Memperingati Hari Kelahiran Pancasila setiap 1 Juni kurang lengkap jika tak mengetahui filosofi setiap silanya, juga termasuk sang Garuda Pancasila. Berbicara mengenai Garuda Pancasila, terlebih dahulu mengenal Sultan Hamid II, sang pencetus lambang negara yang tak begitu populer.
Sultan Hamid II
Dalam ingatan masyarakat luas, Soekarnolah yang dikenal dan dipercaya berjasa sebagai pencetus ideologi Indonesia ini. Bahkan tak sedikit yang percaya bahwa seluruh sila dalam Pancasila adalah hasil buah piker Soekarno. Walaupun ada beberapa literatur yang tidak mendukung bahwa Pancasila ditemukan oleh Soekarno.
Perlu diakui, ide Pancasila memang muncul dari isi pidato Soekarno dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” kata Soekarno di hadapan para pendiri negara Indonesia saat itu.
Dari sinilah peran utama Soekarno bersama tokoh-tokoh BPUPKI dalam kelahiran Pancasila, hingga dirinya dianggap sebagai pencetus pertama Pancasila.
Namun Pancasila bukanlah sebatas nama belaka, pidato Soekarno merupakan sesi akhir sidang perumusan dasar negara yang tak berujung. Ini akibat perdebatan antara beberapa kubu terutama kubu Nasionalis dengan kubu Islam.
Perdebatan itu semakin alot. Hingga sampai hari kemerdekaan tiba, rumusan dasar negara belum benar-benar selesai. Beberapa kompenen pembentuk dasar negara belum rampung dibahas saat itu, salah satunya lambang negara.
Persoalan lambang tidak begitu populer dibanding dengan rumusan dasar negara. Bahkan hampir kebanyakan masyarakat belum tahu siapa pembuat lambang negara dengan Burung Garuda sebagai maskot utamanya.
Sumber umum menyebut Muhamad Yamin sebagai pencetus ide lahirnya lambang negara ini. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, muncul nama seorang Sultan asal Pontianak bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Hamid II.
Sepak Terjang
Sultan Hamid II, merupakan putra sulung dari Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Beliau lahir di Pontianak ,12 Juli 1913 dan tutup usia di Jakarta, pada 30 Maret 1978 di usia 64 tahun. Sebagai Sultan keturunan Arab-Pontianak, beliau memiliki paras yang putih dan tampan, tinggi tegap serta berwibawa. Beliaulah sosok Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila.
Menurut beberapa sumber diketahui bahwa Kesultanan Pontianak memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga secara tidak langsung, Lambang Negara Indonesia ini dirancang oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad.
Sebelum melalui perjalanannya dalam merancang lambang negara, Sultan Hamid II merupakan seorang perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua sejak tahun 1937. Dalam karirnya di dunia militer, pada tanggal 10 Maret 1942, Sultan Hamid II tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. 29 Oktober 1945, beliau diangkat menjadi Sultan Pontianak, menggantikan ayahnya.
Pada tanggal 17 Desember 1949, nama Sultan Hamid II dimasukan ke Kabinet RIS yang dikepalai oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta berdasarkan keputusan Presiden Republik Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949. Beliau menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio dan selama menjabat ia ditugaskan untuk merancang dan merumuskan lambang negara.
Garuda Pancasila
Sejarah perancangan lambang negara dimulai ketika rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada 13 Juli 1945. Saat itu Parada Harahap mengusulkan supaya disamping bendera negara, juga terdapat lambang negara. Usul tersebut disetujui oleh seluruh anggota, namun disepakati akan dibahas tersendiri dikemudian hari.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dibentuklah Panitia Indonesia Raya yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan sekretaris umum Muhammad Yamin yang bertugas untuk merumuskan lambang negara. Namun panitia tersebut belum mampu menyelesaikan tugasnya hingga terjadi peristiwa kudeta pada 3 Juli 1946.
Satu tahun setelahnya, Kementerian Penerangan mengadakan sayembara rancangan lambang negara. Naasnya, partisipan saat itu kurang memahami filosfi sejarah hingga tak satupun rancangan diterima.
Sultan Hamid II kemudian membentuk panitia Lambang Negara yang diketuai oleh Muhammad Yamin dengan sembilan anggota yang bertugas menyeleksi dan kemudian mengajukannya ke pemerintah. Dalam teknisnya, panitia ini juga mengadakan sayembara. Meski demikian, sebenarnya Sultan Hamid II secara pribadi mempersiapkan rancangan lambang negara dengan bentuk dasar burung Garuda yang memegang perisai Pancasila.
Uniknya, ada dua rancangan terbaik yang diterima pada saat itu. Rancangan pertama datang dari Muhammad Yamin, namun ditolak karena terdapat simbol matahari yang identik dengan Jepang.
Berikutnya, rancangan dari Sultan Hamid II; lambang Garuda dengan perisai 5 simbol sila dari Pancasila. Rancangan beliau inilah yang akhirnya diterima oleh pemerintah dan DPR saat itu. Catatan-catatan perjalanan perancangan tersebut kini masih tersimpan rapi di Istana Kadriah yang terletak di Gg. Tj Raya No. 1, Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak, Kalimantan Barat.
Dituduh Makar
Saat berusia 40 tahun, tepatnya pada tanggal 5 April 1950 Sultan Hamid II dituduh terlibat merencanakan penyerangan ke Gedung Pejambon untuk membunuh tiga orang pejabat pertahanan RI. Ia masuk pada daftar orang-orang yang dekat dengan Westerling, pemimpin gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung dan Jakarta pada 23 Januari 1950.
Di dalam persidangan yang dipimpin oleh Jaksa Agung RI, R Soeprapto, Sultan Hamid II menyangkal bahwa keterlibatan dirinya hanyalah skenario penyerangan yang direncanakan oleh Westerling dan Frans Najoan. Dan beliau sendiri telah membatalkan tindakannya itu.
Akhirnya ia dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara, dan sejak itulah Sultan Hamid II kehilangan namanya. Sebagai salah satu tahanan Negara, jasa-jasanya dalam perancang lambang negara Garuda Pancasila menjadi sirna seketika.
Pada tahun 1955, Mahkamah Agung (MA) akhirnya menyatakan bahwa Sultan Hamid II tidak bersalah dan tidak terbukti terlibat dalam aksi Westerling dan pasukan APRA di Bandung.
Pencalonan Pahlawan Nasional
Jasa dan kontribusi Sultan Hamid II merupakan sebuah fakta sejarah yang mesti kita tegakan kebenarannya. Catatan-catatan penting itu harus ditampilkan kembali ke permukaan sebagai salah satu kewajiban sebagai warga negara dan kecintaan terhadap Pancasila.
Tahun 1974, Sultan Hamid II menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara Indonesia kepada Mas Agung (Ketua Yayasan Idayu Jakarta) sebagai salah satu langkah meyakinkan masyarakat.
“Mungkin ini adalah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (Lambang Negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita” ungkapnya saat itu.
Sudah sepatutnya sang perancang lambang Garuda Pancasila ini dijejerkan dengan Perumus Pancasila itu sendiri. Dan semoga Pemerintah segera menetapkan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional dan bisa dipajang di dinding-dinding sekolah agar anak-anak kita bisa melihat sejarah dengan benar.
Editor : Sri/Nabhan