Review

Syafi’i Ma’arif dan Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan

4 Mins read

Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, masalah kontemporer muslim yang paling serius adalah ketidaksadaran bahwa mereka sedang dipenjara dan bahwa justru kerangka pikir dan tindakan mereka sendiri yang terus memelihara kondisi demikian. Dalam tulisannya, Pendidikan Islam sebagai Paradigma Pembebasan (1991), ia mengulas mendetail terkait persoalan ini.

Sama halnya dengan kebanyakan sarjana muslim, Syafi’i mengamati bahwa masyarakat Islam telah sejak lama mengalami kegersangan intelektual. Belum ada inovasi atau karya muslim yang otentik yang berpengaruh sejak zaman keemasan.

Sejurus dengan itu, pendidikan Islam telah menjadi sekedar proyek lapuk internalisasi penerimaan umat pada kondisi mereka. Diajarkan bahwa keterbelakangan adalah sekedar hasil dari kurangnya keberimanan ketimbang karena marginalisasi umat atas nalar kritis yang dulu sangat diapresiasi.

Belum lagi keruntuhan lembaga-lembaga negara Islam di beberapa abad yang lalu memberi dampak yang luar biasa pada mentalitas Muslim. Jauh dalam ketidaksadaran mereka tumbuh mengakar rasa inferior dan tidak percaya diri disamping kemarahan dan keterputusasaan yang membuncah.

Akibatnya Muslim terbelah dalam dua golongan dengan sikap ekstrim. Kelompok pertama mengutuk modernitas, menarik diri darinya dan bekerja keras mempertahankan tradisi lama. Kelompok lainnya mengambil sistem atau manajemen dari Barat sembari menumpuk segudang muatan pelajaran baru dalam kurikulum dengan harapan akan hasil luar biasa.

Meskipun memiliki sikap berbeda, bagi Syafii, mereka sama belaka. Mereka sama-sama meneguhkan pandangan dikotomis antara sains dan agama. Keduanya tidak dilihat sebagai yang hakikatnya satu, dan berasal dari yang maha satu. Sebaliknya, keduanya dilihat sebagai kontradiksi antara yang sakral dan yang artifisial, yang senantiasa berusaha saling mendominasi.

Dampaknya betul-betul kronis. Mayoritas muslim tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya ‘pecah’. Mereka alim ketika berdiri di mimbar, namun seketika jadi maling di pasar dan kantor pemerintahan. Demikian itu bisa kita amati hari ini: betapa banyak intelektual muslim yang shaleh di halaman muka, namun di belakang tak segan menilap uang saudara seiman.

Baca Juga  Syair Yatim Mustafa: Romansa Penuh Intrik dan Drama

Syafi’i Ma’arif Memandang Masalah Falsafah Pendidikan

Syafi’i Ma’arif akhirnya menyimpulkan bahwa masalah dasar peradaban Islam hari ini berakar pada falsafah pendidikannya. Bahwa muslim tidak memiliki seperangkat nilai-nilai atau meta-teori pendidikan yang integral yang mampu merespon tantangan multidimensional yang sedang mereka hadapi.

Kemajuan pesat sains-teknologi yang diluar ekspektasi, kontrol ekonomi-politik oleh negara mantan imperial, dan kenyataan pluralitas masyarakat menjadi momok bagi muslim terdidik. Ketimbang hadir dan turut berkontribusi dalam menyelesaikan isu-isu itu, muslim masih berkutat pada pertanyaan apakah masalah itu nyata dan relevan bagi mereka.

Sampai disini timbul pertanyaan dari Syafi’i: apakah kuantitas muslim di dunia menjadi kunci sejarah atau malah jadi beban sejarah? Sebab, kuantitas tanpa diimbangi dengan kualitas adalah percuma dan bahkan berbahaya.

Bagi Syafi’i hal itu terjadi karena falsafah pendidikan muslim mematikan otonomi dan kesadaran. Falsafah itu tidak mengajarkan kepada para muslim bahwa mereka memiliki kemampuan untuk berpikir sendiri dan bahwa pikiran mereka sama berharganya.

Kelas-kelas hanya menjadi ruangan untuk menelan, menghafal dan mengulangi segala informasi yang diperoleh. Pikiran muslim menjadi tumpul dan pengetahuan mereka seluruhnya palsu. Sebabnya, kesadaran dan pengetahuan itu bukan berpijak pada kenyataan, namun pada mitos-mitos yang dituliskan di papan dan disalin dalam buku catatan.

Kesimpulan Syafi’i bahwa praksis pendidikan yang ada menyebabkan manusia terpenjara dalam dua hal; dikotomi sains-agama dan pemandulan kesadaran. Dipandangnya bahwa diperlukan suatu falsafah pendidikan alternatif yang berparadigma pembebasan sebagai penawar.

Pendidikan Islam Berparadigma Pembebasan

Syafi’i Ma’arif setuju dengan konsep yang ditawarkan Paulo Freire, sang profesor pedagogi kritis dari Brazil itu. Pendidikan seharusnya bekerja sebagai ruang dialogis dan apresiatif bagi kesadaran manusia. Ketimbang menjadi tempat dimana pengetahuan sekedar direplikasi, kelas-kelas semestinya bertindak sebagai ruang reproduksi pengetahuan.

Baca Juga  Memotret Sisi Menarik dari Islam Desa dan Islam Kota

Konsekuensinya, peran siswa bukan sekedar konsumen. Mereka bertransformasi menjadi seorang ilmuwan yang menciptakan pengetahuan itu sendiri melalui pemaknaan mandiri. Mereka melibatkan seluruh indra, rasa dan pengalaman ke dalam verifikasi dan akomodasi pengetahuan baru dalam struktur kesadaran.

Pendidikan yang mengaktivasi individualitas dan partisipasi akan membuat siswa-siswa memiliki kepekaan akan kondisi sosial karena kapasitas kesadaran mereka telah dipulihkan dan dikembangkan. Mereka tidak lagi jadi mesin-mesin yang bekerja memenuhi instruksi algoritma, melainkan manusia yang membuat keputusan sadar.

Mereka tahu bahwa kehidupan adalah pilihan-pilihan, bukan keniscayaan. Kuncinya adalah pada mereka dalam menyikapi pilihan-pilihan itu, bukan menerima dengan penuh kepasrahan.

Selanjutnya, pendidikan yang membebaskan akan mengungkap realitas sebagaimana apa adanya. Sebab, siswa secara langsung berdialog dengan realitas melalui kesadaran mereka sendiri.

Tidak lagi mereka diperantarai oleh pikiran-pikiran para penabung pengetahuan yang kerap menyembunyikan sebagian atau seluruh fakta. Keputusan mereka adalah keputusan tepat yang terukur, yang proporsional sesuai porsi masalah yang dihadapinya.

Berlangsungnya kelas-kelas liberatif menciptakan iklim demokrasi yang sejati. Siswa-siswa tidak lagi hanya menjadi objek politik yang dicekoki dengan legenda kealiman dan kepakaran palsu. Mereka menjadi subjek yang terlibat aktif dalam mendefinisikan kebijakan.

Kenaifan sebagai ciri utama masyarakat yang terdidik secara opresif akan segera menguap. Ketimbang menjadi lugu, bodoh atau tidak masuk akal karena kenaifan itu, siswa-siswa bertransformasi menjadi pribadi yang kritis, berwawasan dan rasional dalam menjumpai kehidupan.

Pendidikan sebagai Pemulihan Transendentalitas-Sosial

Puncaknya bahwa pendidikan berparadigma pembebasan akan menghancurkan persepsi keliru yang membentuk pandangan alam materialistik muslim. Realitas dipahami tidak hanya disusun oleh yang fisik, yang dapat ditangkap indra, namun juga hal-hal metafisik dan abstrak.

Baca Juga  Darurat Pendidikan Indonesia, Haedar Nashir Soroti Tiga Hal

Karenanya, muslim yang ‘terbebaskan’ semakin meyakini keberadaan Tuhan dan menerjemahkan pesan-pesan-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Ia akan menyatakan bahwa menjadi shaleh berarti konsisten dalam menjalankan kehendak Tuhan dalam setiap perbuatan dan di segala tempat.

Pendidikan yang membebaskan juga melahirkan kesadaran bahwa setiap manusia adalah subjek, yang setara dengan Tuhan selaku satu-satunya yang berhak berada di struktur yang lebih tinggi. Tidak boleh ada yang lain yang mengaku diri sebagai Tuhan dan menindas yang lain.

Jika menemukan tuhan-tuhan palsu itu, muslim yang terbebaskan akan segera keluar dari kelas, bergerak bersama massa dan melawan penindasan. Bagi mereka ketidakadilan sosial harus dilawan tidak hanya dalam teori dan orasi, namun juga dalam aksi yang berani.

Demikianlah, pendidikan Islam berparadigma pembebasan menjadi jalan untuk membangun ulang peradaban emas Islam. Sebuah peradaban yang telah lama terkubur di balik arogansi, kedunguan dan keengganan untuk tampil menjadi muslim penggerak zaman.

Bukankah yang demikian itu selaras dengan sabda-Nya, bahwa tidak akan diubah keadaan suatu kaum (muslim), kecuali atas karsa kaum itu sendiri? Maka hanya paradigma pendidikan yang mempersenjatai kita dengan kesadaran akan kemampuan transformasi itu–sebagaimana yang telah kami uraikan secara singkat disini–yang berpotensi untuk menjawabnya.

Editor: Nabhan

Avatar
31 posts

About author
Dosen Fakultas Psikologi UMM dan Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds