Satpol PP Kabupaten Kuningan melakukan penyegelan terhadap bangunan pasarean atau pemakaman dari Agama leluhur, masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan. Pemakaman yang berada di situs Curug, Goong, Cisantana, Kabupaten Kuningan, disegel oleh garis dengan tulisan “dilarang melintas,”.
Penyegelan tersebut dilakukan karera Sunda Wiwitan belum memiliki izin dari pihak berwenang. Sementara itu kelompok Sunda Wiwitan sejak tanggal 1 Juli 2020, telah mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) ke pihak yang berwenang. Namun ditolak. Sebab peraturan daerah (perda) mengenai IMB belum memiliki Juklak dan Juknis tentang pembangunan.
Bangunan makam yang tersusun dari batu itu dianggap oleh pemerintah dan beberapa kelompok sebagai tugu dari Sunda Wiwitan. Sedangkan kelompok Sunda Wiwitan memercayai bahwa itu adalah makam pangeran Djatikusumah dan istrinya. Mereka merupakan sesepuh dari Sunda Wiwitan. Kemudian tanah yang dijadikan pemakaman tersebut adalah tanah pribadi dari pemeluk Sunda Wiwitan.
Gempuran Intoleransi
Mengutip dari Kompas.com, pada proses penyegelan yang dilakukan oleh Satpol PP Kuningan disaksikan dan dikawal langsung oleh aparatus negara. Di antaranya Polisi, TNI, Pegawai Birokrasi Kabupaten Kuningan, dan bahkan ada kelompok organisasi masyarakat (ormas) lainnya.
Tindakan ini merupakan gempuran intoleransi yang dilakukan secara langsung oleh negara dengan cara yang terstruktur, tidak ada juknis tetapi sudah ada penyegelan. Negara seharusnya melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan dari kelompok manapun, serahkan kepada kelompoknya masing-masing mengenai keyakinan dan perwujudan dari sikap beragamanya.
Negara dalam hal ini tidak mampu melindungi minoritas, malahan negara mendukung upaya represi dari mayoritas untuk menggempur kelompok agama yang kecil. Padahal mereka memiliki hak untuk bebas memilih dan menjalankan agamanya. Penyegelan ini mengasumsikan, bahwa cara tersebut telah berhasil untuk mengeliminasi Sunda Wiwitan dari publik Indonesia ini. Mereka mendefinisikan kelompok agama leluhur dengan paradigma agama dunia dan ortodoksi. Sehingga dari paradigma tersebut membuat mayoritas mendominasi dan yang muncul dari perwujudan paradigm itu adalah pelintiran kebencian.
Pemerintah tidak pernah melarang membangun masjid, pemakaman dari agama mayoritas, gereja yang atapnya menjulang tinggi, dan situs lainnya dari agama yang dominan di Indonesia. Hal berbeda justru dirasakan oleh Sunda Wiwitan dan agama leluhur lainnya—Badui, Sapta Dharma, Amatoa, dan sejenisnya. Tindakan tersebut juga menggambarkan kegagalan negara dalam melayani warga negaranya untuk memiliki akses dalam pelayanan publik, salah satunya pelarangan untuk membangun makam.
Mempertahankan Keberlanjutan
Bukan hanya sekarang, sejak lama Sunda Wiwitan dan agama leluhur lainnya di Indonesia telah mengalami perlakuan intoleran. Pasca kemerdekaan, pemerintah telah melembagakan agama dengan mengikuti definisi agama dunia sebagai parameter agama di Indonesia. Hal ini kemudian telah mendominasi dan menjadi hegemoni.
Ada enam agama dunia yang telah terlembaga (Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu). Kemudian negara menjadikan Islam sebagai prototipe; harus memiliki Tuhan yang maha esa, nabi, kitab suci, dan pemeluknya lintas bangsa (Samsul Maarif, 2017).
Sunda Wiwitan sebagai salah satu agama leluhur tidak masuk dalam kategori agama, karena prototipe tersebut. Selain itu, para pemeluk agama leluhur ini pun pernah dikomunisasi, yakni dituduh sebagai komunis pada tahun 1970-an. Pada tahun yang sama terjadi pula budayanisasi agama leluhur, sehingga agama leluhur tersebut hanya dianggap sebagai budaya yang ada di Indonesia (Samsul Maarif, 2017). Diskriminasi terus berlanjut hingga sekarang, sebagaimana yang dialami oleh Sunda Wiwitan baru-baru ini.
Pendefinisian yang dibuat oleh negara tersebut saling berkaitan dan berkelindan dengan tindakan intoleransi yang terus dialami oleh para agama leluhur. Kalaupun bukan negara yang melakukan tindakan intoleransi secara langsung, ada ormas yang tidak tanggung-tanggung melakukan kriminalisasi dan diskriminasi.
Para pemeluk agama leluhur terus diawasi; hak asasi mereka dilanggar; tidak ada jaminan bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi mereka. Untuk mempertahankan keberlanjutan dari nasib agama leluhur, termasuk Sunda Wiwitan, mereka mempunyai 3 strategi, yakni konversi, sinkretisme, dan resistensi (Samsul Maarif, 2017).
Pertama, konversi yang merupakan perpindahan yang dilakukan oleh pemeluk agama leluhur ke agama-agama dunia yang telah terlembaga, resmi, dan mendominasi. Hal ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama yang terdapat dalam pasal 1. Posisi negara melalui segala aturannya memaksa para penganut agama leluhur untuk pindah ke salah satu agama dari enam agama yang diakui, yaitu Islam, Katolik, Hindu, Budha, Protestan, dan Konghucu.
Berbenturan dengan HAM
Konversi tersebut dilakukan demi bisa mengakses keperluan publk. Kendati demikian, diranah privat mereka menjalankan kehidupan sebagai agama leluhur. Sunda Wiwitan pun tidak terlepas dari konversi ini. Kedua, sinkretisme, yaitu mengasumsikan bahwa agama seperti Islam,Kristen, dan lainnya itu sebagai agama yang murni (Samsul Maarif, 2017). Sehingga ada dikotomi dengan agama leluhur.
Sinkretisme ini dipakai sebagai kacamata untuk menjelaskan seseorang atau kelompok yang menyatakan diri sebagai pengikut Islam misalnya, dan pada saat yang sama menyatakan diri sebagai penganut agama leluhur. Meski Sunda Wiwitan tidak mengalami hal demikian, akan tetapi beberapa agama leluhur memilih sinkretisme untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan para pemeluknya.
Sebagai contoh ada lslam Kejawen, Islam Ammatoa, Islam Aboge, Islam Wetu Telu, dan sebagainya. Mereka menegaskan diri sebagai muslim yang sebenarnya. Bangga dan sungguh-sungguh dengan penegasannya, tetapi juga sadar akan perbedaan keberislamannya dengan Islam yang diklaim “murni”, puritan, atau berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (Samsul Maarif, 2017).
Ketiga, ada resistensi, yakni bentuk afiliasi agama leluhur ke agama dunia, namun disaat yang sama terjadi beberapa benturan, seperti agama merapu yang berada di NTT. Komunitas ini berafiliasi ke Kristen, tetapi mereka seringkali mempertentangkan agama leluhurnya dengan Kristen. Mereka bahkan senantiasa menegaskan superioritas agama leluhur mereka atas Kristen.
Bukan Kristen atau kitab suci Bibel yang ditentang, tetapi interpretasi terhadapnya yang melandaskan pada agama leluhurnya. Ada juga komunitas Mapurando, yang mempertahankan agama mereka di bawah bayang-bayang Islam, tetapi di sisi lain terjadi benturan dengan Islam.
Masih banyak lagi cara mempertahankan diri yang dilakukan oleh agama leluhur. Perlakuan negara yang intoleran dan berbenturan dengan HAM memaksa pemeluk agama leluhur untuk terus memperjuangkan nasib mereka. Walaupun secara inheren sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak, kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan harus dilindungi oleh negara.
Editor: Nirwansyah