Sunni dan Syiah adalah dua aliran besar dalam dunia Islam. Konflik di antara keduanaya seakan tak pernah habis dibahas sejak masa sahabat hingga masa modern ini. Lalu bagaimana dengan kondisinya di Indonesia? Apakah bisa terjadi integrasi antara keduanya? Terlebih bila didukung dengan Indonesia yang bangga dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Fragmentasi Sunni-Syiah
Skisma antara Sunni-Syiah pada dasarnya dilatarbelakangi oleh konflik politik terkait persoalan kepemimpinan yang melibatkan para sahabat Nabi. Konflik ini kemudian menjadi permasalahan teologis yang berkepanjangan dan berujung pada masalah pengkafiran. Memang faktanya, bibit perpecahan antara sahabat sudah tampak sesaat setelah Nabi wafat.
Belum juga Rasulullah dikebumikan, di Saqifah Bani Saidah, telah terjadi perdebatan yang sangat alot dan panjang antara sahabat yang berasal dari kaum Ansor dan Muhajirin. Perdebatan tersebut terkait tentang siapa figur yang tepat melanjutkan estafet kepemimpinan kaum muslim.
Setelah melalui proses yang cukup menguras energi, Abu Bakar berhasil terpilih sebagai khalifah. Sementara itu, ketika pertemuan di Saqifah Bani Saidah berlangsung, para keluarga Nabi dan beberapa sahabat lainnya sedang sibuk mengurusi jenazah Nabi.
Pasca pemakaman Nabi, para keluarga Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Fatimah Azzahra, Hasan dan Husein, serta Abbas bin Abdul Muthalib selaku paman Nabi menolak untuk berbaiat pada Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib baru berbaiat pada Abu Bakar setelah enam bulan, tepatnya setelah istrinya, Fatimah wafat.
Konflik antara para sahabat Nabi makin meruncing pasca kematian Usman. Muawiyah menuntut agar khalifah Ali bin Abi Thalib mencari tahu pembunuh Usman. Namun, permintaan Muawiyah tak kunjung dipenuhi oleh Ali.
Hubungan antara Muawiyah dengan Ali menjadi semakin buruk setelah Muawiyah menuduh Ali ikut terlibat dalam pembunuhan Usman. Akhirnya, duel antara Ali dan Muawiyah dalam perang Shiffin menjadi tak terhindarkan, yang berujung pada perpecahan dan konflik berkepanjangan yang dampaknya masih terasa hingga sekarang.
Fragmentasi antara Sunni dan Syiah dewasa ini, tak dapat dilepaskan dari adanya perseteruan antara dua blok besar di Timur Tengah yang menjadi penyokong dua aliran besar ini. Keduanya yaitu Arab Saudi yang menyokong wahabisme dan dikenal anti terhadap Syiah dan Iran yang menyokong Syiah dan anti terhadap wahabisme.
Sunni-Syiah di Indonesia
Pada zaman Orde Baru, pemerintahan rezim cenderung mewaspadai kehadiran ajaran Syiah karena dikhawatirkan efek Revolusi Iran dapat menjalar ke Indonesia, sehingga mengganggu jalannya stabilitas nasional.
Oleh karenanya, pemerintah Orde Baru mengawasi dengan ketat seluruh pihak yang memiliki keterkaitan dengan Syiah. Rezim menggunakan aparatnya, yang salah satunya adalah MUI untuk mengawasi jalannya dakwah Syiah sekaligus untuk memberikan informasi pada publik tentang bahaya ajaran Syiah.
Tahun 1984, MUI mengadakan pertemuan nasional tahunan. Pertemuan tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi yang menekankan adanya perbedaan tajam antara Sunni dan Syiah.
Hasil rekomendasi yang dikeluarkan MUI tersebut merupakan bentuk peringatan dan kewaspadaan kaum Sunni atau Ahlu Sunnah wal Jamaah terhadap kemungkinan masuknya paham atau ajaran Syiah.
Sikap represif terhadap Syiah pun mulai ditunjukkan oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia. Selain dengan kajian, seminar, penerbitan buku tentang anti ajaran Syiah, tak jarang tindak kekerasan turut dilakukan. Padahal Syiah merupakan salah satu aliran teologis minoritas di Indonesia dan kerap menerima perlakuan diskriminatif.
Yang paling terkahir kita tahu ialah insiden pengeroyokan acara Midodareni (do’a bersama menjelang pernikahan dalam adat Jawa) oleh sekelompok oknum intoleran, yang diduga acara tersebut berbau Syiah.
Tindakan konfrontatif sampai menimbulkan kekerasan tidak dapat dibenarkan, baik secara agama maupun kemanusiaan. Jika kita bisa toleran terhadap penganut agama lain, mengapa kita harusberingas terhadap keyakinan di lain aliran?
Konon, konflik berdarah dalam perang Jamal dan perang Shiffin telah menewaskan sekitar 6.000 jiwa. Luka lama yang pernah dialami kaum muslimin ketika itu cukup menjadi pelajaran bagi bangsa ini. Umar bin Abdul Aziz merupakan khalifah Bani Umayyah yang berhasil mengakhiri politisasi mimbar yang sejak lama tak lepas dari cacian terhadap Ali di setiap khutbah.
Sikap Moderat Sebagai Watak
Hingga zaman modern ini, konflik Sunni-Syiah di tanah Arab turut serta meracuni peradaban. negara di Jazirah Arab. Yang kita tahu di sana selalu penuh konflik mulai di zaman pasca Nabi hingga di zaman sekarang.
Memburuknya hubungan Sunni dan Syiah tak lepas dari kondisi geo-politik di Timur Tengah yang diakibatkan terjadinya fenomena Arab Spring di tahun 2011. Fenomena ini pada awalnya terjadi di Tunisia dan kemudian melaju dengan cepat ke Libya, Mesir, dan Suriah. Arab Spring berujung kebuntuan di Libya dan Suriah yang berakibat pada terjadinya perang sipil.
Umat Islam di Indonesia harus bertekad menjadikan sikap moderatnya sebagai watak. Menurut Buya Syafii Maarif, akan sangat bodoh bila umat Islam Indonesia mengimpor paham Islam yang selalu mengobarkan konflik dan perpecahan. Sedangkan Gus Ulil Abshar Abdalla mengatakan Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah yang bisa meninggalkan perpecahan umat akibat politik.
Dengan modal populasi umat Islam yang besar, tentu jika mau, konsep al-Hujurat ayat 13 akan mudah diterapkan. Terlebih, kita mempunyai Pancasila dan juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perdebatan berebut kebenaran ajaran sudah sangat melelahkan dan hanya berujung pada pengkafiran satu sama lain.
Keluar dari kubangan konflik Sunni-Syiah dapat menjadi solusi yang perlu proses dan waktu yang panjang dalam mengintegrasikan Sunni-Syiah di Indonesia. Sekali lagi, bukan masalah Sunni-Syiahnya, namun lebih kepada harmonisasi dan tolerannya, dan itulah titik tekannya. Mari kita renungkan dan pikirkan bersama!
Editor: Rifqy N.A./Nabhan