Corona virus diseas (Covid-19) merupakan virus yang telah melumpuhkan mobilitas manusia, sehingga berdampak pada segala sektor kehidupan yang dibangun berdasarkan kontak dan interaksi erat sesama manusia secara fisik.
Baik pendidikan, kesehatan, sosial, politik, dan ekonomi dibuat kalang-kabut karena kebijakan pembatasan sosial baik skala besar maupun skala mikro.
Dampak Negatif dari Covid-19
Sialnya, di tengah kebijakan pembatasan sosial yang seolah tidak kunjung berakhir, jumlah masyarakat yang terpapar Covid-19 pun semakin bertambah dan meluas. Bahkan menyentuh mereka yang di akar rumput yang terdampak adanya pandemi Covid-19.
Ibarat ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’, bahwa mereka sudah kena pengurangan gaji, di-PHK (Putus Hubungan Kerja), namun harus terpapar karena terpaksa keluar rumah untuk mengais rezeki.
Data BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa 2,52 persen responden mengaku terkena PHK akibat perusahaan mereka terimbas Covid-19. Sementara, 18,34 persen dirumahkan. Jika berdasarkan jenis kelamin, pekerja laki-laki yang mengaku kena PHK mencapai 3,18 persen dari total responden laki-laki. Sementara, 1,87 persen dari responden perempuan juga mengaku jadi korban PHK (bps.go.id pada 1 Juni 2020).
Ditambah, hasil lansir BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah tersebut hanya mengalami penurunan tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020.
Tetapi, jika dibandingkan dengan Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang. Secara rata-rata, rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,49 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per-rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.121.637,00/rumah tangga miskin/bulan. Miris melihat angka-angka tersebut.
Tafsir Kontekstual Mustahik di Masa Pandemi
Artinya, selama pandemi ini, kondisi masyarakat yang tidak baik-baik saja. Stratifikasi sosial yang ada, baik kelas menengah terutama kelas bawah dibuat sama rata di hadapan Covid-19.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana sebesar Rp 405,1 triliun untuk penanganan Covid-19. Nyatanya, stimulus dana tersebut belum cukup untuk menanggapi secara keseluruhan oleh sebab sifat aliran dana yang relatif kaku dan lambat.
Berdasarkan kondisi tersebut, berbagai lembaga non-pemerintah bergerak secara gerilya dalam menghimpun empati para warga dermawan melalui donasi untuk membantu mengatasi kegaduhan sosial akibat krisis ekonomi di segala lini dari adanya Covid-19 ini.
Baik melalui lembaga filantropi keagamaan (Lembaga Amil Zakar) maupun lembaga filantropi lain mulai secara direct maupun melalui platform digital.
Hal menarik lainnya adalah pandemi Covid-19 ini menggeser tafsir mustahik dalam aktivisme berfilantropi warga. Dalam Islam, ada 8 kategori mustahik/ashnaf meliputi fakir, miskin, amil, mualaf, ghorim (orang yang banyak hutang), riqab (budak, hamba sahaya), ibnu sabil, sabilillah.
Berbasis pada reinterpretasi Masdar F. Mas’udi tentang 8 ashnaf dalam buku Politik Filantropi Islam di Indonesia: Negara, Pasar, Masyarakat Sipil (Hilman Latif, 2013) menjelaskan makna konvensional dan kontekstual dari kedelapan mustahik tersebut.
Tafsir Kontekstual Fakir dan Miskin
Di antaranya; tafsir kontekstualnya fakir, setiap upaya yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, melalui kegiatan karitatif maupun program penguatan kebijakan struktural. Tafsir kontekstual Masakin/Miskin, setiap upaya yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, melalui kegiatan karitatif maupun program penguatan kebijakan struktural.
Tafsir Kontekstual Amil
Amil, Honorarium dan biaya operasional untuk pengelola zakat, Gaji untuk pegawai negeri.
Tafsir Kontekstual Muallaf
Muallaf Qulubuhum; mereka yang cenderung hatinya kepada Islam, masyarakat yang terisolasi atau tahanan penjara.
Tafsir Kontekstual Riqab
Selanjutnya, Riqab; orang tertindas, melakukan fasilitasi untuk pendampingan kaum tertindas.
Tafsir Kontekstual Gharimin
Gharimin; Membantu masalah hutang bagi individu, lembaga atau negara.
Tafsir Kontekstual Sabilillah
Sabilillah; Biaya untuk pertahanan dan keamanan; penegakkan hukum; dan fasilitas dan pelayanan umum.
Tafsir Kontekstual Ibn Sabil
Ibn Sabil; membantu atau mendampingi mereka yang terdampar atau kehilangan tempat tinggal, pengelana yang kehabisan bekal dan pengungsi layaknya pelajar/mahasiswa, warga musiman dan sebagainya
Korban Covid-19 Bisa Dikategorikan Sebagai Ashnaf
Dalam jebakan krisis pandemi ini, implementasi tafsir kontekstual atas 8 ashnaf di antaranya, bahwa fakir miskin hari ini salah satunya adalah warga yang terpapar Covid-19 karena masih harus keluar rumah untuk mengais rejeki sehingga harus menjalani isolasi mandiri (isoman).
Atau mereka yang terdampak kebijakan PHK karena kebijakan pembatasan sosial yang berakibat kebijakan perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja karena ongkos produksi yang lebih besar disbanding laba perusahaan.
Maupun para pelaku UMKM yang harus kehilangan sumber penghasilannya karena terdampak kebijakan PPKM sehingga mereka kesulitan ekonomi dan berujung pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan harian.
Belum lagi dampak kebijakan pandemi yang dirasakan oleh anggota keluarga perempuan dan anak-anak yang terpaksa positif karena tertular anggota keluarga yang lain.
Amilin: Pengelola Dana Bantuan Covid-19
Selain itu, kontekstualisasi tafsir Amiilin bisa dialamatkan oleh panitia pengelolaan penghimpunan dana untuk penanggulanagan Covid-19.
Misal di Muhammadiyah ada MCCC (Muhammadiyah Covid Command Centre) yang menjalankan program-program kemanusiaan untuk penanggunalangan dan penanganan dampak covid, maka dana operasionalnya dicover dari dana ZIS (zakat, infaq, shodaqoh).
Sabilillah: Pendidik, Relawan Covid-19, Pemulasar, DLL
Tafsir kontekstual lainnya, Sabilillah yang dialamatkan bagi guru/pendidik sekolah formal maupun non-formal seperti guru ngaji, para tenaga kesehatan, para relawan pemulasaran jenazah Covid-19, serta pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya penanggulangan Covid-19.
Sialnya lagi, banyak dari mereka yang harus menjalani isoman, mengingat mereka yang rentan terpapar Covid-19. Di luar itu, pelajar hingga mahasiswa yang orangtuanya terdampak maupun terpapar Covid-19 sehingga terpaksa mempengaruhi keaktifan hingga mengancam terputus sekolah bisa dimasukkan dalam klasifikasi tafsir ibnu sabil.
Tentu, selebrasi kesetiakawanan sosial pada masa pandemi yang diikuti dengan tafsir kontekstual akan definisi mustahik semakin meneguhkan soliditas masyarakat yang sudah digempur dengan ancaman krisis ekonomi dan sosial.
Maka, sudah saatnya kita menjadi kaum dermawan (muzakki) yang cerdas dalam memainkan empati diri. Wallahu A’lam, semoga bermanfaat!
Editor: Yahya FR