tengah Pandemi Covid-19?

3 Mins read

Pandemi Covid-19 atau yang biasa kita sebut dengan virus Corona menjadi sebuah persoalan seluruh bangsa di dunia. Sejak ditemukannya virus tersebut di Provinsi Wuhan, China pada bulan Desember 2019, penyebaran virus tersebut semakin meluas hingga mencakup 217 teritori negara di dunia . Data terbaru dari WHO per tanggal (5/5/2020) menyebutkan bahwa akumulasi data positif pasien Corona sudah mencapai 3,5 juta terkonfirmasi positif di seluruh dunia.

Penyebaran virus tersebut berdampak pada sistem perekonomian  baik di sektor perdagangan, investasi serta pariwisata secara global. Di Indonesia sendiri, jumlah terkonfirmasi sudah mencapai 10 ribu lebih kasus positif. Secara keseluruhan, total persebaran kasus penularan Covid-19 sudah terjadi di 34 provinsi dan 326 kabupaten/kota. Hingga saat ini, prosentase tingkat kematian (Case Fatality rate) di Indonesia kini mencapai 8,9 %.

Kematian Warga yang Kelaparan

Untuk menangani hal tersebut, Pemerintah RI menerapkan PSBB (pembatasan sosial berskala nasional) yang diharapkan secara efektif menekan penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut telah dilaksanakan di beberapa provinsi dan kota yang dianggap tingkat penyebaran sangat tinggi.

Kebijakan PSBB tersebut menyebabkan masyarakat secara umum terbatas dalam memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat yang mata pencahariannya di sektor informal seperti Pedagang kaki lima, ojek hingga pemulung merasa kesulitan akibat adanya aturan pembatasan tersebut.

Ada kisah tragis yang di alami keluarga Yuli Nur Amelia, warga Kota Serang Banten. Wabah Covid-19 membuat perekonomian keluarga Yuli menjadi terpuruk. Yuli dan empat anggota keluarga diduga kelaparan akibat tidak makan dan hanya minum air galon selama 2 hari.

Suami dari Yuli (Khalil) merupakan seorang petugas pemungut sampah perumahan. Karena dampak penyebaran Covid-19, Khalil tidak lagi bekerja dan tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi ekonomi keluarga. Pada Senin sore (20/4/2020) Yuli sang istri dikabarkan meninggal dunia, meninggalkan satu orang suami serta 3 orang anak .

Baca Juga  Psikologi Islami (2): Karakter Jiwa dalam Al-Qur'an

Teologi Al-Ma’un

Dari uraian tersebut, rasanya sangat memprihatinkan dan menyedihkan. Ketika kita mendengar kabar bahwa ada saudari kita meninggal dunia karena kelaparan. Hal tersebut secepatnya harus dicegah, negara harus menjamin kehidupan warga yang layak. Selain itu, di masa pandemi Covid-19 yang sulit ini solidaritas sosial harus kita maksimalkan. Asas gotong royong dan saling membantu antar sesama perlu digelorakan. Di dalam ajaran Islam, mengamalkan semangat Al-Ma’un adalah kewajiban bagi setiap umat Islam.

Terjemahan surat Al-Ma’un: “Tahukah    kamu    orang    yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak-anak yatim dan   tidak   menganjurkan  memberi  makan   orang-orang   miskin.   Maka kcelakaan  bagi  orang-orang  yang  shalat,  yaitu  orang-orang  yang  lalai  dari sholatnya,  orang-orang  yang  berbuat  riya,  dan  enggan  menolong  dengan barang-barang  yang  berguna”  (QS.al-Ma‟un/107:1-7).

Dikisahkan KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah, beliau menjelaskan perspektif Al-Ma’un secara berulang-ulang. Semangat Al-Ma’un juga merupakan semangat lahirnya Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang populis, kerakyatan, dan bukan borjuis. Abdul Khamil dan Sony Bakhtiar dalam buku Dahsyatnya Memberi Untuk Negeri (2018) menjelaskan bahwa Ahmad Dahlan bergerak atas keprihatinannya yang pada saat itu masyarakat berada dalam fase kebodohan, kemiskinan serta keterbelakangan.

Dalam prakteknya, Ahmad Dahlan pada setiap Subuh setelah pengajian, menyuruh murid-muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang, lalu dimandikan dengan sabun, diberikan pakaian yang bersih, diberikan makan dan minum, serta disediakan tempat tidur yang layak. Oleh karena itu, spirit Al-Ma’un itulah yang membuat hati Ahmad Dahlan tergerak untuk bersama-sama mengangkat harkat dan martabat umat melalui kegiatan sosial.

Membantu Kaum Mustadh’afin

Mustadh’afin berasal dari kata dha’afa-yadh’ifu yang berarti lemah, tidak berdaya, dan tidak mampu. Di dalam ajaran Al-Ma’un, secara khusus ada ancaman kepada kelompok yang tidak memperhatikan kelompok mustadh’afin. Islam menganjurkan untuk peduli terhadap masalah kemiskinan, mengabaikan orang miskin sama saja dengan mendustakan agama.

Baca Juga  Corona: Membunuhmu!

Secara garis besar, kaum mustadh’afin tergolong menjadi kaum fakir dan miskin, anak yatim, peminta-minta, serta hamba sahaya. Ajaran Islam memang berpihak terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin). Sebagai contohnya, banyak nabi yang diutus pun berasal dari kalangan rakyat jelata dan berkhotbah di kalangan rakyat jelata dan mereka pun merupakan pengikut pertama dari nabi tersebut. Selain itu, Agama Islam juga mengecam orang-orang yang selalu menumpuk harta kekayaan, sedangkan di sekelilingnya terhampar pemandangan orang fakir-miskin dan anak yatim yang bergelimpangan.

Teologi Al-Ma’un menjadi bukti bahwa orang yang menolak ajaran menegakkan keadilan sosial sebagai pendusta agama. Oleh karena itu, Islam sangat membenci sifat egoisme yang berkonsekuensi pada sifat individualisme, liberalisme, kapitalisme, dan materialisme seseorang. Pada tataran tersebut, maka Islam hadir sebagai agama yang memberdayakan kaum mustadh’afin dan utamanya menjadi tanggung jawab bagi kaum muslimin, khususnya orang-orang yang telah diberikan karunia kecukupan harta, dan mereka berkewajiban  untuk  mengeluarkan  sebagian  hartanya  baik  melalui   infaq, sedekah  maupun   zakat. 

Kolaborasi di Tengah Pandemi

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Agama Islam menganjurkan agar setiap manusia untuk berkolaborasi, saling menolong dan membantu dalam hal kebaikan. Apabila ada sedikit tabungan, bisa kita salurkan kepada kaum mustadh’afin yang pada saat sekarang ini sedang membutuhkan kebutuhan hidupnya di kala ditetapkannya aturan PSBB yang berdampak pada keterbatasan aktivitas sosial masyarakat pada umumnya.

Kebiasaan gotong royong saling membantu juga akan menumbuhkan kehidupan harmonis antar sesama. Sehingga akan tercipta rasa kasih sayang, saling peduli, serta terpupuknya rasa persaudaraan antara masyarakat.

Semoga kita semua diberikan kemampuan oleh Allah SWT untuk menolong antar sesama serta dimudahkan setiap langkah menuju jalan kebaikan dan kebenaran. Selamat berkolaborasi, selamat menjadi insan yang bermanfaat!

Baca Juga  Jalan Keluar dari Malapetaka Krisis Iklim

Editor: Arif

Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Prodi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang. Aktif sebagai Staff Bidang Tabligh dan kajian keislaman Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cardiosvaskular UMM.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds