Sukidi. Sosok ini sangat populer pada tahun 90-an dan awal tahun 2000-an. Ia penulis dan kolomnis prolifik di Harian Kompas, yang dikenal sebagai reinkarnasi Cak Nur, karena mampu menguraikan pikiran Cak Nur dengan baik dan istimewa. Sukidi tumbuh sebagai aktivis Muhammadiyah, dan ia selalu bangga menjadi kader Muhammadiyah.
Saya bersahabat baik dengan Sukidi. Persahabatan kita tumbuh dalam kesadaran yang sama, bahwa kita harus menjaga pluralitas dan kebhinnekaan yang dititahkan Tuhan kepada negeri ini. Kita ingin agar negeri ini damai dan toleran, sehingga kebhinnekaan dapat menjadi kekuatan untuk mengantarkan negeri ini pada kemajuan.
Kita berdua sebenarnya punya mimpi yang sama, yaitu belajar dan mengajar di universitas Barat yang terkemuka. Tapi hanya Sukidi yang berhasil meraih mimpi itu. Ia berhasil belajar dan menaklukkan Universitas Harvard.
Sementara saya masih menjadi pembelajar di ranah politik, menangis dan tertawa bersama rakyat untuk tegaknya kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, sebagaimana tertuang dalam Trisakti Bung Karno.
Ia sudah kembali ke Tanah Air sejak tirakat keilmuan di Universitas Harvard selama 20 tahun. Ia akan menjadi api keilmuan Islam di negeri ini. Saya senang dan bangga padanya, sosok yang instikamah pada keilmuan.
Pada tanggal 21 Maret 2021, saya berjumpa dengan Sukidi, mengajaknya makan siang. Perjumpaan dua sahabat yang mempunyai pikiran dan mimpi yang sama. Saya sebagai kader NU dan Sukidi sebagai kader Muhammadiyah, kita berdua ingin Indonesia menjadi tamansarinya kebhinnekaan. Ahlan wa sahlan Om Kidi di Indonesia, kita berjuang bersama-sama lagi untuk Indonesia maju, damai, dan toleran.
Tulisan ini pernah diterbitkan sebelumnya di anakpanah.id
Editor: Yahya FR