Review

Suleymanli & Gulen, Wajah Komunitas Muslim yang Akomodatif dengan Nilai Barat

4 Mins read

Pada abad ke-20, minoritas Muslim muncul di Eropa untuk mencari pekerjaan, perlindungan dari konflik dan perang, serta kebutuhan hidup dengan standar ekonomi yang tinggi. Akibatnya, kini ada lebih dari 12 juta Muslim berada di Eropa Barat. Di tengah-tengah gelombang imigrasi ke benua Eropa ini, para imigran yang mayoritas Muslim mau tidak mau harus merespon konteks Eropa, yang mana mereka harus menafsirkan kembali Islam sesuai dengan konteks Eropa.

Oleh karena itu, melalui buku berjudul Localizing Islam in Europe (Turkish Islamic Communities in Germany and the Netherlands) terbitan tahun 2012, Ahmet Yukleyen ingin mengungkapkan sekaligus menggambarkan bagaimana para imigran yang berasal dari Tukri ini dapat beradaptasi di Eropa, khususnya di Jerman dan Belanda.

Suleymanli & Gulen: Muslim Turki di Eropa

Dalam pendahuluan buku ini, Ahmet Yukleyen menjelaskan bentuk-bentuk kehidupan keagamaan yang terorganisir dari para imigran Muslim di Jerman dan Belanda. Melalui penelusurannya, Ahmet Yuklen memberikan sebuah pertanyaan terkait apa keuntungan dan kerugian yang dihadapi umat Muslim dalam menjalankan praktik keagamaan mereka di Eropa?

Pertama, keutungan yang didapatkan para Muslim imigran ini adalah kebebasan beragama. Tidak adanya monopoli yang disponsori negara atas kehidupan keagamaan. Sehingga mereka dapat berkumpul dan bersosialisasi sesama para imigran muslim lainnya. Kedua, memberikan ruang kepada minoritas Muslim untuk menjalankan kehidupan ekonominya secara bebas.

Sedangkan kerugiannya adalah diskriminasi sosial. Hal itu terlihat ketika tuan tanah atau pemilik tanah di Jerman menolak menyewakan tanahnya kepada imigran Muslim Turki. Selain itu, juga masih adanya diskriminasi penggunaan jilbab di tempat kerja. Pada dasarnya Islam telah muncul sebagai agama terbesar kedua di Eropa sebagai akibat dari migrasi tenaga kerja. Eropa sejak dahulu telah mengundang para “pekerja tamu” dari negara-negara Eropa Selatan, seperti Italia, Yunani, Maroko, dan Tuki pada tahun 1960-an.

Baca Juga  Bagaimana Masa Depan Kaum Muda Muslim di Indonesia?

Menurut Ahmet Yukleyen para “pekerja tamu” ini pada awalnya tidak memperdulikan kesadaran beragama. Memang sebagian mereka adalah Muslim, tetapi yang mereka prioritaskan saat itu adalah penghasilan ekonomi yang besar.

Namun, pada tahun 1980-an para “pekerja tamu” memutuskan untuk menetap di Eropa dan mulai membangun kesadaran keagamaan kepada generasi penerus mereka. Para imigran Muslim ini kemudian mulai menggunakan masjid untuk memenuhi ritual dasar mereka. Kemudian, komunitas Islam transnasional, seperti Suleymanli dan Gulen, mulai mengorganisir diri di Eropa pada 1980-an.

Komunitas Islam Turki di Eropa

Munculnya komunitas Islam Turki di Eropa tidak lepas dari upaya komunitas ini mengorganisir berbagai kebutuhan dan kepentingan imigran Muslim Turki di Eropa. Setidaknya terdapat dua otoritas atau komunitas Muslim yang memiliki pengaruh besar, yakni Suleymanli dan Gulen.

Namun keduanya memiliki perbedaan mendasar terkait praktik yang dijalankan di Eropa. Jika Gulen menghadirkan Islam politik dan motivasi spiritual untuk berkontribusi pada masalah sosial dan publik tanpa menentang pemerintah yang sekuler dan demokratis, maka Suleymanli lebih kepada menghadirkan Islam bercorak tasawuf. Mereka mempromosikan kemajuan spiritual pribadi melalui zikir dan tarekat.

Meski memiliki perbedaan dalam hal praktik, tetapi dalam ideologi mereka memiliki kesamaan. Yakni sama-sama Sunni dan mengikuti mazhab Hanafi. Pengikut kedua komunitas ini berasal dari kelas pekerja hingga kelas menengah. Tidak ada penggunaan partai politik dalam wacana keagamaan mereka. Tetapi mereka mendukung partai politik tergantung pada kepentingan masyarakat selama pemilu.

Selain itu, komunitas Gulen lebih berorientasi ke luar, sedangkan Suleymanli lebih ke dalam. Komunitas Gulen lebih banyak terlibat dengan masyarakat Eropa yang lebih luas melalui proyek pendidikan, dialog antar-agama, dan melakukan penerbitan surat kabar harian.

Baca Juga  Peran Filsafat Pendidikan Islam Al-Attas di Indonesia

Sedangkan Suleymanli lebih menjangkau Muslim Turki dan anak-anak melalui kursus Al-Qu’ran di masjid. Mereka fokus untuk mengajarkan cara membaca Al-Qur’an dan prinsip-prinsip Islam ortodoks serta tidak memiliki media surat kabar.

Terlepas dari interpretasi yang berbeda dari komunitas Suleymanli dan Gulen, komunitas ini tetap merupakan komunitas yang memiliki hubungan transnasional. Hubungan transnasional ini menjadi penting untuk melihat bagaimana tradisi pengetahuan beroperasi di tingkat lokal.

Menurut Ahmet Yukleyen komunitas ini secara tidak langsung memiliki otoritas yang mempengaruhi interpretasi keagamaan. Dimana, otoritas keagamaan merupakan kekuataan untuk mendefinisikan “Islam sejati” yang diperebutkan diantara komunitas Islam.

Aktivisme Islam Menafsirkan Kembali Islam dalam Praktik

Berbeda dengan komunitas Suleymanli yang berorientasi ke dalam dan menafsirkan Islam secara statis. Komunitas Gulen lebih moderat dalam menafsirkan wacana keislaman. Komunitas Gulen berkonsentrasi pada dua aktivisme keagamaan; pendidikan dan dialog antar-agama.

Dari dua bidang ini, setidaknya telah melahirkan otoritas keagamaan baru bagi umat Islam dan interpretasi Islam yang universal. Aktivisme keagamaan komunitas Gulen dalam pendidikan telah menjadikan sumber penting otoritas untuk berbicara atas nama Islam.

Selain itu, komunitas Gulen juga sangat aktif dalam kegiatan dialog antar-agama, komunitas ini kerapkali berdialog dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Aktivisme dalam dialog antar-agama diarahkan untuk menghargai keimanan dan tradisi agama lain.

Lebih jauh, aktivisme dialog antar-agama diarahkan untuk menggiring generasi muda untuk menggali ke dalam tradisi Islam untuk memberikan contoh hubungan toleran dengan agama lain. Dengan demikian, konsekuensi tak terduga dari dialog antar-agama adalah perubahan pemahaman pemuda Muslim tentang Islam menjadi lebih toleran dan pluralistik.

Menurut Ahmet Yukleyen Islam sebagai agama memiliki empat unsur, yakni iman, ritual (ibadah), akhlak (etika), dan muamalah (hubungan sosial). Jika komunitas Gulen menekankan hubungan sosial, maka komunitas Suleymanli menekankan ritual.

Baca Juga  Kisah-Kisah Unik Cak Dlahom, Sufi dari Madura

Aktivitas di berbagai bidang ini mempelajari teknik sosial yang berbeda dan strategi untuk melayani kebutuhan umat Islam di Eropa. Dalam proses, mereka menafsirkan kembali sumber-sumber Islam dan membuat mereka tetap relevan sebagai bagian dari masyarakat Eropa.

***

Pengalaman dialog antar-agama telah mengubah pemuda Muslim di komunitas Gulen menjadi penyeru aktif Islam menjadi perwujudan etika Islam, seperti hubungan bertetangga dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan komunitas Suleymanli menekankan teknik ritual zikir untuk menarik batas yang lebih tajam antara orang dalam dan orang luar untuk melanjutkan tradisi mistik mereka.

Perbandingan di antara dua komunitas ini menunjukkan bahwa mereka yang paling sensitif terhadap perubahan kebutuhan umat Islam, seperti pendidikan dan wacana Islam pluralis serta mencapai hubungan baik dengan otoritas negara. Komunitas Gulen juga memiliki keuggulan karena bidangnya yang memberi ketangguhan dan dinamisme untuk menanggapi kebutuhan umat Islam yang berubah.

Buku yang ditulis Ahmet Yukleyen ini, secara langsung telah membantah asumsi bahwa Islam atau praktik keislaman pada dasarnya tidak sesuai dengan konteks Barat yang sekuler. Padahal melalui penelusurannya Ahmet Yukleyen berhasil memperlihatkan bahwa ajaran Islam mampu beradaptasi dengan konteks Eropa. Meski terdapat beberapa perbedaan mengenai setiap komunitas yang menjadi otoritas penafsir Islam, tetapi melalui komunitas Gulen. Praktik Islam di Eropa menjadi lebih relevan,

Judul Buku: Localizing Islam in Europe (Turkish Islamic Communities in Germany and the Netherlands)
Penulis: Ahmet Yukleyen
Penerbit: Syracuse University Press Tahun 2012

Editor: Yahya FR

Dimas Sigit Cahyokusumo
20 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds