Perspektif

Syahrut Tarbiyah: Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan

3 Mins read

Kendati bangsa ini mengalami kemajuan di berbagai bidang kehidupan, kenyataan getir haruslah tetap diakui. Negeri ini sesungguhnya masih diliputi beragam patologi sosial yang menggerogoti sendi-sendi masyarakat. Nyaris setiap hari, kita disuguhi berita kelam tentang tingginya angka kriminalitas, korupsi yang merajalela, kemiskinan yang terus menjerat, serta berbagai konflik sosial yang mencerminkan suasana kebangsaan.

Di tengah berbagai tantangan tersebut, Ramadhan datang sebagai ruang pembelajaran yang mendalam. Ia bukan sekadar ritual tahunan belaka, namun juga madrasah kehidupan yang menanamkan nilai-nilai luhur bagi manusia. Sebab itulah, dalam ajaran agama, Ramadhan dikenal sebagai bulan pendidikan (syahrut tarbiyah).

Ramadhan sebagai Bulan Pendidikan

Berbagai nama dan istilah dilekatkan pada bulan Ramadhan, salah satunya adalah Ramadhan sebagai bulan pendidikan (syahrut tarbiyah). Ramadhan disebut bulan pendidikan sebab pada bulan inilah umat Islam mendapatkan pendidikan secara langsung  dari Allah SWT (Hasbhallah, 2013). Dalam hal ini, Allah bertindak sebagai “murabbi” yang secara langsung mendidik hambanya untuk menjadi insan yang bertakwa melalui perintahnya dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah ayat 183.

Tujuan utama dari pendidikan Ramadhan ialah tercapainya derajat taqwa melalui transformasi spiritual dan moral setiap Muslim. Proses transformasi tersebut dilalui bukanlah sekadar dengan menahan lapar, haus, dan kebutuhan seksual belaka, namun juga lewat proses pembentukan kesadaran diri, karakter, dan tanggung jawab sosial yang lebih tinggi.

Insan manusia yang hendak dilahirkan oleh pendidikan Ramadhan ialah manusia paripurna yang bukan hanya beriman, namun juga bertakwa yang tercermin dalam pola pikir, sikap, dan perilaku sehari-hari. Segala rupa ritual dan ibadah Ramadhan menjadi momentum penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dari berbagai dosa dan sifat-sifat tercela yang kerap menggerogoti manusia.

Baca Juga  Logika Pendidikan dan Kasus Menutup Sekolah

Proses pendidikan Ramadhan mencakup tiga dimensi yang integral: pendidikan jasmani (tarbiyah jasadiyah), pendidikan intelektual (tarbiyah fikriyah), dan pendidikan hati (tarbiyah qalbiyah). Melalui pendidikan jasamani, muslim diharapkan tumbuh sebagai manusia yang sehat dan kuat. Pendidikan intelektual mendorong kualitas berpikir ummat Islam melalui proses refleksi dan tadabbur Al-Qur’an. Sementara pendidikan hati memungkinkan tumbuhnya pribadi muslim yang tulus, ikhlas, dan memiliki kedekatan spiritual dengan Allah—yang tergambar dalam karakter moral dan perilaku sehari-hari.

Kualitas fisik, intelektual dan ruhani itu seyogianya berjalan selaras dan seiring. Ketiganya saling terkait satu sama lain membentuk keseimbangan dalam jati diri manusia. Inilah yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk yang lain.

Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu

Ramadhan juga kerap disebut sebagai bulan Al-Qur’an (syahrul qur’an), sebab pada bulan inilah kitab suci Al-Qur’an pertama kali diturunkan. Dalam bulan penuh keberkahan ini, setiap muslim dianjurkan untuk tidak hanya membaca, melainkan juga mengkaji kandungannya serta menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam, Al-Qur’an telah teruji sebagai sumber utama yang telah menginspirasi gerakan umat Islam di sepanjang abad keberadannya (Hanafi, 1989). Dalam pespektif ilmu pengetahuan, keberadaan Al-Qur’an bukanlah sekadar sebagai teks keagamaan belaka, melainkan juga sumber ilmu yang mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk etika, hukum, sains dan sosial. Sebangun dengan pandangan ini, Quraish Shihab (2000) menandaskan bahwa keberadaan Al-Qur’an menjadi faktor signifikan bagi kemajuan umat manusia

Sebagai sebuah objek kajian ilmu pengetahuan, kajian terhadap Al-Qur’an menuntut pendekatan yang kontekstual, bukan hanya tekstual. Dengan demikian, pemahaman terhadap wahyu Al-Qur’an tidak hanya berhenti pada aspek literal belaka, melainkan juga proses penggalian hikmah dengan merelevansikan dengan kehidupan dan perkembangan zaman.

Baca Juga  Gangguan Depresi Mayor: Kesehatan Mental itu Bukan Mitos!

Di titik inilah, Ramadhan menjadi momentum refektif bagi umat Islam untuk semakin mendekatkan diri pada Al-Qur’an. Sebangun dengan fungsi Ramadhan sebagai bulan pendidikan, Al-Qur’an hadir sebagi modul bagi umat Islam. Modul yang tidak hanya berfungsi sekadar bacaan, melainkan juga sebagai panduan hidup yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.

Meramadhan-kan Kehidupan

Kualitas Ramadhan jelas tidak muncul seketika, melainkan teruji seteleh sebulan berlalu. Alumni Ramadhan dapat dilihat dari beberapa kualitas diri: Pertama, alumni Ramadhan sejati adalah pribadi yang meningkat ketakwaannya, ditandai dengan hati yang selalu terpaut dengan Allah Swt. Bagi pribadi semacam ini, kehidupan bukanlah lagi soal mencari kehormatan dan pengakuan manusia, lebih dari itu, ia menghadapkan segala perhatian dan rasa cintanya semata-mata kepada Allah Swt.

Kedua, alumni sejati dari pendidikan bulan Ramadhan adalah manusia yang memiliki perilaku arif dan bijaksana yang tercermin melalui pengendalian diri, kesabaran yang dalam, serta keteguhan hati dalam menjaga moralitas dan etika. Bulan suci Ramadhan telah melatih dirinya untuk bersikap tenang dalam ujian, menjaga kata dari ucapan yang sia-sia, serta memperkuat komitmen terhadap kebaikan.

Ketiga, memiliki empati dan kepedulian sosial yang tinggi. Mereka yang ditempa bulan suci Ramadhan seharusnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama. Ia mampu merasakan kedukaan orang lain dan selalu terpanggil menyelesaikan masalah orang lain. Para alumni Ramadhan yang sejati akan mengalami transformasi batin yang sedemikian dalam, sebab Ramadhan menempa dirinya untuk peka terhadap realias sosial di sekitarnya.

Pada akhirnya, alumni Ramadhan yang sejati tumbuh sebagai manusia baru, ia yang tidak lagi menjadi nafsu duniawi. Menyitir ungkapan Haedar Nashir (2023), pribadi yang muncul sebagai manusia baru ialah sosok yang mampu menaklukkan berhala nafsunya lalu naik ke tingkat tertinggi menjadi nafsul mutma’inah ditandai dengan penghidmatan hidupnya di jalan kebajikan utama yang menebar rahmat ke semesta.

Baca Juga  Radikalisme Agama: Surplus Kajian Normatif, Defisit Kajian Historis

Editor: Soleh

Avatar
7 posts

About author
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY
Articles
Related posts
Perspektif

Zoroaster: Agama Samawi dan Ahlul Kitab yang Terlupakan

5 Mins read
Zoroaster atau Zoroastrianisme adalah agama yang dipraktikan oleh bangsa Persia sebelum Islam masuk ke daerah tersebut. Zoroastrianisme dinamakan demikian karena pengikutnya menganggap…
Perspektif

Baitul Al-Maqdisi: Tanah yang Dijaga Allah

2 Mins read
Beberapa waktu yang lalu, saya diminta oleh salah satu senior saya di Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Tarjih), Gus…
Perspektif

Kartini Bukan Tentang Kebaya, Tapi Tentang Cara Kita Berpikir

2 Mins read
Di tengah riuh peringatan Hari Kartini setiap tahunnya, kita seringkali terjebak dalam perayaan yang bersifat seremonial. Kebaya, lomba fashion show, dan pidato-pidato…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *