Opini

Sultan Agung Mataram, Pewaris Jejak Perjuangan Ulama Betawi

2 Mins read

Sebagaimana kota-kota lain di Nusantara atau Indonesia, Jakarta merupakan tempat yang juga banyak melahirkan para ulama. Para ulama-ulama ini juga telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan Islam di pusat kota, khususnya Jakarta. Selain giat berdakwah dalam menyampaikan pesan-pesan Islam, sejak dahulu ulama-ulama dari Betawi juga ikut berjuang dalam mengusir penjajah sekaligus memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah Jejak Pasukan Mataram di Batavia

Menurut beberapa sumber, sebagaimana dikatakan oleh pakar Sejarah yang juga ketua Lembaga Peradaban Luhur, K.H Rakhmad Zailani Kiki, mengatakan bahwa pergerakan dan perjuangan ulama-ulama Betawi dalam melawan penjajah dan berkaitan dengan Sultan Agung adalah ketika serangan kedua Sultan Agung dari Mataram ke Batavia pada 1629. Setelah serangan ke dua tersebut, sebagian dari pasukan Sultan Agung tidak kembali ke Mataram, namun tetap tinggal di Batavia (Saputra, 2023).

Selain itu, menurut Yahya Saputra, Budayawan Betawi, Tanah Abang dahulu merupakan tanah bukit dan rawa-rawa yang dikelilingi Kali Krukut, oleh bala prajurit Mataram dijadikan sebagai satu diantara basis pertahanan. Karena tanahnya berwarna merah (abang dalam bahasa Jawa), mereka menamakannya Tanah Abang. Selain di Tanah Abang, sebagaimana ditulis dalam buku, “Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara”, karya Joko Darmawan. Persiapan untuk menyerang Batavia yang pertama pada 22 Agustus 1628, yang dipimpin Tumenggung Bahureksa dari Kendal memimpin penyerbuan ke Benteng VOC. Sebanyak 59 perahu mendarat di teluk Jakarta atau di Kampung Marunda Cilincing Jakarta Utara (Handoko, 2021).

Di kampung Marunda Cilincing itu kemudian Tumenggung Bahurekso membangun sebuah masjid Bernama Al-Alam, yang dijadikan tempat menggembleng semangat prajurit sekaligus tempat mengatur serangan. Selain itu, diantara masjid yang dibangun oleh para pangeran dari Mataram Islam yang lain adalah masjid Al-Mansyur di Kampung Sawah, Jakarta Barat. Masjid ini dibangun pada 1717 oleh Abdul Muhit, putra Pangeran Cakrajaya, sepupu Tumenggung Mataram. Di masjid inilah keturunan Mataram melakukan pembinaan mental untuk melawan penjajahan.

Baca Juga  Tradisi Lebaran, dari Sowan Kiai hingga Berbagi Angpao

Warisan Mataram Terhadap Ulama Betawi

Alwi Shihab dalam buku, “Betawi: Queen of the East”, mengatakan bahwa Pangeran Cakrajaya masih terjalin ikatan kekelurgaan dengan seorang Tumenggung Mataram yang ke Batavia untuk terus berusaha melakukan perlawanan terhadap penjajah meskipun jarang menemui keberhasilan. Raden Abdul Muhit anak Pangeran Cakrajaya, sadar bahwa perlawanan secara fisik tidak cukup efektif dalam melawan Belanda. Oleh karena itu, ia mencari jalan lain dengan mendirikan sebuah masjid dan menyampaikan ceramah yang menggelorakan semangat umat Islam untuk menentang penjajah (Raditya, 2017).

Dari Raden Abdul Muhit inilah yang kemudian menurunkan ulama besar Betawi Bernama Guru Muhammad Mansur, Jembatan Lima, Jakarta Barat. Guru Mansur adalah salah satu paku Jakarta di awal abad ke-20 yang lahir pada 1878. Adapun bapak dari Guru Mansur ialah Guru H. Abdul Hamid bin Imam Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Cakrajaya Mataram. Untuk silsilah ini menurut beberapa sumber Pangeran Cakrajaya Nitikusuma IV juga merupakan leluhur dari Syekh Junaid al-Batawi dan Syekh Mujtaba al-Batawi (Redaksi, 2020).

Setelah mengaji di Jakarta, Guru Mansur berangkat haji sekaligus belajar di Makkah dengan sejumlah ulama seperti, Syekh Said al-Yamani, Syekh Mukhtar Atharid al-Bogori, Syekh Umar Sumbawa, dan Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (Kurniawan, 2021). Selain itu, Guru Mansur juga membangun relasi baik dengan sejumlah tokoh seperti, K.H Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Asy’ari, dan Oemar Said Tjkroaminoto.

Semasa hidup Guru mansur dikenal gigih terhadap kebijakan pemerintah kolonial. Suatu ketika pada tahun 1925, saat pemerintah kolonial bermaksud membongkar masjid Cikini. Guru Mansur menjadi motor perjuangan untuk menggagalkan pembongkaran masjid. Atas perjuangannya itu akhirnya masjid Cikini tidak jadi dibongkar.

Baca Juga  Hadir, Quraish Shihab Akan Bahas Perlindungan Anak di Islami Fest 2023

Di lain kesempatan, tepatnya pada tahun 1948, Guru Mansur dengan berani memasang dan menaikkan bendera merah putih di menara masjid Al-Mansur, Jakarta Barat. Atas tindakannya itu, Guru Mansur harus berurusan dengan kepolisian, namun beliau tidak bergeming. Bahkan Belanda menawarkan sejumlah uang untuk beliau. Tetapi beliau menjawab, “Umat Islam tidak mau ditindas. Saya tidak mau ngelonin kebatilan. Rakyat Betawi, rempuglah”. Rempug dalam kosa kata Betawi artinya “kompak”, “bersatu”, atau “berkumpul”. Oleh karena itu, untuk mengobarkan semangat umat Islam, bangsa Indonesia, khususnya Masyarakat Betawi harus kompak dan bersatu (Raditya, 2017).

Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *