IBTimes.ID – Dalam pidatonya di hadapan Majelis ‘Ulama’ Indonesia, Presiden Jokowi menegaskan bahwa “corak keislaman di Indonesia identik dengan dakwah kultural yang persuasif dan damai, tidak menebarkan kebencian, jauh dari karakter ekstrim, dan merasa benar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa semangat dakwah keislaman kita adalah merangkul, bukan memukul, karena hakikat berdakwah adalah mengajak umat ke jalan kebaikan” (25/11/2020). Apa yang dapat kita petik dari pidato Presiden yang kontekstual ini dalam bingkai keislaman dan kebhinekaan Indonesia?
Hal tersebut ditulis oleh Sukidi, Ph.D. di laman Kompas pada Jumat, (4/12). Menurut Sukidi, ada tiga metode dakwah dalam Alquran. Pertama, bi al-hikmah. Sementara mayoritas penafsir al-Qur’an periode modern menafsirkan makna dakwah bi al-hikmah sebagai ajakan ke agama Islam dengan metode yang penuh kearifan dan kebijaksanaan.
Menurut Sukidi, penafsir al-Qur’an periode awal justru menafsirkan metode dakwah bi al-hikmah ini secara berbeda. Dalam tafsir Ta’wilat al-Qur’an (Turkei: Dar al-Mizan, 2005-2011), Abu Mansur al-Maturidi (w. 333/945) merekam dua penafsiran awal yang kontradiktif atas makna yang dikandung dalam dakwah bi al-hikmah.
Menurut sebagian penafsir, seperti ‘Abdullah b. ‘Abbas (w. 687/688), al-Hasan al-Basri (w. 110/728) dan Muqatil Sulayman, frase bi al-hikmah merujuk pada metode dakwah dengan al-Qur’an. Yakni, Muhammad diperintahkan oleh Tuhan untuk mengajak umatnya ke Islam dengan petunjuk al-Qur’an, karena wahyu ini diturunkan secara gradual, sedikit demi sedikit, untuk menjawab kebutuhan dakwah Muhammad selama misi kenabian. Penafsiran ini menunjukkan bahwa dakwah Islam berakar pada tradisi intelektual yang argumentatif dan persuasif.
Kedua, dakwah dengan nasehat dan peringatan yang baik (good counsel and admonition). Yakni, menurut penafsir otoritatif awal abad pertengahan, al-Tabari (w. 310/923), dakwah Islam “dengan ungkapan-ungkapan yang indah yang Tuhan telah jadikan sebagai bukti di dalam Kitab-Nya terhadap mereka” yang meragukan otentisitas wahyu al-Qur’ān dan misi profetik Muhammad.
Sukidi menjelaskan bahwa terkait dengan penafsiran ini, sejumlah penafsir yang otoritatif, seperti Ibn al-Jawzi (w. 597/1201) dan al-Baghawi (w. 516/1122), juga menekankan bahwa dakwah Islam perlu dilakukan dengan “ucapan yang santun dan perilaku yang sopan, tanpa menjadi kasar dan ofensif.” Dakwah yang disampaikan secara kasar dan penuh kebencian sudah pasti tidak meneladani dakwah Rasul yang santun, lemah lembut, dan penuh rahmat.
“Jika Muhammad sebaik-baik teladan, maka umat Islam memiliki kewajiban untuk meneladani metode dakwah Nabi yang penuh kesantunan dan kebijaksanaan. Sekiranya ungkapan yang indah dan tutur kata yang santun tetap ditolak, maka dakwah perlu diekspresikan melalui peringatan yang baik (good admonition), dengan perintah dan larangan,” tulisnya.
Ketiga, dakwah melalui “berdebatlah dengan mereka dengan cara yang paling baik” (Dispute with them in the most kindly manner). Kata ganti “mereka,” menurut Muqatil b. Sulayman, merujuk pada ahl al-kitab, yakni “mereka yang diberikan wahyu” sebelum al-Qur’an, terutama orang-orang Yahudi dan Kristen. Penafsiran ini memberikan implikasi teologis bahwa perdebatan dan polemik kitab suci ini terjadi dalam iklim monoteisme (monotheistic milieu), ketimbang politeisme, seperti yang selama ini diasumsikan.
Dari segi metode dakwah, menurut Sukidi, Nabi Muhammad diserukan untuk berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Kristen dengan “cara yang paling baik”. Dalam terjemahan dan tafsir modern, The Message of the Qur’an (1992), Muhammad Asad (w. 1992), seorang Yahudi keturunan Austria-Hungaria yang memeluk Islam pada tahun 1926, memberikan penafsiran brilian atas pesan al-Qur’an ini: “Dan jangan berdebat dengan para pengikut wahyu sebelum al-Qur’an selain dengan cara yang paling baik. Penekanan pada kebaikan dan kebijaksanaan dan, karenanya, pada penggunaan akal saja dalam semua diskusi agama dengan penganut kepercayaan lain sepenuhnya selaras dengan perintah dasar dan kategoris: tidak akan ada paksaan dalam masalah keyakinan.”
“Inilah metode dakwah terbaik dengan menekankan tradisi perdebatan intelektual yang rasional, penuh respek, dan toleran terhadap pengikut agama-agama lain. Perdebatan ini bertujuan dalam rangka mencari kebenaran dengan spirit ketulusan, tanpa diorientasikan untuk melakukan konversi atas keyakinan yang bebas dianut oleh setiap pemeluk agama,” imbuh Sukidi.
Menurut lulusan Harvard University ini, tiga metode dakwah dalam al-Qur’an itu semestinya memberikan inspirasi kepada ‘ulama’ dan umat Islam secara umum untuk mengartikulasi dakwah Islam yang santun, inklusif, dan mencerahkan dalam konteks kebhinekaan Indonesia.
Salah satu ciri utama dari kebhinekaan itu adalah kemajemukan agama dan keyakinan. Karena itu, dakwah Islam perlu diorientasikan untuk memberikan pencerahan publik bahwa kebhinekaan agama dan keyakinan adalah kehendak Tuhan (the will of God) yang harus kita terima, syukuri, dan rayakan sebagai modal sosial-keagamaan kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sukidi mengajak masyarakat untuk bergerak jauh dari toleransi, karena toleransi sendiri, menurut Diana L. Eck di Universitas Harvard, tidak mensyaratkan warga untuk mengenal satu sama lain secara aktif dan, karena itu, menjadi fondasi yang rapuh dalam membangun suatu masyarakat yang plural (Eck, 2001:10).
Menurutnya, yang kita butuhkan untuk membangun masyarakat Indonesia yang majemuk adalah komitmen kita yang tulus dan riil atas kebhinekaan Indonesia. Salah satu wujud komitmen itu adalah pengakuan bahwa kebhinekaan adalah kehendak dan anugerah Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Namun, pengakuan atas kebhinekaan Indonesia saja tidak cukup.
“Kita harus mewujudkan pengakuan yang tulus itu ke arah komitmen nyata (real commitment) atas kebhinekaan dan keterlibatan aktif (active engagement) dalam ikhtiar bersama untuk mewujudkan kebhinekaan Indonesia. Tanpa komitmen nyata dan keterlibatan aktif kita sebagai warga negara, kebhinekaan Indonesia hanya akan menjadi kenangan sejarah belaka dan akan tergerus secara perlahan oleh penetrasi agresif dari ideologi radikalisme yang menuntut negara bersendikan agama. Untuk itulah, kita wujudkan artikulasi dakwah Islam yang santun, inklusif, dan dialogis, jauh dari kebencian, yang akhirnya berkontribusi signifikan terhadap proyek kebhinekaan Indonesia,” tutupnya.
Reporter: Yusuf
Sumber: Kompas, 04 Desember 2020