Taat kepada Allah—Bila bulan Syawal (Idul Fitri) menjadi momentum untuk melebur maaf dan itikad baik mewujudkan perilaku sholeh(ah), maka sejatinya hal itu bisa termanifestasikan melalui sikap saling menghormati suami-istri, kasih sayang pada anak, dan penghapusan kebiasaan buruk KDRT pada keluarga. Karena inilah makna kemenangan sesungguhnya bagi semua orang. Utamanya bagi perempuan. Atau mereka yang sedang bertahan dalam rumah tangga minim cinta kasih.
Pasca Syawal, sejatinya 11 bulan selanjutnya harus menjadi cara untuk mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena sudah berhasil mewujudkan kemenangan Idul Fitri (kembali bersih).
Akan tetapi, tatkala Syawal masih bersama kita, dalam banyak diskusi webinar justru sebaliknya. Muncul tanda-tanda hilangnya kemenangan bagi perempuan. Perlakuan KDRT merajalela, pun anak-anak tak lepas dari hempasan kemarahan, pemukulan, kata-kata kasar dari ayah atau ibu mereka yang bertengkar (diskusi KPPPA 10/06/2020). Salah satu alasan munculnya KDRT karena asumsi ketidaktaatan istri pada suami (diskusi JIB 30/05/2020).
Konsep Taat
Taat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ‘senantiasa tunduk (kepada Tuhan, pemerintah, dan sebagainya); patuh; dan tidak berlaku curang; setia; saleh; kuat beribadah. Berdasarkan arti di atas, kata taat jelas menunjukkan adanya relasi kuat dengan sang pencipta, Tuhan, Allah SWT. Sehingga orang yang taat adalah orang-orang yang tunduk, patuh, rajin beribadah, dan tidak ada kecurangan dalam menjalankan ibadahnya itu.
Islam mengenal ketaatan dengan wujud kepatuhan hanya kepada Allah SWT dan Rasulullah. Misalnya “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An-Nuur:54).
Atau ”Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisaa: 80).
Artinya, ketaatan itu, mengharuskan manusia untuk tidak berpaling dari Allah SWT dan Rasulullah. Sekalipun dalam situasi korona seperti saat ini. Janganlah berputus asa, ketaatan menjadi luntur, dan berpaling pada makhluk lain, tidak percaya pada Allah Ta’ala. Taat senantiasa beriringan dengan tauhid, sebagai wujud percaya dan mengesakan Allah, termasuk juga tidak menyekutukan dengan siapapun dan makhluk apapun di bumi ini.
Prinsip Tauhid
Tauhid dan mengesakan Allah sebagaimana termuat dalam QS Ali Imran[3]:1-24 tentang dimensi dan ikrar tauhid. Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 3, menarasikan tentang menetapkan keesaan Allah dan kesatuan pengurusan alam semesta (tauhidul-uluhiyyah wal-qawaamah) dan kesatuan kitab dan risalah ayat-ayat/firma Allah (tauhidul-kitab war-risalah).
Lebih lanjut, Sayyid Quthb mengingatkan kecenderungan dan dorongan fitrah pada laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun harta benda menyebabkan kemusyrikan, penyelewengan perintah Allah, dan tenggelam dari kesenangan duniawi.
Selanjutnya dalam jilid 4 tentang prinsip-prisip akhlak yang luhur dijelaskan bahwa sistem dan peraturan Islam terfokus pada uluhiyah, hanya Allah sebagai sentral, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk tunduk, taat, patuh kepada hamba-hamba-Nya yang lain.
Sebagaimana juga makna kalimat syahadat, sebuah kesaksian Allah itu satu dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Ibnu Katsir dalam Tafsir Juz ‘Amma, menjelaskan makna tafsir QS al-Ikhlas:1-4 tentang keesaan Allah. Bahkan termasuk surat favorit Nabi dan membacanya dalam shalat seperti menyelesaikan sepertiga isu al-Qur’an.
Haruskah Taat pada Suami?
Akan tetapi, patriarkhi, konservatisme agama, dan pemimpin agama yang korup dengan melegitimasi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis demi kepentingan tertentu Berdalih ketaatan juga harus dilakukan istri kepada suaminya. Alasannya, suami sudah menafkahi keluarga dan karena akal istri (perempuan) setengah dari suami (laki-laki). Sehingga mereka harus dilindungi sebagai makhluk lemah.
Dalam wujud praktis, itu semua diwujudkan misalnya dengan melayani suami, anak-anak, dan mengurus rumah tangga. Termasuk ketaatan istri, tidak boleh menolak ajakan suami berhubungan seksual. Jika menolak, maka malaikat akan melaknat sampai pagi.
Di sisi lain, dalam situasi korona ketika suami menjalani masa karantina 14 hari. Istri tidak punya daya dan kuasa menolak hubungan seksual tersebut. Selain takut dilaknat malaikat, istri juga takut mendapatkan KDRT berupa pemukulan atau kekerasan seksual atau perkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Situasi ini menunjukkan ‘taat’ yang harusnya hanya kepada Allah, namun dengan legitimasi agama yang dilakukan tokoh agama yang korup, mengatasnamakan ‘ketaatan’ adalah wujud patuh istri pada suami sebagaimana disampaikan pemimpin agama.
Ketaatan yang Direduksi
Makna taat yang telah direduksi ini kiranya berpotensi menjauhkan definisi taat hanya kapada Allah semata berganti taat pada manusia. Apalagi bila ‘taat’ itu menjadikan istri takut pada suami dan menjadi cara pembenar suami melakukan KDRT pada istri yang dianggap tidak taat.
Padahal jika seorang muslim(ah) taat bukan pada selain Allah, seorang muslim(ah) dapat dilabeli sebagai tindakan musyrik, atau menyekutukan Allah atau perilaku syirik. Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar membagi syirik menjadi syirik al-Istiqlāl, syirik at-Tab’īd, syirik al-Taqrīb, Syirik at-Taqlid, Syirik al-Asbab, dan Syirik al-Aghrad. Sikap ketaatan istri pada suami mendekati syirik al-Taqrīb ataupun Syirik at-Taqlid yakni memuja (taat, patuh) kepada selain Allah SWT. Termasuk pada suami.
Syirik, perbuatan dosa. Sebagai manusia, kita dilarang menyekutukan dan taat kepada selain Allah. Pun KDRT adalah perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islam yang universal dan anti kekerasan. Bila keluarga merupakan fungsi sosial paling kecil, maka seharusnya fungsi agama universal dan rahmatan lil alamin itu berangkat dari keluarga.
Sebuah Ikatan Janji
Merujuk pada tujuan pernikahan dalam QS. ar-Ruum[30]:21 yakni untuk menciptakan ketentraman dan mewujudkan kasih sayang, lalu dalam QS. al-Baqarah[2]:187, bahwa suami adalah pakaian bagi istri demikian sebaliknya. Perintah mendatangi istri dengan cara yang baik terdapat dalam QS an-Nisaa[4]:19. Serta hadis Nabi Muhammad ‘Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku’ (HR Tirmidzi).
Hubungan seksual dalam Islam menjadi halal bagi laki-laki dan perempuan, bila terjadi akad nikah. Sebuah perjanjian yang menjadikan ikatan kokoh, (mistaqon ghalidzon) di antara dua orang, dengan cara yang ‘an-taradhin minkum atau kerelaan dua orang sebagaimana penjelasan tafsir al-Mishbah.
Sekalipun kerelaan itu berada di dalam hati, namun bisa terlihat dari raut wajah dan sikap. Maka, seharusnya, jika wajah istri menunjukkan letih, sakit, atau bahkan kecemasan bila berhubungan seksual yang mengharuskan suami berjarak selama karantina, hubungan seksual dengan cara memaksa, berdalih atas nama agama tidaklah dibenarkan karena bertentangan dengan Islam. Ini pula yang disebut marital rape dalam UU 23/2004 KDRT.
Ikatan Emosional Anggota Keluarga
Selain ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang memberikan perintah untuk berbuat baik pada istri. Amr bin Bahr al-Jahizh (w. 255 H/836 M) berkata ‘orang-orang yang berakal tidak mungkin berpendapat bahwa kaum perempuan berada di bawah atau di atas laki-laki satu atau dua tingkat atau lebih.
Namun, realitas yang aku lihat memperlihatkan begitu banyak kaum perempuan dijadikan komuditas, dieksploitasi seenaknya, diposisikan demikian rendah, dan dirampas hak-haknya begitu besar’. Sahabat Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib juga mengingatkan ‘tidak memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina’.
Harus terpatri dalam diri setiap Muslim dalam bingkai keluarga untuk menjaga lisan dan tangan agar tidak melakukan KDRT termasuk pada anak-anak dan semua orang yang tinggal dalam keluarga, minimal 24 jam sebagaimana termuat dalam UU PKDRT 23/2004.
Korona atau COVID-19 sejatinya semakin mempererat ikatan emosional semua anggota keluarga, membuat tidak ada toleransi (zero tolerance) pada KDRT. Pengendalian perkataan dan perbuatan yang dilatih selama bulan Ramadhan tidak semata-mata sebagai upaya pengendalian hawa nafsu dan amarah agar puasa Ramadhan diterima an sich. Tetapi, sejatinya paska Ramadhan, bulan saling bermaaf-maafan (bulan Syawal) dan bulan-bulan selanjutnya adalah tindak tanduk perilaku implementasi penghapusan KDRT. Inilah makna ke-tauhid-an, kemenangan sejati yang sesungguhnya. Kembali taat hanya kepada Allah.
Editor: Yahya fr