Pandemi Covid-19 masih terus ada hingga jangka waktu yang belum bisa ditentukan. Para korban yang dinyatakan positif terus saja meningkat, meski protokol kesehatan sudah banyak diterapkan masyarakat. Semua orang hanya bisa berharap agar pandemi Covid-19 bisa segera teratasi, khususnya di Indonesia.
Walaupun pandemi ini banyak merugikan masyarakat secara umum. Namun, dibalik semua itu terdapat pembelajaran atau hikmah yang dapat dipetik. Dalam tafsir akhlak, menjaga kebersihan dengan merutinkan cuci tangan, pembiasaan menggunakan masker, serta pembatasan memiliki maknanya tersendiri..
Covid-19 Berdasarkan Tafsir Akhlak
Setidaknya pandemi Covid-19 memberikan pembelajaran. Dalam hal ini akan dilihat dari sudut pandang atau tafsir akhlak Islam. Pertama, Covid-19. Dalam perspektif medis adalah sebuah virus berbahaya yang dapat mematikan manusia, sedangkan dalam Islam, Covid-19 bisa diartikan virus mengerikan yang berasal dari hawa nafsu manusia. Jika hawa nafsu tersebut terus-menerus dituruti, maka dia akan berubah menjadi akhlak buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Akhlak buruk adalah sebuah virus berbahaya, wujudnya bisa berupa perkataan, maupun perbuatan. Islam secara tegas melawan virus-virus ini, sebagaimana yang tercantum dalam dua sabda Nabi Muhammad Saw. berikut:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” (H.R Al Baihaqi). “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak.” (H.R Ahmad).
Dari dua sabda tersebut, terlihat jelas bahwa Nabi Muhammad mempunyai agenda besar untuk merubah akhlak buruk menjadi akhlak baik (min al-akhlak al-mazmumah ila al-akhlak al-mahmudah). Beliau ingin merubah sebuah virus buruk anti humanis, menjadi antidot yang sangat humanis.
Berdasarkan sejarah, beliau berhasil melawan virus kezaliman pada perempuan. Di mana perempuan menjadi setara dengan laki-laki, baik dalam ranah domestik maupun publik. Perempuan tidak lagi merupakan objek barang yang bisa diwariskan dari bapak ke anak, melainkan menjadi subjek pewaris yang mendapat hak atas kepemilikan suatu barang.
Selain itu, para perempuan tak lagi identik dengan sumur, kasur, dan dapur. Mereka turut berperan dalam memajukan sebuah peradaban, khususnya peradaban Islam. Hal ini dapat terlihat jelas saat diperbolehkannya ibunda Aisyah menjadi salah seorang penghafal hadits. Beliau tak hanya sekadar menghafalkan, namun juga mengajarkannya kepada sahabat lain.
Ibunda Aisyah juga menjadi penyambung lidah sahabat Nabi yang datang untuk meminta fatwa. Dengan kata lain, beliau tak hanya seorang istri yang sibuk mengurusi urusan domestik, melainkan juga seorang guru bagi umat.
Dari penjelasan di atas, substansi virus yang harus kita hindari tak hanya Covid-19, namun juga virus intoleransi, virus anti kebinekaan, virus disparitas, dan virus-virus lain yang bertentangan dengan bingkai keislaman.
Masker sebagai Rem bagi Mulut
Adapun masker untuk mencegah tersebarnya wabah Covid-19 melalui mulut. Dalam Islam, masker merupakan simbol agar seseorang dapat menjaga mulutnya dari perkataan-perkataan buruk yang dapat menyinggung orang lain (hifz al-lisan). Apabila tidak dapat berkata baik, maka lebih baik diam. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (H.R Muttafaq ’Alaihi).
Menjaga lisan merupakan bukti konkret pengamalan seorang hamba ketika dirinya menyatakan beriman kepada Allah dan hari kiamat. Sebaliknya, apabila seorang hamba tidak menjaga lisan, maka iman kepada keduanya masih dipertanyakan. Dewasa ini, banyak orang yang masuk penjara karena tak bisa menjaga lisan. Mereka sibuk mencaci-maki sana-sini, mengadu domba antara satu golongan dengan golongan lain, menghasut orang agar terjadi peperangan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, diperlukan masker dalam bingkai akhlak Islam, agar mulut-mulut manusia terjaga dari perkataan kotor. Masker dalam hal ini berfungsi sebagai rem bagi mulut-mulut mereka supaya tidak berbicara secara sembarangan.
Pembatasan dan Cuci Tangan
Berikutnya, pembatasan sosial (social distancing) dan pembatasan jarak fisik (physikal distancing). Kedua hal di atas penting dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dalam Islam, pembatasan sosial dan pembatasan jarak juga perlu dilakukan terhadap orang lain yang berpotensi menjauhkan diri seseorang dari Nur Ilahi.
Seseorang harus menjaga diri dari kerumunan orang-orang yang suka menggunjingi orang lain, meskipun yang digunjingi adalah benar adanya. Selain itu, ia juga harus membatasi diri dari kerumunan orang-orang yang gemar menyebarkan berita bohong. Pembatasan sosial dan pembatasan jarak yang berlaku dari satu orang ke orang lain bukan dalam rangka membenci. Akan tetapi, sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak terjerumus terhadap perilaku buruk. Tidak semua orang harus dirangkul sebagai teman sejati.
Adakalanya orang lain diperlakukan hanya sebagai teman say hello tatkala tidak membawa kebaikan dan cenderung membawa kepada keburukan. Tak perlu banyak berinteraksi dengan orang macam ini dan cukup dengan berbasa-basi saja. Teman dalam arti ini, disebut sebagai shodiq.
Ada pula teman dalam artian zamil. Meski ia tak membawa madharat, namun interaksi yang dilakukan hanya sebatas teman dalam arti jejaring kerja. Tidak lebih dan tidak kurang. Maka teman seperti ini boleh jadi didekati, bisa pula dijauhi. Tergantung situasi dan kondisi.
Teman dalam artian sohabah. Teman yang ada dalam suka dan duka. Seorang teman yang selalu menuntun pada jalan keteladanan. Teman seperti ini wajib didekati karena membawa kepada kebaikan. Teman dalam artian sohabah tidak berlaku pembatasan jarak dan sosial.
Terakhir, cuci tangan. Dalam Islam, cuci tangan tak hanya identik dengan menjaga kebersihan sebelum dan sesudah makan. Cuci tangan merupakan simbol bagaimana seorang manusia selalu menjaga tangannya agar terhindar dari perbuatan tercela seperti mencuri, mencopet, merampok, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Itulah beberapa tafsir akhlak dalam bingkai keislaman atas adanya Covid-19. Meski pandemi belum jelas kapan berakhir, setidaknya kita bisa mengambil pembelajaran darinya, meskipun kecil.
Wallahu A’lam.
Editor: Nirwansyah