Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut. Mengingat konflik antar umat beragama terjadi bukan hanya karena adanya perbedaan. Tetapi lebih kepada bahwa kita kurang memahami hakikat agama itu sendiri. Padahal inti dari semua agama adalah ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan Yang Esa, yang secara genealogis diprakarsai oleh Nabi Ibrahim.
Mengutip Cak Nur (w. 2005), perbedaan agama sudah menjadi rahasia umum, yang kita butuhkan hari ini adalah iktikad kolektif melihat persamaan dari tiap agama, agar dapat menemukan relasi yang menghubungkan kita khususnya umat Islam dengan umat agama lain. Sebab, persatuan akan terbangun dari kesadaran bahwa kita sama-sama berbeda. Dengan begitu, perbedaan tidak lagi menjadi momok yang selama ini kita takutkan.
Untuk melihat relasi antar umat beragama, penafsiran QS. Al-Baqarah/2 ayat 62 menjadi penting, dalam hal ini perspektif Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah menarik dikaji.
Karakteristik Tafsir at-Tanwir
Tafsir at-Tanwir merupakan karya jama’i (kolektif) Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam rangka menghadirkan oase pencerahan bagi umat Islam khususnya dalam bidang tafsir. Mengutip dari Suara Muhammadiyah, tafsir ini rencananya akan diterbitkan lengkap 30 juz secara bertahap.
Sampai hari ini sudah 2 jilid diterbitkan. Pertama kali diterbitkan tahun 2016 dan diterbitkan kembali tahun 2021 dalam bentuk 1 jilid berisi juz 1. Kemudian jilid 2 diterbitkan tahun 2022, menghimpun juz 2-3 yakni Qs. al-Baqarah/2 ayat 142-286 (belum termasuk Qs. Ali Imran/3).
Ditinjau dari metodologinya, tafsir ini menggunakan metode tahlili cum maudhui. Dikatakan demikian karena alur analisisnya mengikuti tartib mushafi (tahlili)serta pembahasannya lebih fokus dan terarah secara tematis (maudhu’i). Dari segi pemikiran, tentu tafsir ini termasuk kategori tafsir bi al-ra’y (perspektif Muhammadiyah), namun tetap merujuk pada basis tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an wa al-Qur’an bi al-Hadits.
Relasi Antar Umat Beragama
Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2 ayat 62:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. al-Baqarah/2: 62. Lihat Tafsir at-Tanwir, jilid 1, 2021, hal. 200).
Secara tematis, penafsiran QS. Al-Baqarah/2 ayat 62 ini merupakan bagian dari tema Bani Israil. Beberapa agama yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah agama-agama yang dianut oleh Bani Israil.
Kendati demikian, Tafsir at-Tanwir memberi catatan bahwa ayat ini sekaligus berbicara secara umum, sebab penyebutan kelompok agama pada ayat tersebut tidak didasarkan pada garis keturunan Bani Israil saja. Ayat serupa juga dapat ditemukan di QS. al-Maidah/5: 69 dan Qs. al-Hajj/22: 17.
Pada ayat di atas terdapat empat golongan umat agama yang disebutkan; pertama, orang mukmin, kedua, orang Yahudi, ketiga, orang Nasrani, dan keempat, orang Shabi’in. Dalam Tafsir at-Tanwir dijelaskan, orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa yang berpegang pada kitab Taurat, orang Nasrani pengikut Nabi Isa berpedoman pada kitab Injil.
Kemudian dalam menjelaskan orang Shabi’in, Tafsir at-Tanwir merujuk pada al-Thabari (w. 923); mereka (orang Shabi’in) adalah masyarakat yang tinggal di Arab Selatan dengan berpedoman pada kitab Zabur, kaum Ratu Bilqis dari negeri Saba’ yang menjadi pengikut Nabi Sulaiman.
Dari ayat ini, terlihat yang menjadi relasi antar umat Islam (orang mukmin) dengan umat agama yang disebutkan ialah; pertama mengenai keyakinan kepada Allah (konsep ketuhanan), kedua keyakinan akan hari akhir (konsep eskatologis), dan ketiga ajaran berbuat kebaikan kepada sesama (konsep humanis).
Dengan demikian pula memberikan gambaran bahwa setiap agama yang disebutkan; memiliki tiga konsep tersebut. Hal ini menjadi penting karena ayat tersebut tidak membeda-bedakan agama. Artinya jika relasi tersebut tetap eksis dan dijaga, maka Allah Swt menjamin keselamatan dan kebahagiaan penganutnya di dunia dan akhirat.
Penyimpangan Umat Agama Terdahulu
Disebutkan dalam Tafsir at-Tanwir, bahwa sebelum Islam dibawa Rasulullah Muhammad, setiap umat pernah kedatangan dakwah Rasul, dan mereka mengikutinya. Namun pada kelanjutannya setelah Rasul tiada, mereka menyalahi ajaran yang benar itu menjadi menyimpang; seperti orang Shabi’in yang menyembah Dewa (malaikat), dan keyakinan (Nasrani) bahwa Yesus itu Tuhan yang disepakati oleh sebuah sidang Konsili pada abad ke-4 Masehi.
Al-Qur’an dalam kapasitasnya sebagai kitab samawi terakhir (abad ke-7) tentu memuat sejumlah bahan penting yang terkait dengan umat agama dan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan Allah Swt. Pada satu sisi Al-Qur’an sangat apresiatif, tapi pada sisi yang lain Al-Qur’an bersifat korektif atas penyimpangan yang terjadi terhadap agama-agama terdahulu.
Ajakan Menuju Kalimatin Sawa’
Dalam Al-Qur`an, terdapat satu istilah yang menunjukkan titik temu antar agama dengan penyebutan kalimatin sawa’ “satu kalimat” pada Qs. Ali Imran/3: 64. Titik temu ini menegaskan bahwa risalah wahyu yang diajarkan melalui agama Islam, Yahudi, Nasrani serta orang Shabi’in itu berasal dari Zat yang sama.
Dalam Tafsir at-Tanwir diterangkan, bahwa ajakan menuju kalimatin sawa’ adalah dalam rangka melaksanakan sistem akidah Islam atau akidah Tauhid yang diajarkan Rasulullah. Namun sulit dibayangkan kiranya bersamaan dengan tetap memeluk agama lama mereka (Yahudi, Nasrani, Shabi’in) sekaligus memenuhi ajakan Al-Qur’an ini. Karena memang setiap agama memiliki identitas tertentu yang berbeda, terlebih jika ajaran agama lama mereka telah diselewengkan.
Namun demikian, jika mereka tidak memenuhi ajakan menuju kalimatin sawa’, Al-Qur’an mengajarkan la ikraha fi al-din (QS. Al-Baqarah/2: 256),yakni umat Islam tidak dibenarkan memaksa umat agama lain. Sebab dengan perilaku memaksa tidak akan mendekatkan orang kepada Islam, malah justru sebaliknya. Di sinilah Islam mengedepankan sikap toleransi antar umat beragama.
Kesimpulan
Islam merupakan agama rahmat bagi manusia sekalian alam. Karena itu, Islam memiliki relasi yang erat dengan agama-agama terdahulu, baik secara teologis maupun humanis. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam mesti bijaksana dalam merawat hubungan baik-produktif antar umat beragama. Walau kita berbeda agama namun kita satu dalam kebaikan-kemanusiaan.
Hemat penulis, penjelasan relasi antar umat beragama perspektif Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah masih terbilang normatif, belum menyentuh isu-isu kontemporer lokal maupun global. Namun secara keseluruhan Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah sangat layak dibaca masyarakat ramai dalam rangka pencerahan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dan motivasi amal saleh sebagai upaya fastabiqul khairat.
Terakhir, bagi para pegiat kajian Al-Qur’an, buku Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah ini menarik dikaji dan diteliti, dalam rangka pengembangan studi Al-Qur’an ke depannya.
Editor: Soleh