Tafsir

Kembali Fitrah, Kembali Ekologis

6 Mins read

Mengasah Kepedulian Ekologis

Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 183 berfirman “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkannya umat-umat sebelumnya agar kamu bertakwa”. Dalam ayat tersebut, dengan terang, Allah menyebutkan tiga hal penting.

Pertama, kewajiban akan berpuasa. Kedua bahwa puasa juga adalah kewajiban yang dibebankan kepada umat lain sebelum datangnya Islam. Ketiga tujuan utama dari diwajibkannya berpuasa adalah agar orang-orang yang berpuasa dapat menggapai derajat takwa.

Mengapa Allah mewajibkan kaum beriman untuk berpuasa? sebahagian pihak berpendapat bahwa agak sulit kita bertanya mengenai alasan bagi ibadah-ibadah yang masuk dalam kategori mahdhah, mengapa demikian?

Karena ibadah mahdhah adalah sesuatu yang sifatnya ta’abbudi. Sesuatu yang diwajibkan untuk ditunaikan tanpa mesti terlalu pusing dengan alasan-alasan diwajibkannya.

Namun demikian, bagi saya, walau kita tidak bisa mendapatkan alasan pasti diwajibkannya sebuah ibadah mahdhah, karena kita tidak mungkin memperoleh keterangan langsung dari Allah SWT sebagai pihak yang mewajibkannya. Tetapi, kita bisa mencoba mengidentifikasi hikmah atau maslahat yang didapatkan dari pelaksanaan puasa.

Apa itu hikmah? Secara sederhana, kita bisa mengartikannya sebagai kebijaksanaan. Dan kebijaksanaan itu terkait dengan kebenaran, kebaikan,  dan keindahan.

Hikmah dan Kebijaksanaan Puasa

Jadi, jika kita bertanya apa hikmah dari berpuasa? Maka, sama dengan kita bertanya, apa kebijaksanaan atau apa kebaikan, kebenaran, keindahan yang diperoleh dari pelaksanaan ibadah puasa?

Untuk mengetahui apa kebijaksanaan yang bisa diperoleh dari ibadah puasa, maka kita bisa bertanya dalam dua ranah sekaligus, dari ranah objektif dan ranah subjektif.

Apa yang saya maksud dengan ranah objektif ? Yakni, jika kita bertanya mengenai hikmah berpuasa yang berdampak di luar diri yang berpuasa.

Sedangkan ranah subjektif, adalah ranah yang berkaitan dengan hikmah berpuasa yang berdampak bagi pihak yang berpuasa. Contoh hikmah berpuasa dalam ranah objektif, apa hikmah puasa bagi pemberdayaan ekonomi kaum miskin? Apa hikmah puasa bagi kedisiplinan para penyelenggara pemerintah? Apa hikmah puasa bagi kelestarian lingkungan dan sebagainya.

Contoh hikmah berpuasa dalam ranah subjektif, apa hikmah puasa bagi kesehatan yang berpuasa ? apa hikmah puasa bagi kedisiplinan yang berpuasa ? Dan sebagainya.

Hikmah Puasa Bagi Kelestarian Lingkungan

Sebelum kita mengulas bahwa “kembali fitrah” ekuivalen dengan “kembali ekologis”, maka kita perlu bertanya sedari awal, apa hikmah berpuasa bagi kelestarian lingkungan? Apa hikmah berpuasa bagi upaya penegakkan keadilan ekologis?

Lalu, apakah memang ada hubungan antara berpuasa dengan kepedulian ekologis? jawabnya ya. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, konsep “puasa Ramadan” dalam Al-Qur’an juga mesti kita kaitkan dengan konsep-konsep lain semisal “rahmatan lil alamiin” begitu pula dengan konsep “khalifatun fil ardh”.

Mengapa konsep “puasa Ramaan” perlu diinterkoneksikan dengan konsep “ke-khalifaan” dan “rahmatan lil alamiin”? Ada beberapa alasan. Pertama, tidak sedikit kaum muslimin yang mempersepsikan puasa hanya sebagai ritual fiqhiyah yang sifatnya rutin tahunan. Dengan mengaitkan puasa dengan konsep “ke-khalifah-an”, maka puasa menjadi perihal penting untuk mengasah kemampuan manusia sebagai penerima amanah Allah SWT dalam memakmurkan kehidupan di muka bumi.

Baca Juga  Hirarki Zaman Terbaik Menurut Perspektif Hadits

Puasa di samping sebagai ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT, puasa juga berfungsi untuk melatih manusia. Melatihnya untuk mengendalikan segala potensi kemanusiaan dalam dirinya. Mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya.

Karena sebelum manusia mampu menjalankan mandat sebagai khalifah, maka sebelumnya manusia harus bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Kita bisa membayangkan, kesukaan kita akan makanan yang enak dan minuman yang segar terpaksa kita kendalikan mulai matahari terbit hingga terbenam, walaupun makanan dan minuman tersebut statusnya halal.

Melalui puasa, manusia diajak untuk mengingat mandatnya selaku khalifah yang diberikan kepadanya sejak awal penciptaan. Karena, seringkali mandat tersebut dilupakan karena begitu banyaknya keinginan-keinginan yang membutakan nurani manusia.

Hal ini sangat penting. Karena, pangkal berhasil-tidaknya manusia dalam menjalankan tugasnya untuk memakmurkan bumi, adalah kemampuannya untuk mengendalikan diri.

Sudah begitu banyak kerusakan-kerusakan terutama yang sifatnya ekologis. Dikarenakan, ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan keinginan-keinginannya.

***

Hutan menjadi gundul, ketidakadilan ekonomi dan ekologis, pencemaran sungai oleh limbah tailing pertambangan. Diawali oleh ketidakmampuan manusia mengendalikan obsesi dan keinginannya. Dan celakanya, keinginan yang berlebih tersebut dilegitimasi secara rasional dan difasilitasi oleh sains dan teknologi.

Kedua, konsep puasa mesti dikaitkan dengan konsep rahmatan lil alamiin. Karena tidak sedikit di antara kita menjadikan puasa sebagai ritual yang memberi manfaat pada diri pribadi belaka.

Seringkali, kita puasa hanya sekadar untuk menumpuk pahala bagi diri sendiri, berdoa hanya untuk kesuksesan hidup pribadi, berzakat itupun untuk menyelamatkan diri pribadi dari siksa api neraka.

Padahal, puasa semestinya justru menajamkan kesadaran diri kita bahwa kita senantiasa dalam situasi “keterhubungan” dengan yang lain. Bahwa, kita terhubung dengan pribadi-pribadi lain. Bahkan, terhubung dengan bumi ini.

Dasar kesadaran keterhubungan dengan yang lain dalam ibadah puasa adalah empati. Tidak jarang kita mendengar nasihat yang diberikan oleh para ulama. Bahwa puasa melatih kita agar semakin berempati bagi orang-orang miskin yang lapar.

Dengan kata lain, puasa sebenarnya melatih kita agar bisa keluar dari “keterbatasan ego” kita sendiri. Puasa melatih agar kita tidak hanya menjadi rahmat bagi diri sendiri, tetapi juga menjadi rahmat bagi orang lain, bahkan menjadi rahmat bagi bumi dan alam semesta.

Puasa adalah sarana untuk memperluas jangkauan kepedulian kita. Semakin luas jangkauan kepedulian, maka semakin bagus nan mulia dan semakin berkualitas pula puasa kita.

Peduli terhadap diri bukanlah hal yang salah, tapi akan lebih baik lagi jika kepedulian tersebut meluas ke tetangga. Ke orang-orang lain yang tak kita kenal apapun latar belakang mereka. Apalagi, jika meluas ke spesies lain bahkan kepada semua komponen ekologis yang ada.

***

Apa hikmah dari puasa? Salah satu jawabannya ada pada makna generik dari kata puasa (shaum) yang berarti “menjauhkan diri dari sesuatu”, “menahan diri” atau “mencegah diri”.

Baca Juga  Ayat Al-Qur’an yang Menyinggung Perpindahan Kalor

Dan hikmah ini bisa kita dapatkan jika kita tidak menganggap ibadah puasa hanya sebagai ritual keagamaan tahunan belaka atau ibadah yang hanya memberi manfaat secara pribadi bagi yang menjalankannya.

Puasa mendatangkan banyak manfaat dan hikmah pada manusia bahkan,  alam. Jika puasa diartikan sebagai salah satu upaya mengasah mandat kehalifaan dan menebar rahmat seluas-luasnya.

Dengan ini puasa akan bisa membuat kita dapat melakukan hal yang paling minimal, yakni “menahan diri” agar tidak membuat kerusakan, apakah dalam konteks sosial, ekonomi, politik, dan ekologi.

Fitrah yang Ekologis

Tidak bisa kita pungkiri bahwa manusia dalam dirinya terdapat hal yang membedakannya dengan selain manusia, apa itu? Yang oleh para filsuf muslim sebut dengan “jiwa rasional”.

Tetapi, perbedaan antara manusia dengan spesies lain ataupun dengan elemen-elemen ekologis lain, tidak secara otomatis membuatnya punya hak untuk berbuat semena-mena terhadap sungai, teluk, hutan, laut, dan sebagainya.

Kerasionalan manusia tidak berarti menjadikannya sebagai pihak yang bisa menjadikan segala sesuatu yang ada di alam sebagai barang kepemilikan yang bisa dia eksploitasi dengan seenak hatinya.

Biologi kontemporer memberikan kita wawasan yang sangat baik. Bahwa pada dasarnya, manusia dan semua spesies di muka bumi ini punya keterhubungan leluhur, genetik, dan biologis.

Bahkan, dalam studi bio-kimia, disebutkan komponen dasar kehidupan yang paling sederhana yakni protein berawal dari zat-zat an-organik. Ini semakin menegaskan pentingnya manusia memiliki kesadaran, bahwa dirinya punya utang dan keterkaitan dengan segala unsur biotik dan a-biotik yang ada di bumi.

Karena keterkaitan ini pula, maka sangat relevan terasa pesan Islam bahwa risalah yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah rahmat bagi segenap alam semesta bukan hanya bagi spesies manusia.

Lalu Apa itu Kembali ke Fitrah?

Selesainya kita menjalankan ibadah puasa, sangat sering dikaitkan dengan frasa “kembali ke fitrah” sebagaimana “bayi yang baru dilahirkan”.

Seringkali “kembali ke fitrah” diartikan “terhapusnya dosa-dosa”. Ada juga yang mengartikannya sebagai “situasi di mana manusia kembali memiliki kesadaran ke-Tuhanan yang kuat”.

Ada juga yang mendefinisikannya sebagai “kembali kepada situasi paling asali sebagai manusia”. Semua pengertian tersebut adalah benar. Cuman,  perlu dilakukan perluasan-perluasan makna agar hikmah dari berpuasa yang bisa diperoleh semakin optimal pula.

Pengertian “kembali ke fitrah” sebagai “terhapusnya dosa-dosa” perlu diperluas pemakanaannya. Dosa-dosa yang dimaksud di sini bukan hanya dosa-dosa individual, semisal berbohong, memfitnah, berzina, dan sejenisnya. Tetapi juga, dosa-dosa yang sifatnya kolektif dan kita bisa saja terlibat di dalamnya seperti dosa ekonomi, dosa politik dan dosa ekologis.

Sehingga, goal setting puasa bukan hanya agar individu-individu kembali ke situasi fitrah, tetapi secara  kolektif (komunitas, negara bahkan masyarakat global) mesti kembali ke fitrah. Di mana, kita bebas dari dosa ketimpangan ekonomi, bebas dari dosa penindasan politik, dan bebas dari dosa pengrusakan lingkungan.

Baca Juga  Menyoal Poligami: antara Ajaran Islam dan Pemuasan Berahi Seksualitas

Lalu yang mengartikan “kembali ke fitrah” sebagai “memiliki kesadaran ke-Tuhanan”  perlu kita interpretasikan ulang.

Bahwa ke-ber-Tuhanan bukan hanya soal pengakuan akan ke-Satu-an ke-Tuhan-an, tetapi juga sekaligus pengakuan akan kesatuan penciptaan.

Bahwa segala hal yang ada (biotik maupun a-biotik) merupakan karya Allah SWT yang Maha Pencipta, sehingga sebagai manusia wajib untuk memperlakukannya dengan penuh hikmah (kebijaksanaan). Bahwa di sungai yang mengalir, di rindangnya hutan tropis, di sejuknya udara pedesaan, di teluk yang menawan hati terdapat jejak penciptaan dan kebesaran Allah SWT.

***

Lalu, bagaimana dengan definisi “kembali ke fitrah” sebagai kembali ke kondisi kemanusiaan yang “hanif” (situasi kemanusiaan yang asali)?

Nah, ini perlu kita eksplorasi lebih lanjut. Kondisi asali manusia yang pertama, bahwa dia adalah khalifah yang ditugaskan untuk membuat bumi menjadi makmur dan mencegahnya dari segala bentuk tindakan yang mendatangkan kerusakan (korupsi, kolusi, penebangan hutan, perburuan hewan-hewan langka, membuang sampah plastik dll.).

Kemudian kedua, manusia punya keterhubungan yang erat baik secara bilogis, kimiawi dan fisika dengan entitas-entitas lingkungan yang lain.

Krisis pada lingkungan akan berakibat pada krisis kemanusiaan. Begitu sebaliknya. Maka, hal yang tak terhindarkan agar manusia senantiasa berbuat hanif (lurus) di semua sektor kehidupannya, baik dalam hal persepsi maupun tindakan-tindakannya.

Inilah yang Al-Qur’an sebut dengan la’allaqum tattaqun yang artinya “agar kalian menjadi orang yang bertqwa”. Yang bisa kembali ke fitrahnya adalah manusia yang mencapai derajat takwa.

Secara kebahasaan, kata takwa berarti “menjaga diri”, “menghindari” dan “menjauhi”. Inilah yang barangkali yang mendasari salah satu prinsip dalam ushul fiqhmendahulukan menghindari mudarat ketimbang mengambil maslahat”. Dan saya rasa, prinsip ini cukup relevan dalam merawat keseimbangan ekoologis.

Bahwa dalam menjalankan aktivitas-aktivitas yang berdampak pada lingkungan hidup, “lebih baik mendahulukan menghindari hal-hal yang bisa membawa mudharat bagi lingkungan, dibanding mengambil manfaat dari lingkungan”.

Karena tidak sedikit proyek-proyek besar semisal pembuatan jalan layang, jembatan, kompleks perumahan, aktivitas pertambangan, yang hanya mementingkan manfaat ekonomi dibanding terlebih dahulu memperhitungkan mudharat yang bisa saja ditimbulkannya kepada penduduk di sekitar terutama terhadap keseimbangan ekologis di sekitarnya.

Dan jika keseimbangan ekologis menjadi terganggu, maka dampak merusaknya bisa menyerang balik manusia, seperti banjir bandang akibat rusaknya DAS serta hilangnya kawasan tangkapan air (water catchment area), kekurangan air bersih karena daya resap lahan akan air berkurang drastis, penyakit kulit akibat air yang digunakan tercemar limbah industri dan sebagainya.

Semoga puasa yang kita laksanakan setiap tahunnya, bisa mengasah nurani kita, menekan kesempitan ego serta memperluas kepedulian kita terutama kepedulian terhadap lingkungan.

Semoga kita bisa menjadi salah satu orang-orang yang bertakwa yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang merusak, baik secara ekonomi, politik yang terutama ekologi.

Editor: Yahya FR

Avatar
7 posts

About author
Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulawesi Selatan
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *